To All of You,
Dengarkan Musik Ini
Super Mario Game
INFO SINGKAT
Send texts to over 200 countries with CardBoardFish
Beri Masukan Untuk Kami
|
Rabu, November 05, 2008
MALAM DEVOSI MARIA III
Saya bersama dengan Pak Hendro mengikuti acara Malam Devosi Maria III pada hari Jumat, 31 Oktober 2008 bertempat di XXI Ballroom, Djakarta Theatre Complex yang berlangsung dengan acara ramah tamah, santap malam, Devosi, penggalangan dana dan diakhiri dengan berkat penutup oleh Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM.
Acara ini diselenggarakan oleh Mitra Komisi Liturgi KWI dengan ketua panitia acaranya adalah Ibu A. Lily Widjaja.
Mitra Komisi Liturgi KWI (Mitra Komlit) yang diketuai oleh Bapak Agustinus Santoso adalah sekelompok awam Katolik yang peduli dan penuh komitmen membantu karya dan program kerja Komisi Liturgi KWI.
Mitra Komisi Liturgi KWI mempunyai misi membantu dan mendukung program kerja Komisi Liturgi KWI bagi pengembangan liturgi di Indonesia serta menggalang dana guna mensukseskan karya pelayanan Komisi Liturgi KWI. Salah satu karya Komisi Liturgi KWI yang dibantu Mitra Komlit yang sudah berjalan adalah penerbitan Majalah LITURGI. Majalah ini didistribusikan ke semua paroki di seluruh Indonesia.
Devosi dibuka dan dijembatani dengan aksi monolog Butet Kartaredjasa, lagu dan pujian persembahan Trie Utami, Maria Mama Mia, Kia AFI, Gratia Voice, Gerak tari dari Ratna Ully Dancer dan Vicky Sianipar Ethnic Band.
Kolaborasi dan aksi panggung yang apik para seniman tersebut mengingatkan dan menggugah perasaan terlebih introspeksi diri sejauh mana cinta dan kasih serta perhatian kita kepada sesama terutama kepada keluarga dan anak-anak kita yang kita kasihi. Seraya berdoa kepada Tuhan melalui pertolongan Bunda Maria untuk kita dapat meneladani kesetiaan Maria dari awal hingga akhir menemani Yesus dan mewujudkan rencana Allah, meskipun hancur hatinya melihat Anaknya yang harus menanggung derita dengan dihina, disiksa dan wafat di kayu salib.
Demikian Maria bagi umat Katolik sungguh berarti, dihormati dan diteladani karena peranannya yang luar biasa sebagai anggota keluarga kudus Allah dalam mengiringi Puteranya mewujudkan rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaan karena maut/dosa. Kini jalan keselamatan itu sudah ditawarkan oleh karena inisiatif yang berlandaskan kasih dari Allah Bapa dan kita sebagai manusia diberikan pilihan.
Kiriman: Andreas Andy S. & Petrus Hendro (Paroki Kristus Salvator)
Minggu, November 02, 2008
CERITAKAN ALLAH KEPADAKU
Oleh: Pastor Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Sudah beberapa jam speed boat yang kami tumpangi berusaha untuk melaju, tetapi tidak ada tanda-tanda untuk ia bergerak maju, karena mesin motor tidak berfungsi dengan baik, dan harus berhadapan dengan arus sungai yang sangat kencang. Beberapa kali, kami merapat ke tepi untuk memperbaiki mesin motor yang tidak mempunyai tenaga untuk menggerakan speed boat. Ketika berhadapan dengan arus yang lebih kencang, kami terpaksa harus turun dari speed boat, dan perlahan-lahan mendorong melawan arus, bahkan ada beberapa diantara kami yang harus menarik speed boat dengan tali melintasi arus sungai. Rasa lelah, dan lapar tidak membuat kami putus asa untuk membawa salib dan gambar bunda Maria ke sebuah paroki di atas bukit. Untuk sampai ke paroki itu, kami harus melewati sungai dengan arus yang sangat keras. Rasa lelah berubah menjadi keceriaan tatkala ribuan kupu-kupu putih melintasi dan berarak bersama kami. Mereka sepertinya sedang menari, dan ikut berjuang bersama-sama dengan kami. Kupu-kupu itu sepertinya memberikan kegembiraan kepada kami. Kadang mereka mendarat di speed boat, dan beberapa diantara kami sibuk untuk menangkap dan mengumpulkan kupu-kupu putih tersebut. Kata mereka, kupu-kupu itu akan dikumpulkan dan dimakan. Sementara itu sepanjang aliran sungai, ribuan kupu-kupu, ada yang sedang terbang, ada yang sedang bermain-main di atas sungai. Salah satu diantara mereka berkata kepada aku; father, Allah juga ikut berjuang bersama kita untuk melawan arus sungai ini. Aku hanya menjawab “I think so”. Ia berkata lagi; Allah datang menemui kita, dalam keindahan kupu-kupu putih ini.
Setelah sekian lama melawan arus, kami akhirnya tiba juga di sebuah hutan, dan berlabuh di sebuah sungai kecil. Beberapa penduduk di sekitar itu sudah datang menyambut salib dan gambar bunda Maria yang kami bawa. Kami berjalan kaki lagi menuju sebuah kampung. Kampung itu letaknya di atas bukit, dengan pemandangan yang sangat menawan. Kurang lebih satu jam kami tiba di paroki itu. Hari sudah menjelang malam saat itu. Di depan pintu masuk kampung, sudah banyak umat berkumpul untuk menyambut salib dan gambar bunda Maria. Mereka berdoa dan menyanyikan lagu Maria. Beberapa kaum muda dari paroki kami menyerahkan salib kepada mereka. Dengan keceriaan, mereka membawanya menuju gereja. Salib dan gambar bunda Maria diletakkan di depan altar, dan semua orang yang datang menyaksikan dan memberi penghormatan kepadanya.
Cinta Allah
Dalam kesaksian hidup mereka, mereka membagikan pengalaman yang berharga bahwa Allah datang menemui dan mengunjungi mereka. Meskipun hidup di sebuah dunia yang sangat jauh dari keramaian, dengan akses tempat tinggal yang sangat jauh dari kota, dan sulit, tetapi Allah sendiri tetap memperhatikan hidup kami. Dia datang menemui kami di daerah ini. Umat yang tinggal di kampung itu semuanya beragama katolik. Sebagai ungkapan sukacita dan kegembiraan bahwa Allah datang menemui mereka, mereka berdoa dan memuji kebaikan Allah. Mereka datang membuat baris, sambil kepalanya tertunduk, masing-masing mulai dari yang kecil sampai yang tua, maju ke depan berlutut dan menyentuh salib, merangkul salib dan bunda Maria, sebagai ungkapan terima kasih atas rahmat yang boleh mereka terima. Aku berdiri di belakang mereka sambil memandang mereka melakukan tindakan yang serupa. Dalam hati kecil aku, ada kekaguman bahwa cinta Allah pertama-tama bukan karena usaha atau prestasi dari manusia, tetapi karena semata-mata rahmat dari Allah. Aku dapat mengalami Allah, bukan karena usaha aku, tetapi karena usaha dan inisiatif dari Allah yang datang menemuiku. Disinilah cinta Allah tidak pernah terungkap, dan cinta yang paling jelas itu dalam diri Yesus, yang datang sebagai manusia, solider dengan manusia, agar manusia dapat mengalami kasih Allah secara penuh.
Mencari Allah
Dalam Injil dikisahkan tentang Zakeus, seorang pemungut Cukai. Sebagai pemungut pajak ia masuk dalam jajaran pegawai dari kekuasaan bangsa Romawi. Kehadirannya tidak disukai oleh kebanyakan orang, bukan karena ukuran badannya yang pendek, tetapi karena kehadirannya membuat banyak rakyat menderita. Sebagai pegawai pajak, ia memungut lebih uang yang seharusnya diberikan untuk membayar pajak. Kelebihan uang ini dipakai untuk kantong pribadinya. Dengan kata lain, ia memeras dari rakyat. Sudah pasti, dia tidak disenangi oleh kebanyakan orang, dan dianggap sebagai orang berdosa. Dalam situasi yang terpuruk, justru ia berusaha mencari Allah. Ketika suatu saat Yesus datang ke kotanya, dia juga tidak ketinggalan untuk datang melihat Yesus. Namun, karena banyak orang yang mengelilingi Yesus, dan ukuran badannya yang pendek membuat dia kesulitan untuk melihat bagaimana rupa dari Yesus. Zakeus tidak kehilangan akal, dia lalu memanjat pohon supaya dapat melihat Yesus yang sedang berada di tengah kerumunan banyak orang. Ia berusaha mencari wajah Allah dalam diri Yesus. Ia mencari Yesus karena kerinduannya yang sangat besar untuk mengalami cinta dari Yesus seperti pengalaman dari kebanyakan orang yang mengalami penyembuhan. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, Yesus datang menemuinya. Di tengah kerumunan begitu banyak orang, Yesus justru lebih tertarik untuk melihat seorang pribadi yang sedang mencarinya, yang berada di atas pohon. Sesuatu yang tidak biasa. Yesus tidak hanya memandang dia, tetapi justru berbicara dengan Zakeus, dan berkata, bahwa dia ingin bertamu di rumahnya. Tentu Zakeus begitu kaget, heran, dan bahagia. Ia heran, karena sebagai orang berdosa, di mata banyak orang, Yesus berbicara dengan dia. Ia bahagia, karena Yesus mau datang ke rumahnya dan makan di rumahnya. Sesuatu kegembiraan yang meluap di hati Zakeus.
Pengalaman Zakeus menunjukkan dengan jelas bahwa rahmat Allah yang kita terima bukan semata-mata prestasi kita, bukan juga karena usaha keras kita, melainkan karena semata-mata rahmat Allah. Tuhan sendirilah yang datang menemui dan bertamu di dalam rumah kita. Ketika pencarian kita tentang Allah dengan usaha dan jerih payah yang melelahkan, tidak pernah kita temukan. Saat-saat seperti itulah Tuhan datang kepada kita dan bertamu di dalam rumah kita. Tuhan mengetahui segala apa yang sedang menjadi kegalauan hati kita.
Membuka hati disapa
Ketika kami kembali dari paroki di atas bukit itu, hati kami dipenuhi dengan keceriaan. Kami tidak lagi berjuang melawan arus. Kupu-kupu putih yang berarak mengantarkan kami juga sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah ketenangan. Salah satu anak muda berkata kepada aku, father, Tuhan kemarin datang berjuang bersama kita, Dia datang menemui kita yang sedang kelaparan, ketika kita lelah, capek, lapar, justru Dia datang menemui kita dalam semerbak ribuan kupu-kupu putih. Father, “ aku baru melihatnya ini pertama kali” kata dia lebih lanjut. Di kampung kita tidak ada kupu-kupu seperti itu, sungguh-sungguh rahmat yang mengagumkan.
Hidup saat ini adalah bukan suatu yang mudah. Kita hidup dengan suatu idealisme untuk mengejar kekayaan, prestasi, dan mengira itu semua memberikan kebahagian. Kadang kita harus berhadapan dengan arus kehidupan yang sangat kencang. Berbagai kegagalan, pengalaman pahit menghadang kita. Semangat hidup kita tidak ada lagi, ketika antuasisme meredup, karena berbagai kesulitan yang kita alami. Saat-saat seperti itu terkadang kita putus asa, dan tidak mengetahui apa yang harus kita lakukan lagi. Bahkan, termasuk mencintai orang-orang yang disekitar kita pun, kita abaikan begitu saja. Kehadiran Allah yang menyapa kitapun dalam pengalaman keseharian kita tidak kita rasakan lagi. Namun, seperti pengalaman Zakeus dan orang-orang Papua, Tuhan justru sedang berjuang bersama-sama kita. Tuhan tidak pernah membiarkan kita melawan badai kehidupan seorang diri, karena Dia menginginkan kita mengalami keselamatan, dan kebahagian dalam hidup ini. Yang terpenting adalah membuka diri untuk disapa dalam berbagai peristiwa ini, karena kehadiran Tuhan tidak pernah kita duga.
Merenungkan kembali pengalaman itu, aku terbawa dalam pergulatan untuk mengenal lebih dekat pribadi Yesus. Yesus adalah seorang pribadi yang mengagumkan. kehadiranNya membawa kebahagian bagi setiap orang yang membuka hatinya. Siapun pribadi kita dengan segala kelemahan, dan keterbatasan, dengan segala kerapuhan dan dosa kita, Tuhan tetap datang menyapa dan menemui kita. Apapun situasi kita, dia datang berjuang, dan berjalan bersama kita. Dia tidak pernah menunggu, apalagi menunda tetapi datang menemui kita. Yang terpenting adalah membuka hati kita untuk menerima rahmat dari Allah. Selanjutnya mewujudkan cinta Allah dengan mencintai setiap orang yang ada di sekitar kita, terutama orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dari kita. Saat di sanalah kita akan bertemu dengan Allah sendiri. Tidak ada ruang untuk menunda dan berhenti untuk mencintai, karena Allah adalah cinta itu sendiri. Kita telah mengalami dan menikmati hidup ini, karena semata-mata cinta yang datang dari Allah, bukan karena prestasi kita, tetapi karena kemurahan Allah. Cinta dan rahmat Allah inilah yang telah aku dengar bahwa Allah adalah Allah yang berani memberi tubuh dan darahNya bagi manusia. Allah adalah pribadi yang berani menderita, memikul salib yang berat, hingga wafat di kayu salib, hanya karena cinta kepada manusia. Allah adalah pribadi yang mengalahkan maut, agar aku semakin mengimani Dia bahwa DIa adalah Allah yang hidup yang menyertai setiap langkah hidup kita. Inilah rahmat Allah yang kita alami selama pekan suci.
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Sudah beberapa jam speed boat yang kami tumpangi berusaha untuk melaju, tetapi tidak ada tanda-tanda untuk ia bergerak maju, karena mesin motor tidak berfungsi dengan baik, dan harus berhadapan dengan arus sungai yang sangat kencang. Beberapa kali, kami merapat ke tepi untuk memperbaiki mesin motor yang tidak mempunyai tenaga untuk menggerakan speed boat. Ketika berhadapan dengan arus yang lebih kencang, kami terpaksa harus turun dari speed boat, dan perlahan-lahan mendorong melawan arus, bahkan ada beberapa diantara kami yang harus menarik speed boat dengan tali melintasi arus sungai. Rasa lelah, dan lapar tidak membuat kami putus asa untuk membawa salib dan gambar bunda Maria ke sebuah paroki di atas bukit. Untuk sampai ke paroki itu, kami harus melewati sungai dengan arus yang sangat keras. Rasa lelah berubah menjadi keceriaan tatkala ribuan kupu-kupu putih melintasi dan berarak bersama kami. Mereka sepertinya sedang menari, dan ikut berjuang bersama-sama dengan kami. Kupu-kupu itu sepertinya memberikan kegembiraan kepada kami. Kadang mereka mendarat di speed boat, dan beberapa diantara kami sibuk untuk menangkap dan mengumpulkan kupu-kupu putih tersebut. Kata mereka, kupu-kupu itu akan dikumpulkan dan dimakan. Sementara itu sepanjang aliran sungai, ribuan kupu-kupu, ada yang sedang terbang, ada yang sedang bermain-main di atas sungai. Salah satu diantara mereka berkata kepada aku; father, Allah juga ikut berjuang bersama kita untuk melawan arus sungai ini. Aku hanya menjawab “I think so”. Ia berkata lagi; Allah datang menemui kita, dalam keindahan kupu-kupu putih ini.
Setelah sekian lama melawan arus, kami akhirnya tiba juga di sebuah hutan, dan berlabuh di sebuah sungai kecil. Beberapa penduduk di sekitar itu sudah datang menyambut salib dan gambar bunda Maria yang kami bawa. Kami berjalan kaki lagi menuju sebuah kampung. Kampung itu letaknya di atas bukit, dengan pemandangan yang sangat menawan. Kurang lebih satu jam kami tiba di paroki itu. Hari sudah menjelang malam saat itu. Di depan pintu masuk kampung, sudah banyak umat berkumpul untuk menyambut salib dan gambar bunda Maria. Mereka berdoa dan menyanyikan lagu Maria. Beberapa kaum muda dari paroki kami menyerahkan salib kepada mereka. Dengan keceriaan, mereka membawanya menuju gereja. Salib dan gambar bunda Maria diletakkan di depan altar, dan semua orang yang datang menyaksikan dan memberi penghormatan kepadanya.
Cinta Allah
Dalam kesaksian hidup mereka, mereka membagikan pengalaman yang berharga bahwa Allah datang menemui dan mengunjungi mereka. Meskipun hidup di sebuah dunia yang sangat jauh dari keramaian, dengan akses tempat tinggal yang sangat jauh dari kota, dan sulit, tetapi Allah sendiri tetap memperhatikan hidup kami. Dia datang menemui kami di daerah ini. Umat yang tinggal di kampung itu semuanya beragama katolik. Sebagai ungkapan sukacita dan kegembiraan bahwa Allah datang menemui mereka, mereka berdoa dan memuji kebaikan Allah. Mereka datang membuat baris, sambil kepalanya tertunduk, masing-masing mulai dari yang kecil sampai yang tua, maju ke depan berlutut dan menyentuh salib, merangkul salib dan bunda Maria, sebagai ungkapan terima kasih atas rahmat yang boleh mereka terima. Aku berdiri di belakang mereka sambil memandang mereka melakukan tindakan yang serupa. Dalam hati kecil aku, ada kekaguman bahwa cinta Allah pertama-tama bukan karena usaha atau prestasi dari manusia, tetapi karena semata-mata rahmat dari Allah. Aku dapat mengalami Allah, bukan karena usaha aku, tetapi karena usaha dan inisiatif dari Allah yang datang menemuiku. Disinilah cinta Allah tidak pernah terungkap, dan cinta yang paling jelas itu dalam diri Yesus, yang datang sebagai manusia, solider dengan manusia, agar manusia dapat mengalami kasih Allah secara penuh.
Mencari Allah
Dalam Injil dikisahkan tentang Zakeus, seorang pemungut Cukai. Sebagai pemungut pajak ia masuk dalam jajaran pegawai dari kekuasaan bangsa Romawi. Kehadirannya tidak disukai oleh kebanyakan orang, bukan karena ukuran badannya yang pendek, tetapi karena kehadirannya membuat banyak rakyat menderita. Sebagai pegawai pajak, ia memungut lebih uang yang seharusnya diberikan untuk membayar pajak. Kelebihan uang ini dipakai untuk kantong pribadinya. Dengan kata lain, ia memeras dari rakyat. Sudah pasti, dia tidak disenangi oleh kebanyakan orang, dan dianggap sebagai orang berdosa. Dalam situasi yang terpuruk, justru ia berusaha mencari Allah. Ketika suatu saat Yesus datang ke kotanya, dia juga tidak ketinggalan untuk datang melihat Yesus. Namun, karena banyak orang yang mengelilingi Yesus, dan ukuran badannya yang pendek membuat dia kesulitan untuk melihat bagaimana rupa dari Yesus. Zakeus tidak kehilangan akal, dia lalu memanjat pohon supaya dapat melihat Yesus yang sedang berada di tengah kerumunan banyak orang. Ia berusaha mencari wajah Allah dalam diri Yesus. Ia mencari Yesus karena kerinduannya yang sangat besar untuk mengalami cinta dari Yesus seperti pengalaman dari kebanyakan orang yang mengalami penyembuhan. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, Yesus datang menemuinya. Di tengah kerumunan begitu banyak orang, Yesus justru lebih tertarik untuk melihat seorang pribadi yang sedang mencarinya, yang berada di atas pohon. Sesuatu yang tidak biasa. Yesus tidak hanya memandang dia, tetapi justru berbicara dengan Zakeus, dan berkata, bahwa dia ingin bertamu di rumahnya. Tentu Zakeus begitu kaget, heran, dan bahagia. Ia heran, karena sebagai orang berdosa, di mata banyak orang, Yesus berbicara dengan dia. Ia bahagia, karena Yesus mau datang ke rumahnya dan makan di rumahnya. Sesuatu kegembiraan yang meluap di hati Zakeus.
Pengalaman Zakeus menunjukkan dengan jelas bahwa rahmat Allah yang kita terima bukan semata-mata prestasi kita, bukan juga karena usaha keras kita, melainkan karena semata-mata rahmat Allah. Tuhan sendirilah yang datang menemui dan bertamu di dalam rumah kita. Ketika pencarian kita tentang Allah dengan usaha dan jerih payah yang melelahkan, tidak pernah kita temukan. Saat-saat seperti itulah Tuhan datang kepada kita dan bertamu di dalam rumah kita. Tuhan mengetahui segala apa yang sedang menjadi kegalauan hati kita.
Membuka hati disapa
Ketika kami kembali dari paroki di atas bukit itu, hati kami dipenuhi dengan keceriaan. Kami tidak lagi berjuang melawan arus. Kupu-kupu putih yang berarak mengantarkan kami juga sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah ketenangan. Salah satu anak muda berkata kepada aku, father, Tuhan kemarin datang berjuang bersama kita, Dia datang menemui kita yang sedang kelaparan, ketika kita lelah, capek, lapar, justru Dia datang menemui kita dalam semerbak ribuan kupu-kupu putih. Father, “ aku baru melihatnya ini pertama kali” kata dia lebih lanjut. Di kampung kita tidak ada kupu-kupu seperti itu, sungguh-sungguh rahmat yang mengagumkan.
Hidup saat ini adalah bukan suatu yang mudah. Kita hidup dengan suatu idealisme untuk mengejar kekayaan, prestasi, dan mengira itu semua memberikan kebahagian. Kadang kita harus berhadapan dengan arus kehidupan yang sangat kencang. Berbagai kegagalan, pengalaman pahit menghadang kita. Semangat hidup kita tidak ada lagi, ketika antuasisme meredup, karena berbagai kesulitan yang kita alami. Saat-saat seperti itu terkadang kita putus asa, dan tidak mengetahui apa yang harus kita lakukan lagi. Bahkan, termasuk mencintai orang-orang yang disekitar kita pun, kita abaikan begitu saja. Kehadiran Allah yang menyapa kitapun dalam pengalaman keseharian kita tidak kita rasakan lagi. Namun, seperti pengalaman Zakeus dan orang-orang Papua, Tuhan justru sedang berjuang bersama-sama kita. Tuhan tidak pernah membiarkan kita melawan badai kehidupan seorang diri, karena Dia menginginkan kita mengalami keselamatan, dan kebahagian dalam hidup ini. Yang terpenting adalah membuka diri untuk disapa dalam berbagai peristiwa ini, karena kehadiran Tuhan tidak pernah kita duga.
Merenungkan kembali pengalaman itu, aku terbawa dalam pergulatan untuk mengenal lebih dekat pribadi Yesus. Yesus adalah seorang pribadi yang mengagumkan. kehadiranNya membawa kebahagian bagi setiap orang yang membuka hatinya. Siapun pribadi kita dengan segala kelemahan, dan keterbatasan, dengan segala kerapuhan dan dosa kita, Tuhan tetap datang menyapa dan menemui kita. Apapun situasi kita, dia datang berjuang, dan berjalan bersama kita. Dia tidak pernah menunggu, apalagi menunda tetapi datang menemui kita. Yang terpenting adalah membuka hati kita untuk menerima rahmat dari Allah. Selanjutnya mewujudkan cinta Allah dengan mencintai setiap orang yang ada di sekitar kita, terutama orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dari kita. Saat di sanalah kita akan bertemu dengan Allah sendiri. Tidak ada ruang untuk menunda dan berhenti untuk mencintai, karena Allah adalah cinta itu sendiri. Kita telah mengalami dan menikmati hidup ini, karena semata-mata cinta yang datang dari Allah, bukan karena prestasi kita, tetapi karena kemurahan Allah. Cinta dan rahmat Allah inilah yang telah aku dengar bahwa Allah adalah Allah yang berani memberi tubuh dan darahNya bagi manusia. Allah adalah pribadi yang berani menderita, memikul salib yang berat, hingga wafat di kayu salib, hanya karena cinta kepada manusia. Allah adalah pribadi yang mengalahkan maut, agar aku semakin mengimani Dia bahwa DIa adalah Allah yang hidup yang menyertai setiap langkah hidup kita. Inilah rahmat Allah yang kita alami selama pekan suci.
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Minggu, Oktober 12, 2008
BUTTERFLY DANCE
Oleh: Pastor Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Delapan orang anak kecil keluar dari semak-semak dan mulai menari. Ditangan mereka masing-masing memegang ranting-ranting pohon yang dihiasi dengan bulu ayam berwarna putih. Seluruh tubuh mereka juga dicat dengan warna putih. Mereka tidak berbusana. Sedangkan di depan dan di belakang barisan anak-anak, dua orang pemuda, yang juga tanpa busana, dengan tubuh mereka juga dihiasi warna putih menari sambil memukul gendang. Mereka hanya mengenakan koteka. Diwajah mereka dicat berbagai warna-warni, di kepala mereka disematkan hiasan mahkota dari burung paradise dan di belakang punggung mereka, dicat dengan tulisan “welcome”. Gerakan mereka menyerupai kupu-kupu yang sedang terbang. Beberapa kali mereka mengelilingi halaman dengan tarian yang bervariasi seperti kupu-kupu. Semua yang berkumpul di sana dengan khidmat berdiri, mengagumi tarian yang sedang diperagakan untuk penerimaan beberapa tamu dari keuskupan. Itulah tarian kupu-kupu untuk penerimaan orang-orang asing yang datang ke kampung kami. Kata seorang bapak kepada aku. Menurut legenda, tarian kupu-kupu berasal dari nenek moyang mereka yang diwariskan turun-temurun untuk menyambut tamu asing. Semula ada sebuah batu besar. Suatu saat ada orang asing datang membawa pesan yang berguna bagi kehidupan mereka. Kupu-kupu putih itu keluar dari sebuah batu besar untuk menyambut mereka. Ribuan kupu-kupu putih terbang dan mengelilingi kampung, sebagai tanda akan datang tamu yang membawa warta gembira. Warisan ini diteruskan dan dilanjutkan oleh orang-orang refugis dari west papua. Setelah penyambutan dengan tarian kupu-kupu, dilanjutkan dengan acara makan bersama. Mereka membakar babi, sebagai tanda keramahan mereka untuk menjamu para tamu. Ketika kutanya, apakah hanya karena tatkala kami datang, mereka berkata bahwa kami lakukan pada umumnya menyambut tamu asing yang datang ke tempat kami. Apalagi para tamu yang datang adalah orang-orang yang membawa pesan yang berharga bagi kampung kami. Peristiwa itu mirip seperti yang dilakukan oleh orang-orang Papua di paroki Matkomnai. Pada saat kaum muda dari Australia datang ke paroki kami, mereka juga menunjukkan keramahan melalui penerimaan mereka dengan pakaian adat mereka. Mulai dari anak-anak, para wanita sampai orang tua ingin mempersembahkan yang terbaik dengan tarian untuk orang-orang Australia. Mereka memakai pakaian dari jenis rumput-rumput, dengan telanjang dada. Sedangkan di kepala mereka disematkan mahkota dari burung paradise. Mereka menari dan membentuk gerakan yang meragakan penerimaan tamu dengan kegembiraan. Itulah bentuk keramahan orang-orang Papua.
Orang-orang Papua mempunyai kebiasaan menjamu orang-orang asing bila datang ke tempat mereka. Mereka berusaha untuk memberikan yang terbaik. Rumah mereka yang sangat sederhana tidak mengurangi keramahan mereka untuk mengundang, datang dan bertamulah ke rumah kami. Citarasa keramahan mereka membuat aku merenungkan hidup kita.
Rahmat yang berharga
Di dalam kitab suci diceritakan tentang semangat keramahan dari orang-orang yang menerima orang asing. Suatu hari, Abraham sedang duduk dibawah kemahnya di Mamre. Ketika ia mengangkat mukanya dilihatnya tiga orang asing. Ia menyongsong mereka dan mempersilakan mereka datang dan beristirahat sejenak untuk melepaskan dahaga mereka, membiarkan mereka membasuh wajah mereka dengan air. Setelah itu Abraham dan Sarah istrinya menyediakan bagi mereka, air, roti dan lembu tambun yang terbaik. Ketiga tamunya akhirnya mengungkapkan diri mereka kepadanya bahwa istrinya akan melahirkan seorang anak, meskipun istrinya sudah sangat tua. Demikian juga yang dilakukan oleh Janda di Zaraphat, sikap keramahannya juga diperlihatkan ketika ia menghidangkan makanan dan menampung Elia di rumahnya. Ia menyediakan makanan untuk Elia, yang sebenarnya makanan itu merupakan persediaan yang terakhir untuk anak-anaknya, setelah itu ia dan anak-anaknya akan mati. Elia mengungkapkan dirinya sebagai utusan Allah yang akan memberikan kelimpahan minyak dan makanan, dan akan membangkitkan anaknya dari kematian. Dalam injil, kita dapat menyimak kisah tentang dua orang murid Yesus yang pergi ke Emaus, dan tiba-tiba di tengah jalan, hadir seorang asing yang berjalan-jalan bersama-sama dengan mereka. Karena hari menjelang malam, kedua murid itu mengundang seorang asing itu, datang dan tinggal bersama mereka. Pada akhirnya Yesus memperkenalkan diriNya tatkala Dia memecahkan roti dan membagi-bagikan kepada dua orang muridNya. Dia hadir sebagai Tuhan dan penyelamat. Keramahan yang diperlihatkan oleh kisah di atas bukan merupakan suatu kewajiban untuk menerima orang asing di dalam rumah mereka, tetapi lebih dari itu, karena orang-orang asing membawa pesan dan rahmat yang berharga bagi mereka.
Ketiga kisah di atas menunjukkan bahwa keramahan menerima seseorang mendatangkan berkat yang melimpah bagi penerima tamunya. Ketika merenungkan pengalaman dan kisah kehidupan orang-orang di dalam kitab suci dan kisah kehidupan orang-orang Papua, aku terpana pada sikap keramahan yang ditampilkan. Kehadiran orang asing tidak membuat mereka menaruh curiga, tetapi sebaliknya menerima mereka dengan sukacita, layaknya seorang sahabat lama yang tidak pernah bertemu, dan suatu saat datang ke tempat mereka. Mereka semua berusaha untuk memberikan yang terbaik. Dalam artian tertentu memberi kesan yang membuat orang terpesona, atau “memanjakan mereka”. Cita rasa keramahan yang ditampilkan ini membuat penerima merasa damai, karena berani untuk memberi yang terbaik, dan yang datang juga merasa diterima, dimanjakan, yang membuat kesan tersendiri bagi orang lain.
Datang dan Lihatlah
Dalam injil Yohanes dikisahkan bagaimana keramahan yang ditampilkan oleh Yesus. Ketika dua orang murid Yohanes bertanya di manakah engkau tinggal? Yesus menjawab kepada mereka “datang dan lihatlah”. Suatu bentuk undangan dari Yesus untuk datang dan mengenal Dia secara lebih dekat. Tetapi dibalik itu semua suatu bentuk keramahan dari Yesus yang mengundang para murid Yohanes untuk memahami dan mengerti dengan benar bahwa Dialah Tuhan yang ditunggu-tunggu. Untuk mengenal pribadi Yesus tidak cukup hanya dengan mendengar saja, tetapi datang mengikuti Dia, berkunjung ke rumah Dia, mengenal Dia secara lebih mendalam. Pengenalan secara mendalam mengandaikan sikap untuk datang dan mengalami secara langsung. Sikap Yesus ini menunjukkan suatu sikap yang terbuka kepada siapapun yang datang kepadaNya. Yesus hanya menawarkan bentuk keramahanNya, tergantung dari kita, apakah kita berani untuk memenuhi undanganNya atau tidak.
Undangan itu mirip seperti yang dilakukan oleh orang-orang Papua. Dalam kesederhanaan, mereka selalu mengundang setiap orang untuk datang dan mengenal mereka secara lebih dekat. Mereka adalah pribadi-pribadi yang terbuka untuk disapa, untuk disentuh dengan kasih. Kehadiran kita akan membuat mereka selalu ingin menyuguhkan yang terbaik bagi siapa saja yang datang ke tempat mereka.
Ketika merenung seorang diri, aku menemukan hidup sekarang ini semakin memuja pada semangat individualisme. Artinya semangat yang berpusat pada diri sendiri, tanpa menghiraukan orang lain di sekitar kita. Semangat keramahan kepada orang lain semakin luntur, karena kita terbawah pada sikap tidak mempercayai orang lain. Orang lain adalah bukan aku yang lain. Orang lain adalah di luar dari hidup kita, sehingga ketika ada orang yang datang kepada kita, sikap yang kita tampilkan adalah sikap tidak ramah, untuk tidak mengatakan sikap menolak kehadiran mereka. Kita tidak membiarkan ruang sedikit pun untuk mengenal mereka secara mendalam, dan sebaliknya tidak ada ruang pula bagi mereka untuk mengenal kita secara lebih mendalam. Kita menutup jendela hati kita untuk mereka. Lantas undangan untuk masuk dalam perjamuan, menikmati bersama menjadi tidak ada lagi. Karena kehadiran orang asing adalah kehadiran yang merepotkan kita. Kehadiran orang asing adalah kehadiran yang membuat kita sibuk dengan segala banyak urusan. Lantas yang terjadi adalah sikap tidak ramah yang kita tampilkan.
Tetapi orang Papua berkisah lain tentang kehadiran orang lain. Orang lain adalah rahmat karena mereka membawa pesan bagi mereka. Maka suguhan yang paling baik diberikan. Tarian kupu-kupu dan tarian adat mereka tampilkan. Semua yang mereka lakukan hanya untuk memberikan kegembiraan dan kelegaan kepada para tamu. Sagu, pisang, dan segala bentuk makanan mereka sajikan hanya untuk membuat para tamu merasa dimanjakan. Dalam kesederhanaan, mereka tetap mengundang setiap orang asing untuk datang ke rumah mereka. Mereka tidak pernah malu untuk berkisah tentang rumah, kehidupan dan makanan yang sederhana yang disajikan oleh mereka. Karena itulah cita rasa keramahan mereka. Keramahan yang keluar dari ketulusan dan keterbukaan hati mereka untuk menerima siapapun yang datang berkunjung ke tempat mereka. Bagi mereka orang asing adalah tamu yang terhormat, maka memberi tempat yang terhormat dengan menyajikan sesuatu yang terbaik mendapat tempat yang pantas dalam budaya mereka.
Tarian kupu-kupu itu mengingatkan aku, dan mengingatkan kita akan semangat keramahan, dalam menerima orang lain. Kehadiran orang lain, siap pun orangnya, terlebih lagi orang miskin adalah kehadiran yang memberi pesan bagi kehidupan kita. Acap kali kita lalai terhadap kehadiran mereka di depan pintu rumah, di depan pintu pastoran kita, karena anggapan kita mereka adalah orang lain, mereka adalah orang asing. Namun kitab suci mengingatkan kita “barangsiapa menerima orang sekecil ini, ia menerima Aku”. Itulah kehadiran Yesus yang datang bertamu dalam rupa orang asing, dalam rupa orang miskin. Dalam diri orang yang kotor, bau badan, dengan pakaian seadanya. Tetapi kehadiran mereka membawa pesan, bahwa Tuhan sendiri yang datang berkunjung ke dalam rumah kita. St. Vinsensius berkata kalau ada orang yang datang ke tempatmu, dan pada saat itu kamu sedang berdoa, “tinggalkan Tuhan untuk bertemu dengan Tuhan, yang hadir dalam diri sesamamu. Kata-kata itu menjadi kekuatan kita untuk menerima orang dengan keramahan, dan dengan sikap yang terbuka dan tulus. Seperti Tuhan Yesus sendiri yang menerima kedua murid Yohanes, kita pun berani berkata “ datanglah dan lihatlah”. Disinilah damai itu dapat kita rasakan, karena kita melayani Tuhan yang hadir dalam diri mereka. inilah pesan kehadiran mereka orang-orang miskin.
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Labels:
butterfly,
dance,
mans,
mans. werang,
papua
Kamis, Oktober 09, 2008
Misa Pelantikan Pengurus PDKK Kristus Salvator 2008-2011
Pastor Anton dalam misa pelantikan pengurus baru PDKK Kristus Salvator mengingatkan bahwa dalam setiap pelayanan dapat terjadi perselisihan paham atau pendapat tentang sesuatu hal. Demikian halnya pernah terjadi pada jaman Rasul Paulus dengan Petrus dan Yakobus seperti tertulis dalam surat Paulus kepada Jemaat Galatia tentang adanya permasalahan/perbedaan pendapat dalam hal perlunya Hukum Taurat diterapkan kepada golongan yang tidak bersunat atau non Yahudi yang telah menjadi Kristen.
Merujuk pada bacaan Injil, selanjutnya Pastor mengingatkan bahwa kita dipanggil untuk melakukan pelayanan dalam kasih agar dengan demikian kita tidak akan menjadi batu sandungan bagi yang lainnya.
Demikian dilaporkan dari Misa pelantikan malam hari ini (8 Oktober 2008).
Andreas Andy S.
Kamis, September 18, 2008
MENGENAL SIMBOL "TAU"
TAU merupakan simbol yang dikenal di dunia ini yang mempunyai ciri khas Kristiani - Fransiskan. TAU ini merupakan huruf terakhir dalam abjad bahasa Hibrani dan huruf tengah dalam bahasa Yunani. TAU juga digunakan sebagai tanda tangan St. Fransiskus.
Dalam Kitab Perjanjian Lama: Kitab Keluaran menjelaskan bahwa rumah yang pintunya ditandai darah anak domba dilewati oleh Tuhan atau tegasnya rumah yang pintunya ditandai darah anak domba, anak sulungnya tidak dibunuh oleh Tuhan (Kel 12:7. 13.22-23). Sedangkan dalam Kitab Nabi Yeheskiel, T merupakan tanda bagi orang yang terpilih. Mereka yang ditandai dengan huruf T pada dahi merupakan orang yang terpilih, yang berada dalam perlindungan khusus dari Allah (lih.9:4-6). Dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam Kitab Wahyu, Allah memberikan meterai pada dahi sebagai tanda keselamatan yang definitif (Why 7:2-3; 9:4; 14:1). T bentuknya menyerupai Salib Kristus karena itu sejak dulu T merupakan simbol salib, tanda keselamatan dan berkat.
Dalam tradisi Fransiskan, Santo Fransiskus pertama-tama menggunakan TAU sebagai tanda pertobatan dan pembaharuan diri, mengikuti jejak Kristus dan kasihnya pada salib. Kerapkali Santo Fransiskus menggunakan TAU sebagai tanda tangan pada surat-suratnya sebagai tanda meditasi dan berkat. Misalnya surat kepada Saudara Leo. Melalui tanda TAU yang ditulisnya pada kertas atau yang tertera pada dahinya, Santo Fransiskus menyelamatkan banyak orang (bdk Thomas Celano, second Life bagian II bab XX dan LXXII; Thomas Celano,The Treatise of Miracles bagian II.3, bab XVII.59; Santo Bonaventura, Major Life of St. Francis, prolog 1; bab IV.9 dll).
Bagi para pengikut Fransiskus yakni para putera dan puteri Fransiskan, TAU merupakan warisan Fransiskus yang mendorong mereka untuk mengikuti ajaran dan teladan Tuhan kita Yesus Kristus dan setiap hari memikul salib Tuhan kita Yesus Kristus.
Dalam tulisan yang singkat ini kami berusaha memperkenalkan TAU, yang dipakai oleh para pengikut St. Fransiskus Asisi, dengan harapan agar pembaca dapat mengenal TAU dan mencintainya, menjadikan TAU sebagai salib yang menjadi lambang, tanda dan sarana keselamatan Allah.
Ordo Saudara-saudara Dina (OFM)
Provinsialat:
Jl. Kramat 5 No.10, Jakarta Pusat
Tel/Fax : 021-3101940
Sumber: Brosur informasi yang menyertai pemberian kenang-kenangan dari Pastor Robby Wowor OFM untuk peserta Kursus Kitab Suci di Paroki/Gereja Santa Theresia - Jakarta Pusat (Tanggal 5 Agustus 2008 s.d 23 September 2008)
Minggu, September 14, 2008
ULANG TAHUN KE 40 PAROKI KRISTUS SALVATOR, SLIPI - JAKARTA
Pada tanggal 13 September 2008 telah diselenggarakan perayaan Ekaristi pesta puncak Hari Ulang Tahun ke-40 Paroki Kristus Salvator jam 16.30 - 18.15.
Selesai perayaan Ekaristi dilanjutkan dengan acara pemberian penghargaan kepada para umat yang berjasa dalam pengabdian di paroki dengan kriteria tertentu oleh panitia penghargaan. Tercatat 18 umat yang mendapatkan penghargaan dimaksud. Selamat ya kepada Bapak/Ibu semua yang mendapatkannya.
Terakhir adalah acara makan malam bersama dan penyerahan hadiah lomba olah raga dan kebersamaan yang diselingi dengan pembagian DOOR PRIZE.
Download susunan acara, click di sini.
Demikian dilaporkan.
(Andreas Andy S.)
Berikut ini cuplikan rekaman video suasana perayaan ulang tahun ke 40 Paroki Kristus Salvator.
VIDEO-1
VIDEO-2
HATI SEBAGAI HAMBA
Topik ini adalah kiriman dari teman kita, Loly, yang diperoleh dari mengikuti seminar pada bulan Juni 2008 di Shekinah-Jakarta yang dibawakan oleh Bapak Benyamin Ratu.
Membaca dari tulisan terlampir di bawah ini, Topik “Hati Sebagai Hamba” ingin memberikan pengetahuan dan pemahaman terkait dengan hal-hal yang perlu disadari sebagai pelayan Tuhan atau dalam melayani Tuhan atau pelayanan.
Melayani Tuhan atau seorang pelayan Tuhan harus memiliki kesadaran dan mempunyai komitmen akan hal-hal diantaranya sebagai berikut:
1. Kerelaan diri menjadi pelayan atas orang lain
2. Mau melepaskan hak individunya/kehendak bebasnya
3. Perilakunya yang benar sesuai dengan perkataannya dan rendah hati
4. Mengerjakan pekerjaan Tuhan tanpa pamrih dalam bentuk apapun
5. Siap menderita karena tugas dan tanggung jawab pelayanannya
6. Mengerjakan pekerjaan Tuhan dalam kekudusan
Salah satu paragraf dari tulisan tersebut yang mungkin dapat menjadi renungan bagi kita adalah:
“Ketika kita mulai belajar untuk menjadi pelayan atas orang lain, mulanya memang kita dengan sukacita menerima dan melakukannya. Namun bila kerelaan itu memudar atau menghilang dari diri kita, maka kita akan berpikir bahwa sepantasnyalah kita yang harus dilayani, karena kita telah menghasilkan prestasi yang luar biasa di dalam pelayanan.”
Selamat membaca dan merenungkannya !
Andreas Andy S.
Download “Hati Sebagai Hamba”, click di sini
Jumat, September 05, 2008
BELAJAR UNTUK MENGATAKAN “TIDAK”… AGAR ANDA DAPAT MENGATAKAN “YA” YANG LEBIH BESAR KEPADA HIDUP!
Orang Yang Menyusahkan Akan Mengajar Anda Bagaimana Membangun Batasan-batasan Anda
Jika Anda adalah seorang yang sangat membutuhkan pengakuan dari orang lain atau seorang yang selalu ingin menyenangkan orang lain seperti saya, saya menulis ini secara khusus bagi Anda.
Anda lihat, saya adalah seorang yang tidak suka mengatakan “Tidak”.
Untuk waktu yang sangat lama, kata itu bahkan tidak terdapat dalam perbendaharaan kata saya.
Selama bertahun-tahun, saya tidak pernah menunjukkan kemarahan saya kepada siapapun. Setelah tersenyum bertahun-tahun, bahkan ketika saya tersinggung, saya sampai pada satu titik dimana saya bahkan tidak lagi merasakan kemarahan. Saya hanya menepis itu dari hidup saya.
(Percaya deh, hal ini membuat saya berpikir saya begitu kudus. Tidak menyadari bahwa jauh dalam diri saya, saya sangat kacau secara emosional.)
Saya mempunyai ketergantungan akan pengakuan yang sangat kuat, yang mengatur setiap keputusan yang saya buat.
Mengapa? Karena saya sangat ingin orang menyukai saya.
Ketika seseorang tidak menyukai saya, saya merasa sangat susah.
Saya tidak mencintai diri saya sendiri.
Saya mempunyai harga diri yang sangat rendah dan buruk sekali.
Karena itu saya mencoba untuk menyenangkan semua orang dalam segala cara.
Saya membenci semua jenis konflik.
Oh ya, saya dulu sangat kacau.
Dan salah satu cara untuk membuat orang lain mengasihi saya adalah dengan selalu mengatakan “Ya”.
Saya tidak pernah tahu dengan mengatakan “Ya” setiap saat sebenarnya sama dengan mengatakan “Tidak” kepada suatu hidup yang berkelimpahan.
Maka saya mentolerir semua orang yang menyusahkan dan vampir emosional di planet ini: Orang-orang aneh yang ingin memegang kendali. Ratu-ratu drama. Kasus-kasus yang tidak logis. Orang-orang yang selalu marah. Orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Orang-orang yang hiper-sensitif. Para parasit yang posesif. Anda sebut orang yang menyusahkan, saya akan menyenangkan setiap mereka – hanya
untuk menjaga kedamaian. Tapi damai yang keliru harus dibayar dengan suatu harga: saya membuang kedamaian hati saya. Rasa hormat terhadap diri sendiri. Harga diri saya.
Saya akan ceritakan sebuah kisah pada Anda…
Bangun Batasan-batasan Anda – Agar Anda Dapat Menyambut Orang Lain Sebagai Tamu
Melalui Pintu Gerbang, Bukan Pencuri Yang Berlari Mengamuk Ke Dalam Hidup Anda
Billy (bukan nama sebenarnya) adalah seorang teman yang mengundang saya untuk menjadi seorang rekan bisnis dalam salah satu perusahaannya.
Tapi ia mempunyai satu kelemahan: Dia adalah seorang yang ingin mengendalikan. Ia ingin mengendalikan saya. Ia ingin mengendalikan semua orang. Termasuk matahari dan bulan dan bintang. Untuk sementara, saya bisa menerimanya. Saya menganggapnya sebagai salah satu hal yang tidak menyenangkan dalam hidup, seperti jalinan
kemacetan Manila, kelembaban Filipin, dan alergi saya terhadap udang.
Tapi bekerja dengan Billy sangatlah membuat stres.
Saya tidak ingin mengakuinya. “Tapi dia adalah teman saya,” saya katakan pada diri sendiri setiap kali saya merasa stres. Saya menyangkalnya. Ketergantungan saya akan pengakuan tengah membutakan saya pada kenyataan bahwa bekerja bersamanya membuat saya tidak waras.
Namun suatu hari, saya harus mengatakan “Tidak” dan membangun batasan-batasan pribadi saya. Banyak kali saya membiarkan dia menginjak-injak pagar saya. Saya harus memperbaiki batasan-batasan saya dan melindungi diri saya.
Hal itu sangat menyakitkan, tapi saya tahu hanya ada satu jalan keluar. Maka suatu hari, saya mengatakan pada Billy bahwa meskipun saya ingin tetap berteman, saya ingin keluar dari kerjasama bisnis kami.
Ia tidak dapat menerima hal itu. Maka sejak hari itu, ia tidak pernah berbicara pada saya lagi. Hal itu menyakitkan karena persahabatan kami berakhir.
Tapi saya langsung tahu saya telah melakukan sesuatu yang benar karena saya merasakan kedamaian hati hari itu. Ketergantungan akan pengakuan saya disingkirkan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya menciptakan sebuah konflik. Dengan menghormati diri saya sendiri dan garis batasan saya, saya sedang bertumbuh dalam kekuatan diri.
Hari itu, saya akhirnya mencintai diri saya sendiri.
Hari ini, relasi-relasi saya lebih kaya.
Karena batasan-batasan saya utuh, orang-orang yang datang dalam hidup saya adalah para tamu yang diundang yang masuk melalui pintu gerbang (saya membukanya dengan sengaja bagi mereka), bukan pencuri yang lari mengamuk ke dalam hidup saya.
Ketika Anda mengatakan “Tidak” pada situasi yang tepat, Anda sedang mengatakan sebuah “Ya” yang lebih besar kepada hidup.
Kebenaran: Orang Akan Melakukan Apa Yang Anda Toleransikan
Ijinkan saya mengajukan pertanyaan ini: Adakah orang-orang dalam hidup Anda yang kepada mereka Anda harus mengatakan “Tidak”? Adakah orang-orang yang menyusahkan dalam hidup Anda yang telah menabrak gerbang dan berlari mengamuk ke dalam hidup Anda?
Ingat: Anda mengajar orang lain bagaimana memperlakukan Anda.
Jika orang tersebut melecehkan Anda, atau menghancurkan batasan-batasan Anda, itu berarti Anda mengajar orang itu bahwa apa yang dilakukannya adalah wajar. Anda mentoleransi. Dan orang lain akan melakukan apa yang Anda toleransikan.
Solusinya mungkin tidak dengan mengakhiri relasi (meskipun terkadang, itu adalah solusinya), tapi hanya untuk sekedar mengatakan “Tidak” pada situasi tertentu dimana orang itu melintasi garis batasan Anda.
Nyatakan kembali diri Anda.
Jangan biarkan orang lain menghancurkan Anda.
Tuhan mencintai Anda. Tuhan menciptakan Anda sebagai anakNya. Tuhan
ingin Anda bahagia.
Karena itu berbahagialah.
Semoga impian Anda menjadi kenyataan,
Bo Sanchez
Terjemahan oleh : Jessica J. Pangestu
Sumber: Milis Bo Sanchez
Kiriman dari: Andreas Andy S. (Paroki Kristus Salvator, Jakarta)
Jumat, Agustus 15, 2008
WHY GOD ?
Senja baru saja kembali ke peraduaannya. Awan berarak pulang, terbang bersama suara alam memberitakan kidung malam. Nyanyian malam yang mengisahkan tentang kesunyiaan hati warga Papua. Nyanyian yang tidak bisa didengar dengan telinga, tetapi hanya bisa dirasakan dalam lubuk jiwa insan yang mengalaminya. Malam tak ada cahaya lampu lagi di rumah-rumah. Saat di mana persediaan minyak tanah di rumah mereka sudah tidak ada lagi. Saat di mana mereka datang ke kota untuk mencarinya di sana, tetapi di kota pun sudah habis. Saat di mana, beberapa minggu hujan tidak turun di kota, sehingga menyebabkan sungai mengalami kekeringan, dan kapal tidak dapat masuk ke pelabuhan Kiunga. Maka satu-satunyanya harapan mereka adalah cahaya lilin untuk menerangi hidup mereka di malam hari. Demikian juga di pastoran, tak ada lagi nyala listrik, persediaan disel untuk generator sudah habis. Yang ada cuma nyala lilin kecil di pastoran.
Di jalan masuk menuju gereja, terlihat beberapa umat yang berjalan dengan nyala lampu senter yang bergegas menuju pastoran. Mereka datang ke pastoran untuk mencari lilin. Kebetulan malam itu, di pastoran juga persediaan lilin sudah tidak ada lagi. Biasanya persediaan lilin selalu ada, tetapi saat itu sudah habis. Kami lupa membelinya di kota. Aku tahu keluarga Joan dan Jack serta anak-anaknya itu sangat mengharapkan ada persediaan lilin di pastoran. Ketika kukatakan bahwa tidak ada lilin lagi, mereka hanya berkata “no problem father”. Mereka terus duduk di beranda pastoran dan bercerita tentang kehidupan keluarga mereka, tentang anak mereka, dan tentang tak ada cahaya lampu lagi di malam hari. Aku hanya coba mendengarkan kisah tentang kehidupan keluarga mereka. Tak ada kata yang dapat aku ungkapkan, karena aku tahu mungkin ini yang bisa aku lakukan adalah mendengarkan kisah kehidupan mereka.
Lorong-Lorong Gelap
Joan adalah seorang guru yang mengajar di Elementary School. Suaminya bekerja sebagai security. Mereka dianugerahi dua orang anak. Suatu saat, Jenevi, anak yang paling terakhir, jatuh sakit. Ini merupakan pukulan berat bagi keluarga mereka. Berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, dia dan suaminya harus menjaga Jenevi di rumah sakit. Jenivi yang masih kecil itu tidak dapat menahan rasa sakit. Hari-hari dia hanya bisa menangis. Ayah dan ibunya bingung dan sedih melihatnya. Jenivi tidak dapat mengerti dan menghayati rasa sakitnya. Yang dia lakukan adalah menangis, dan kadangkala dia berteriak, karena merasakan sakit yang luar biasa. Hari-hari Ayah dan ibunya hanya berdoa dan berdoa. Mereka sepertinya masuk dalam lorong-lorong hidup yang gelap. Tak ada terang yang memberi secercah harapan bagi anak mereka. Karena anak mereka terus menerus menangis. Keluarga ini sebenarnya takut, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Jenevi. Jenevi sebenarnya mempunyai saudari kembar, tetapi sudah dipanggil oleh Tuhan. Rasa takut akan pengalaman yang sama membuat mereka berada dalam lorong-lorong kehidupan yang gelap. Doa sebagai satu-satunya harapan dan tempat mereka berkanjang menjadi tumpuan hidup keluarga mereka. Namun lorong-lorong penderitaan yang dirasakan oleh anak mereka membuat mereka bertanya “mengapa Tuhan”? Sebuah pertanyaan bernada menggugat. Karena takut kalau anak mereka mengalami kelumpuhan atau mengalami nasip yang sama yang dialami oleh saudari kembarnya Jenevi.
Sebagai keluarga kristiani yang setia dan berani berkorban dan melayani sesama. Pertanyaan mengapa Tuhan, penderitaan ini harus dialami oleh anak kami? Bukankah kami sudah setia mengikuti engkau? Bukankah kami tidak pernah melupakan engkau? Bukankah kami setia melayani engkau? Bukankah kami selalu giat mengikuti setiap kegiatan rohani dan sangat aktif membantu kehidupan iman umat di paroki? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab, mengapa penderitaan, rasa sakit, dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang setia kepada Allah, dan yang dermawan kepada orang lain? Namun akhirnya mereka menyadari misteri cinta Allah yang tersembunyi dan tidak dapat diketahui untuk saat ini. Mereka meyakini bahwa rencana Allah selalu indah bagi kehidupan mereka. Ada pesan dibalik semua penderitaan ini. Maka yang kami lakukan adalah terus berdoa. Malam hari kami melakukan doa bersama. Sebuah doa yang sederhana, mengingatkan bahwa pertolongan datang kepada kami dari Allah yang membuat langit dan bumi. Kami berusaha menemukan beberapa tindakan cinta untuk menghayati dan merasakan kehadiran Allah yakni melayani Jenevi dengan penuh cinta, hadir di tengah dia dan bersama dengan dia. Kami “menunggu” dan di dalam keheningan kami merasakan kasih Allah yang menyelamatkan. Lalu, sesudah itu kami melihat anak kami bisa tertidur. Kami tidak tahu apa yang terjadi keesokkan harinya, tetapi pada akhirnya kami merasa lebih baik. Lorong-lorong gelap itu tampak mulai ada cahaya, karena yakin bahwa pertolongan Tuhan datang pada waktunya. Dalam masa penantiaan menunggu, kami mencoba menghayati dalam keheningan. Di sanalah kasih Allah kami rayakan.
Pengalaman Getzemani
Ketika Yesus mengetahui bahwa dia akan menghadapi dan mengalami penderitaan, Yesus sungguh merasakan ketakutan yang luar biasa. Di taman Getzemani peluh darah mengalir di tubuhnya, karena ketakutan yang akan dihadapinya. Yesus berdoa sampai tiga kali. Bahkan Dia meminta para muridNya untuk menemani Dia dalam berdoa “tidak bisakah kamu bersamaku satu jam saja”? Yesus menggugat kesetiaan para muridNya. Namun akhirnya Dia menyadari karya perutusanNya “ Ya Bapa, biarlah piala ini berlalu dari padaKu, namun bukan karena kehendakKu, melainkan karena kehendakMu”. Tuhan Yesus sungguh-sungguh menyakini kasih BapaNya akan selalu menyertaiNya.
Saat mengalami penderitaan di Kayu salib, Tuhan Yesus merasa sendirian. Dia merasa ditinggalkan oleh BapaNya. “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus memasuki lorong-lorong gelap, karena merasa ditinggalkan oleh BapaNya. Namun, lorong-lorong gelap mulai ada cahaya ketika Yesus meyakini dan pasrah kepada kehendak BapaNya. Dia diutus untuk melanjutkan karya perutusan BapaNya di surga. Karya dan perutusan ini harus dilaksanakan. Puncak karya perutusanNya adalah penderitaan, dan wafat di kayu salib. Pada titik ini Yesus menyadari dan mengetahui bahwa BapaNya mempunyai rencana yang indah bagi DiriNya.
Sahabat Allah
Pengalaman penderitaan merefleksikan suatu pengalaman manusia yang tidak mengenakan. Seperti halnya yang dialami oleh Yesus ketika menghadapi penderitaan adalah rasa takut dan merasa ditingalkan oleh BapaNya di surga. Pengalaman yang sama acap kali juga kita alami dalam hidup kita yakni merasa ketakutan dan ditinggalkan oleh Tuhan. Maka pertanyaan bernada menggugat seperti ini seringkali kita lakukan adalah “mengapa Tuhan ini terjadi padaku”. Mengapa aku harus menanggung penderitaan seperti ini? Mengapa keluargaku harus menanggung penderitaan seperti ini? Namun pertanyaan seperti ini tak pernah tuntas terjawab, karena kemampaun kita sangat terbatas untuk menyelami rencana Allah atas hidup kita. Disini pentinglah kita memiliki iman seperti yang dilakukan oleh keluarga Joan dan Jack. Ungkapan mereka adalah rencana Allah selalu indah, bahkan pada saat kita mengalami situasi penderitaan. Hanya iman dapat membuat kita memiliki pengharapan, bahwa sesuatu akan terjadi yang tidak dapat kita ramalkan yakni tangan Allah selalu menyapa dengan lembut. Jika kita memiliki pengharapan, maka kita akan memiliki keberanian untuk sabar menanti pertolongan dari Tuhan.
Saat-saat mengalami penderitaan adalah saat-saat kita merasakan keterbatasan kita sebagai manusia. Namun rencana Allah yang indah dibalik itu akan kita rasakan, bila kita memiliki iman. Betapa kita semakin dekat dengan Tuhan. Saat-saat seperti itu adalah saat-saat kita membiarkan diri kita menjadi sahabat Allah. Kesempatan kita untuk merajuk persahabatan dengan Tuhan dalam doa-doa kita. Waktu kita menjadi tersedia untuk Tuhan. Karena satu-satuNya harapan dan tempat kita mengadu adalah berseru kepada Allah. Keluarga Joan dan Jack sudah mengalami saat-saat seperti itu. Tatkala lorong-lorong gelap mereka tapaki, ketakutan dan keputusasaan mereka alami, namun ketika iman dan keyakinan berkobar dalam hati mereka, mereka menjadi sadar bahwa pertolongan dari Tuhan akan datang pada waktunya. Kekuatan yang memungkinkan mereka berada dalam keberanian untuk bersabar adalah karena Tuhan adalah sahabat mereka. Mereka mengisi hari-hari bersama dengan Jenevi dengan doa, melayani Jenevi dengan penuh cinta dan senyum.
Nyala Kasih
Kisah kehidupan keluarga Joan dan Jack membuka mata hatiku akan misteri kasih Allah yang tersembunyi. Allah mempunyai rencana indah bagi hidup kita. Yang terjadi adalah seringkali kita gagal untuk melihat cinta Allah karena terlanjur hidup dalam keputusasaan. Saat-saat penderitaan kita lihat sebagai bentuk hukuman dari Allah. Allah bagi kita adalah seorang hakim yang siap memukul gendang palu untuk memberikan hukuman atas segala sikap hidup kita. Dengan demikian, kita gagal melihat Allah sebagai seorang Bapa yang penuh belas kasih. Bapa yang mau menerima anaknya kembali. Bila kita mampu melihat kasih Allah yang demikian, nyala kasih itu sedang menerangi lorong-lorong gelap kehidupan kita. Hanya dengan iman, harap dan kasih, kita akan mampu melihat semuanya itu. Pertanyaan mengapa Tuhan akan tersingkapkan kepada kita. Karena dibalik semua penderitaan ada pesan bagi kehidupan kita yakni nyala kasih terpancar di sana.
Nyala lilin di pastoran sudah hampir habis. Hampir dua jam, keluarga Jack dan Joan berkisah tentang pengalaman iman mereka. Pengalaman yang sungguh mengalir dari kedalaman hidup mereka. Ketika mereka pamit kembali ke rumah, pertanyaan mengapa Tuhan masih ada di benakku. Mengapa Tuhan mereka sudah miskin, dan sekarang tidak ada lagi persediaan minyak tanah? Mengapa hujan tidak turun di kota sehingga sungai kering dan kapal laut tidak dapat merapat ke pelabuhan. Mengapa aku tidak menyediakan lilin di pastoran? Aku sendiri pun tidak menemukan jawaban yang tuntas. Namun aku ingat kisah kehidupan Jack dan Joan, berdoalah bahwa pertolongan akan datang pada waktunya. Lakukan sesuatu yakni mencoba mendengarkan kisah kehidupan mereka dengan kasih. Miliki pengharapan bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah.
Dua minggu kemudian, nyala lampu di rumah-rumah penduduk mulai terang kembali. Persedian minyak tanah di rumah-rumah dan di kota sudah ada lagi. Bahkan disel untuk generator di pastoran pun sudah ada lagi . Hujan mulai turun lagi membasahi jalan-jalan di kota dan mengenangi sungai kembali. Kini aku sadar seperti itulah kehidupan. Kita perlu mengalami dan merasakan lorong-lorong yang gelap dalam hidup kita. Seperti Mother Theresa juga mengalami pengalaman berada dalam lorong-lorong gelap. Dalam surat-suratnya yang ditulis untuk superior jendral, ia menulis tentang pengalaman kekosongan dan kegelapan dalam hidupnya. (“...God, please forgive me. When I try to raise my thoughts to Heaven, there is such convicting emptiness that those very thought return like sharp knives and hurt my very soul. I am told God loves me, and yet the reality of darkness and coldness and emptiness is so great that nothing touches my soul. Did I make a mistake in surrendering blindly to the call of Sacred Heart)( Time, September 3rd 2007). Mother Theresa sendiri pun mengalami pengalaman berada dalam lorong-lorong gelap. Kepada Father Lawrance Picachy, August 1957, Ia menulis “Tell me, Father, why is there so much pain and darkness in my soul?” Mother Theresa juga bertanya “mengapa aku mengalami penderitaan dan saat gelap dalam hidup ini. Tetapi Mother Theresa juga menulis dalam pengalamannya (“If this brings you glory, if souls are brought to you, with joy I accept all to the end of my life”). Seperti Mother Theresa, kita sendiri juga mengalami saat-saat gelap dalam hidup kita. Saat kita sendiri sakit, atau saat orang yang kita cintai menderita pengalaman yang pahit atau juga saat anak-anak kita mengalami sejumlah kegagalan dalam hidup atau, saat anak-anak kita tidak lagi peduli dengan kehidupan kita. Saat-saat seperti itu mungkin kita selalu bertanya “mengapa Tuhan”? Namun dibalik peristiwa itu ada makna yang mendalam, agar kita semakin mengerti bagaimana mencintai dan bagaimana belas kasih itu kita hayati.
Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Di jalan masuk menuju gereja, terlihat beberapa umat yang berjalan dengan nyala lampu senter yang bergegas menuju pastoran. Mereka datang ke pastoran untuk mencari lilin. Kebetulan malam itu, di pastoran juga persediaan lilin sudah tidak ada lagi. Biasanya persediaan lilin selalu ada, tetapi saat itu sudah habis. Kami lupa membelinya di kota. Aku tahu keluarga Joan dan Jack serta anak-anaknya itu sangat mengharapkan ada persediaan lilin di pastoran. Ketika kukatakan bahwa tidak ada lilin lagi, mereka hanya berkata “no problem father”. Mereka terus duduk di beranda pastoran dan bercerita tentang kehidupan keluarga mereka, tentang anak mereka, dan tentang tak ada cahaya lampu lagi di malam hari. Aku hanya coba mendengarkan kisah tentang kehidupan keluarga mereka. Tak ada kata yang dapat aku ungkapkan, karena aku tahu mungkin ini yang bisa aku lakukan adalah mendengarkan kisah kehidupan mereka.
Lorong-Lorong Gelap
Joan adalah seorang guru yang mengajar di Elementary School. Suaminya bekerja sebagai security. Mereka dianugerahi dua orang anak. Suatu saat, Jenevi, anak yang paling terakhir, jatuh sakit. Ini merupakan pukulan berat bagi keluarga mereka. Berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, dia dan suaminya harus menjaga Jenevi di rumah sakit. Jenivi yang masih kecil itu tidak dapat menahan rasa sakit. Hari-hari dia hanya bisa menangis. Ayah dan ibunya bingung dan sedih melihatnya. Jenivi tidak dapat mengerti dan menghayati rasa sakitnya. Yang dia lakukan adalah menangis, dan kadangkala dia berteriak, karena merasakan sakit yang luar biasa. Hari-hari Ayah dan ibunya hanya berdoa dan berdoa. Mereka sepertinya masuk dalam lorong-lorong hidup yang gelap. Tak ada terang yang memberi secercah harapan bagi anak mereka. Karena anak mereka terus menerus menangis. Keluarga ini sebenarnya takut, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Jenevi. Jenevi sebenarnya mempunyai saudari kembar, tetapi sudah dipanggil oleh Tuhan. Rasa takut akan pengalaman yang sama membuat mereka berada dalam lorong-lorong kehidupan yang gelap. Doa sebagai satu-satunya harapan dan tempat mereka berkanjang menjadi tumpuan hidup keluarga mereka. Namun lorong-lorong penderitaan yang dirasakan oleh anak mereka membuat mereka bertanya “mengapa Tuhan”? Sebuah pertanyaan bernada menggugat. Karena takut kalau anak mereka mengalami kelumpuhan atau mengalami nasip yang sama yang dialami oleh saudari kembarnya Jenevi.
Sebagai keluarga kristiani yang setia dan berani berkorban dan melayani sesama. Pertanyaan mengapa Tuhan, penderitaan ini harus dialami oleh anak kami? Bukankah kami sudah setia mengikuti engkau? Bukankah kami tidak pernah melupakan engkau? Bukankah kami setia melayani engkau? Bukankah kami selalu giat mengikuti setiap kegiatan rohani dan sangat aktif membantu kehidupan iman umat di paroki? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab, mengapa penderitaan, rasa sakit, dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang setia kepada Allah, dan yang dermawan kepada orang lain? Namun akhirnya mereka menyadari misteri cinta Allah yang tersembunyi dan tidak dapat diketahui untuk saat ini. Mereka meyakini bahwa rencana Allah selalu indah bagi kehidupan mereka. Ada pesan dibalik semua penderitaan ini. Maka yang kami lakukan adalah terus berdoa. Malam hari kami melakukan doa bersama. Sebuah doa yang sederhana, mengingatkan bahwa pertolongan datang kepada kami dari Allah yang membuat langit dan bumi. Kami berusaha menemukan beberapa tindakan cinta untuk menghayati dan merasakan kehadiran Allah yakni melayani Jenevi dengan penuh cinta, hadir di tengah dia dan bersama dengan dia. Kami “menunggu” dan di dalam keheningan kami merasakan kasih Allah yang menyelamatkan. Lalu, sesudah itu kami melihat anak kami bisa tertidur. Kami tidak tahu apa yang terjadi keesokkan harinya, tetapi pada akhirnya kami merasa lebih baik. Lorong-lorong gelap itu tampak mulai ada cahaya, karena yakin bahwa pertolongan Tuhan datang pada waktunya. Dalam masa penantiaan menunggu, kami mencoba menghayati dalam keheningan. Di sanalah kasih Allah kami rayakan.
Pengalaman Getzemani
Ketika Yesus mengetahui bahwa dia akan menghadapi dan mengalami penderitaan, Yesus sungguh merasakan ketakutan yang luar biasa. Di taman Getzemani peluh darah mengalir di tubuhnya, karena ketakutan yang akan dihadapinya. Yesus berdoa sampai tiga kali. Bahkan Dia meminta para muridNya untuk menemani Dia dalam berdoa “tidak bisakah kamu bersamaku satu jam saja”? Yesus menggugat kesetiaan para muridNya. Namun akhirnya Dia menyadari karya perutusanNya “ Ya Bapa, biarlah piala ini berlalu dari padaKu, namun bukan karena kehendakKu, melainkan karena kehendakMu”. Tuhan Yesus sungguh-sungguh menyakini kasih BapaNya akan selalu menyertaiNya.
Saat mengalami penderitaan di Kayu salib, Tuhan Yesus merasa sendirian. Dia merasa ditinggalkan oleh BapaNya. “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus memasuki lorong-lorong gelap, karena merasa ditinggalkan oleh BapaNya. Namun, lorong-lorong gelap mulai ada cahaya ketika Yesus meyakini dan pasrah kepada kehendak BapaNya. Dia diutus untuk melanjutkan karya perutusan BapaNya di surga. Karya dan perutusan ini harus dilaksanakan. Puncak karya perutusanNya adalah penderitaan, dan wafat di kayu salib. Pada titik ini Yesus menyadari dan mengetahui bahwa BapaNya mempunyai rencana yang indah bagi DiriNya.
Sahabat Allah
Pengalaman penderitaan merefleksikan suatu pengalaman manusia yang tidak mengenakan. Seperti halnya yang dialami oleh Yesus ketika menghadapi penderitaan adalah rasa takut dan merasa ditingalkan oleh BapaNya di surga. Pengalaman yang sama acap kali juga kita alami dalam hidup kita yakni merasa ketakutan dan ditinggalkan oleh Tuhan. Maka pertanyaan bernada menggugat seperti ini seringkali kita lakukan adalah “mengapa Tuhan ini terjadi padaku”. Mengapa aku harus menanggung penderitaan seperti ini? Mengapa keluargaku harus menanggung penderitaan seperti ini? Namun pertanyaan seperti ini tak pernah tuntas terjawab, karena kemampaun kita sangat terbatas untuk menyelami rencana Allah atas hidup kita. Disini pentinglah kita memiliki iman seperti yang dilakukan oleh keluarga Joan dan Jack. Ungkapan mereka adalah rencana Allah selalu indah, bahkan pada saat kita mengalami situasi penderitaan. Hanya iman dapat membuat kita memiliki pengharapan, bahwa sesuatu akan terjadi yang tidak dapat kita ramalkan yakni tangan Allah selalu menyapa dengan lembut. Jika kita memiliki pengharapan, maka kita akan memiliki keberanian untuk sabar menanti pertolongan dari Tuhan.
Saat-saat mengalami penderitaan adalah saat-saat kita merasakan keterbatasan kita sebagai manusia. Namun rencana Allah yang indah dibalik itu akan kita rasakan, bila kita memiliki iman. Betapa kita semakin dekat dengan Tuhan. Saat-saat seperti itu adalah saat-saat kita membiarkan diri kita menjadi sahabat Allah. Kesempatan kita untuk merajuk persahabatan dengan Tuhan dalam doa-doa kita. Waktu kita menjadi tersedia untuk Tuhan. Karena satu-satuNya harapan dan tempat kita mengadu adalah berseru kepada Allah. Keluarga Joan dan Jack sudah mengalami saat-saat seperti itu. Tatkala lorong-lorong gelap mereka tapaki, ketakutan dan keputusasaan mereka alami, namun ketika iman dan keyakinan berkobar dalam hati mereka, mereka menjadi sadar bahwa pertolongan dari Tuhan akan datang pada waktunya. Kekuatan yang memungkinkan mereka berada dalam keberanian untuk bersabar adalah karena Tuhan adalah sahabat mereka. Mereka mengisi hari-hari bersama dengan Jenevi dengan doa, melayani Jenevi dengan penuh cinta dan senyum.
Nyala Kasih
Kisah kehidupan keluarga Joan dan Jack membuka mata hatiku akan misteri kasih Allah yang tersembunyi. Allah mempunyai rencana indah bagi hidup kita. Yang terjadi adalah seringkali kita gagal untuk melihat cinta Allah karena terlanjur hidup dalam keputusasaan. Saat-saat penderitaan kita lihat sebagai bentuk hukuman dari Allah. Allah bagi kita adalah seorang hakim yang siap memukul gendang palu untuk memberikan hukuman atas segala sikap hidup kita. Dengan demikian, kita gagal melihat Allah sebagai seorang Bapa yang penuh belas kasih. Bapa yang mau menerima anaknya kembali. Bila kita mampu melihat kasih Allah yang demikian, nyala kasih itu sedang menerangi lorong-lorong gelap kehidupan kita. Hanya dengan iman, harap dan kasih, kita akan mampu melihat semuanya itu. Pertanyaan mengapa Tuhan akan tersingkapkan kepada kita. Karena dibalik semua penderitaan ada pesan bagi kehidupan kita yakni nyala kasih terpancar di sana.
Nyala lilin di pastoran sudah hampir habis. Hampir dua jam, keluarga Jack dan Joan berkisah tentang pengalaman iman mereka. Pengalaman yang sungguh mengalir dari kedalaman hidup mereka. Ketika mereka pamit kembali ke rumah, pertanyaan mengapa Tuhan masih ada di benakku. Mengapa Tuhan mereka sudah miskin, dan sekarang tidak ada lagi persediaan minyak tanah? Mengapa hujan tidak turun di kota sehingga sungai kering dan kapal laut tidak dapat merapat ke pelabuhan. Mengapa aku tidak menyediakan lilin di pastoran? Aku sendiri pun tidak menemukan jawaban yang tuntas. Namun aku ingat kisah kehidupan Jack dan Joan, berdoalah bahwa pertolongan akan datang pada waktunya. Lakukan sesuatu yakni mencoba mendengarkan kisah kehidupan mereka dengan kasih. Miliki pengharapan bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah.
Dua minggu kemudian, nyala lampu di rumah-rumah penduduk mulai terang kembali. Persedian minyak tanah di rumah-rumah dan di kota sudah ada lagi. Bahkan disel untuk generator di pastoran pun sudah ada lagi . Hujan mulai turun lagi membasahi jalan-jalan di kota dan mengenangi sungai kembali. Kini aku sadar seperti itulah kehidupan. Kita perlu mengalami dan merasakan lorong-lorong yang gelap dalam hidup kita. Seperti Mother Theresa juga mengalami pengalaman berada dalam lorong-lorong gelap. Dalam surat-suratnya yang ditulis untuk superior jendral, ia menulis tentang pengalaman kekosongan dan kegelapan dalam hidupnya. (“...God, please forgive me. When I try to raise my thoughts to Heaven, there is such convicting emptiness that those very thought return like sharp knives and hurt my very soul. I am told God loves me, and yet the reality of darkness and coldness and emptiness is so great that nothing touches my soul. Did I make a mistake in surrendering blindly to the call of Sacred Heart)( Time, September 3rd 2007). Mother Theresa sendiri pun mengalami pengalaman berada dalam lorong-lorong gelap. Kepada Father Lawrance Picachy, August 1957, Ia menulis “Tell me, Father, why is there so much pain and darkness in my soul?” Mother Theresa juga bertanya “mengapa aku mengalami penderitaan dan saat gelap dalam hidup ini. Tetapi Mother Theresa juga menulis dalam pengalamannya (“If this brings you glory, if souls are brought to you, with joy I accept all to the end of my life”). Seperti Mother Theresa, kita sendiri juga mengalami saat-saat gelap dalam hidup kita. Saat kita sendiri sakit, atau saat orang yang kita cintai menderita pengalaman yang pahit atau juga saat anak-anak kita mengalami sejumlah kegagalan dalam hidup atau, saat anak-anak kita tidak lagi peduli dengan kehidupan kita. Saat-saat seperti itu mungkin kita selalu bertanya “mengapa Tuhan”? Namun dibalik peristiwa itu ada makna yang mendalam, agar kita semakin mengerti bagaimana mencintai dan bagaimana belas kasih itu kita hayati.
Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Minggu, Agustus 03, 2008
Dari Seminar "Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu"
Syalom teman-teman semua,
Dibawah ini adalah tulisan yang diperoleh Titi dari mengikuti seminar sehari bersama Pater Robby Wowor OFM pada tanggal 20 Juli 2008 yang berjudul "Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu", di Aula SMUK Sang Timur – Jakarta.
Membaca tulisan di bawah ini sungguh kita menjadi semakin menyadari akan kekayaan makna liturgi Gereja Katolik dan selanjutnya diharapkan kita dapat terus belajar untuk lebih memahami makna Ekaristi Kudus dan dapat mengikutinyaa dengan lebih khusuk.
Gali terus iman Gereja Katolik kita dengan mengikuti seminar-seminar dan/atau kursus-kursus yang dibawakan oleh para pastor yang dewasa ini banyak diadakan. Pastikan dari sumbernya yang kompeten dan yang masih berada dalam lingkup Gereja Katolik.
Selamat membaca !
GBU All.
Andreas Andy S.
-----------------------------------------------------------
Prof. Scott Hahn : Misa Kudus dan Kitab Wahyu
Dari segala hal seputar iman Katolik, tidak ada hal lain yang lebih kita kenal lebih daripada Misa Kudus. Dengan doa-doa yang sudah sangat tua usianya, himne-himne, posisi kita pada waktu Misa, Misa Kudus seperti layaknya kita di rumah sendiri. Akan tetapi banyak sekali umat Katolik menghabiskan seumur hidupnya tanpa mampu melihat lebih daripada mengucapkan doa-doa yang sudah dihafalkan. Sangat sedikit dari umat Katolik bisa mengintip DRAMA SUPERNATURAL yang LUAR BIASA sewaktu mereka mengikuti ritual Misa Kudus setiap hari Minggunya. Sri Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa Misa Kudus adalah “ Surga di bumi”, sambil menjelaskan bahwa “liturgi yang kita rayakan di bumi adalah partisipasi yang misterius dari liturgi surgawi”.
Misa Kudus begitu sangat kita kenal. Di lain pihak, Kitab Wahyu tampak asing dan penuh teka-teki. Halaman demi halaman mengisahkan gambaran-gambaran yang menyeramkan: peperangan, wabah penyakit, binatang-binatang dan malaikat-malaikat, sungai darah, katak jadi-jadian, dan naga berkepala tujuh. Dan figur yang paling baik adalah anak domba yang bertanduk tujuh dan bermata tujuh. “Kalau ini baru kulitnya saja”, demikian sebagian umat Katolik berkata, “Saya rasa saya tidak ingin melihat lebih jauh”.
Dalam buku ini, saya ingin menawarkan sesuatu yang sangat sulit dicerna. Saya akan mengatakan bahwa KUNCI untuk memahami Misa Kudus tidak lain adalah Kitab Wahyu, dan lebih jauh lagi, bahwa Misa Kudus adalah SATU-SATUNYA cara umat Kristen bisa memahami isi Kitab Wahyu.
Kalau anda tidak percaya, anda mesti tahu bahwa anda tidak sendirian. Ketika saya mengatakan kepada seorang teman bahwa saya sedang menulis tentang Misa Kudus sebagai kunci (untuk memahami) Kitab Wahyu, dia tertawa dan berkata, “Kitab Wahyu? Itu Cuma berisi hal-hal yang aneh.”Memang tampak aneh bagi umat Katolik, karena selama bertahun-tahun, kita telah membaca kitab ini secara terpisah dari tradisi Kristen. Interpretasi-interpretasi yang dikenal oleh banyak orang sekarang ini adalah interpretasi-interpretasi yang masuk halaman utama surat kabar atau daftar buku terlaris, dan interpretasi-interpretasi itu nyaris seluruhnya berasal dari Protestanisme.
Saya tahu ini dari pengalaman saya pribadi. Saya telah mempelajari Kitab Wahyu selama lebih dari dua puluh tahun. Sampai dengan tahun 1985, saya mempelajari dengan kedudukan saya sebagai pendeta suatu denominasi Protestan, dan sepanjang tahun-tahun itu, saya terlibat, secara bergiliran, dengan berbagai teori-teori penafsiran yang populer maupun tidak populer.
Saya mencoba setiap kunci, tetapi tidak satupun yang bisa membuka pintu. Sekali-sekali saya mendengar suara klik yang membawa harapan. Akan tetapi baru ketika saya mulai merenungkan Misa Kudus saya merasakan bahwa pintunya telah mulai membuka, sedikit demi sedikit. Secara bertahap, saya menemukan diri saya diliputi oleh tradisi Kristen yang luar biasa, dan pada tahun 1986 saya diterima dalam persekutuan yang penuh di Gereja Katolik. Setelah itu, dalam riset saya menyangkut Kitab Wahyu, berbagai hal-hal menjadi jelas. “Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya sebuah pintu terbuka di Surga….” ( Wahyu 4:1)…..Dan pintu itu membuka menuju…..Misa Kudus mingguan di paroki setempat !
Nah sekarang mungkin anda menjawab pengalaman mingguan yang anda alami pada waktu Misa berlangsung sama sekali tidak bersifat surgawi. Bahkan, satu jam itu adalah saat-saat yang tidak nyaman, yang diisi oleh bayi-bayi yang menangis, lagu-lagu yang dinyanyikan secara sumbang, orang-orang yang mondar-mandir, homili yang tidak mengena, umat yang berpakaian seolah-olah mereka ingin pergi nonton acara sepak bola atau ke pantai atau pergi piknik.
Akan tetapi saya tetap mendesak bahwa kita SUNGGUH-SUNGGUH pergi ke Surga ketika kita pergi menghadiri Misa Kudus, dan ini BENAR ADANYA bagi setiap Misa Kudus yang kita hadiri, terlepas dari kualitas musik atau semangat berkotbahnya. Ini bukan semata-mata karena kita ingin melihat sisi baiknya dari liturgi yang berlangsung secara kurang menarik. Ini juga bukan karena ingin bermurah hati terhadap solis yang tidak merdu suaranya. Ini semua adalah sesuatu yang benar secara objektif, sesuatu yang sama nyatanya seperti detak jantung anda. MISA KUDUS - dan maksud saya adalah SETIAP MISA KUDUS - ADALAH SURGA DI BUMI.
Saya ingin meyakinkan anda bahwa ini semua sama sekali bukan ide saya. Ini berasal dari Gereja. Itupun tetap saja bukan suatu ide yang baru. Ide ini sudah ada sejak hari dimana Rasul Yohanes mendapatkan penglihatan wahyu. Akan tetapi ini adalah ide yang belum mendapat perhatian yang memadai pada abad-abad terakhir dan saya sama sekali tidak bisa mengerti mengapa. Kita semua ingin mengatakan bahwa kita ingin sesuatu yang lebih dari Misa Kudus. Sesungguhnya kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang lebih daripada Surga itu sendiri. Saya mesti mengatakan sejak mulanya bahwa buku ini bukanlah suatu pendalaman Alkitab. Isinya difokuskan kepada aplikasi praktis dari satu sisi dari Kitab Wahyu, dan pelajaran kita jauh dari lengkap. Para teolog berdebat tanpa habis-habisnya tentang siapa yang sesungguhnya menulis Kitab Wahyu, dan kapan, dan dimana, dan mengapa, dan ditulis diatas perkamen macam apa.
Dalam buku ini, saya tidak akan menyinggung pertanyaaan ini secara mendetail. Buku ini juga bukan sebuah buku pegangan bagi penjelasan liturgi. Kitab Wahyu adalah sebuah buku mistik, bukan video untuk training atau buku petunjuk pemakai. Sepanjang buku ini, anda akan melihat Misa Kudus dengan pemahaman-pemahaman yang baru - pemahaman yang lain daripada pemahaman yang biasanya anda kenal. Meski surga turun ke bumi ketika Gereja merayakan Ekaristi, Misa Kudus tampak berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu. Di tempat dimana saya tinggal, umumnya umat Katolik terbiasa dengan liturgi dari ritus Latin (=Roma=Barat). Bahkan kata “Misa” itu sendiri sebetulnya hanya menunjuk pada bagian liturgi Ekaristi dari Ritus Latin. Akan tetapi ada banyak liturgi-liturgi Ekaristi dalam Gereja Katolik: ritus Ambrosia, ritus Armenia, ritus Bizantium, ritus Kaldea, ritus Koptik, ritus Malabar, ritus Malankar, ritus Maronit, ritus Melkite, dan ritus Rutenian, beberapa contoh diantaranya. Masing-masing punya keindahannya yang tersendiri. Masing-masing punya kebijakannya tersendiri. Masing-masing menunjukkan sudut yang berbeda dari Surga di bumi.
Riset buku “The Lamb’s Supper” telah memberi saya penglihatan yang baru terhadap Misa Kudus. Saya berdoa semoga setelah membaca buku ini juga memberi karunia yang sama terhadap anda. Bersama-sama mari kita meminta pembaruan hati kita juga supaya melalui doa-doa dan belajar, kita bisa lebih bertumbuh dan lebih mengasihi misteri-misteri Kristiani yang telah diberikan kepada kita oleh Allah Bapa. Kitab Wahyu akan memperlihatkan kepada kita, Misa Kudus sebagai Surga di bumi. Sekarang, marilah kita teruskan tanpa menunda-nunda lagi, karena Surga tidak dapat menunggu.
“Di Surga Sekarang!” (dari buku Rome Sweet Home / Roma Rumahku )
Saya berdiri di sana dengan sembunyi-sembunyi, seorang pendeta Protestan dalam pakaian preman, menyelinap masuk ke bagian belakang sebuah kapel Katolik Milwaukee untuk menyaksikan Misa Kudus saya yang pertama. Rasa ingin tahu telah membawa saya kesana, dan saya masih ragu bahwa ini adalah rasa ingin tahu yang sehat. Selama mempelajari tulisan-tulisan umat Kristen perdana, saya menemukan referensi yang tak terhitung banyaknya kepada “LITURGI”, “EKARISTI”, “KURBAN”. Bagi umat Kristen perdana tersebut, Alkitab, buku paling saya cintai, tidak bisa terlepaskan dari acara ritual yang sekarang ini oleh umat Katolik disebut sebagai “ Misa Kudus”. Saya ingin memahami pemikiran umat Kristen perdana, akan tetapi saya tidak punya pengalaman sedikitpun menyangkut liturgi. Jadi saya membujuk diri saya sendiri untuk pergi dan melihat, semacam latihan akademis, tetapi dengan tetap bersikeras bahwa saya tidak akan berlutut ataupun ikut mangambil bagian dalam penyembahan berhala ini.
Saya mengambil tempat duduk di bagian yang terlindung, di barisan yang paling belakang dari kapel di lantai dasar tersebut. Di depan saya ada sekelompok umat Katolik yang lumayan jumlahnya, laki-laki dan perempuan dari segala umur. Sikap mereka sewaktu berlutut mengesankan saya, seperti juga agaknya konsentrasi mereka sewaktu berdoa. Kemudian sebuah bel berbunyi dan mereka semua bediri ketika imam ( romo/father) muncul dari pintu yang terletak di samping altar. Tidak tahu mesti berbuat apa, saya tetap duduk. Selama bertahun-tahun sebagai evangelis dari aliran Calvinis, saya telah diajarkan untuk percaya bahwa Misa Kudus adalah penghinaan terbesar yang dilakukan oleh manusia (terhadap iman Kristiani). Saya telah diajarkan bahwa Misa Kudus adalah ritual yang dibuat untuk “ mengurbankan kembali Yesus Kristus.” Jadi saya akan tetap sebagai seorang pengamat. Saya akan tetap duduk dengan Alkitab saya terbuka di samping saya.
DIPENUHI AYAT-AYAT ALKITAB
Akan tetapi, seaktu Misa berlangsung sesuatu membuat saya tersadar. Alkitab saya tidak hanya berada di samping saya. ALKITAB BERADA DI DEPAN SAYA - DALAM KATA-KATA DALAM MISA KUDUS! SATU AYAT DARI KITAB YESAYA, SATU LAGI DARI KITAB MAZMUR, SATU LAGI DARI SURAT RASUL PAULUS. Pengalaman ini SUNGGUH LUAR BIASA ! Saya ingin menghentikan mereka dan berteriak, “HEI, BOLEHKAN SAYA MENJELASKAN APA YANG SEDANG TERJADI DISINI DARI KITAB SUCI? INI SUNGGGUH-SUNGGUH HEBAT !!!” Tetapi, saya tetap menjaga status saya sebagai pengamat. Saya tetap berada di luar lapangan sampai saya mendengar imam mengucapkan kalimat konsekrasi: “INILAH TUBUHKU….INILAH PIALA DARAHKU.” Lantas saya merasakan bahwa segala keragu-raguan saya sirna sudah. Sewaktu saya melihat imam mengangkat hosti berwarna putih tersebut, saya merasakan suatu doa mencuat dari dalam hati saya dalam sebuah bisikan : “YA TUHANKU DAN YA ALLAHKU. SUNGGUH-SUNGGUH ENGKAULAH ITU !”
Mungkin anda bisa menyebut keadaan saya pada waktu itu seperti orang tuna-daksa, terkesima tak mampu berbuat apa-apa. Saya tidak bisa membayangkan kesuka-citaan yang lebih besar daripada apa yang telah diperbuat oleh kata-kata tersebut terhadap saya. Akan tetapi pengalaman itu semakin memukau hanya sejenak berikutnya, ketika saya mendengar seluruh umat mengucapkan : “ ANAK DOMBA ALLAH….ANAK DOMBA ALLAH…..ANAK DOMBA ALLAH….,” dan sang imam menjawab , “ INILAH ANAK DOMBA ALLAH……” sambil mengangkat HOSTI itu. Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, kalimat “ANAK DOMBA ALLAH” telah bergema empat kali. Selama bertahun-tahun mempelajari Alkitab, saya denga serta merta tahu dimana saya berada saat ini. SAYA SEDANG BERADA DALAM KITAB WAHYU, dimana Yesus dipanggil dengan sebutan ANAK DOMBA tidak kurang dari dua puluh delapan kali sepanjang dua puluh dua pasal dalam Kitab Wahyu. Saya sedang berada di PERJAMUAN KAWIN yang dijelaskan oleh Rasul Yohanes pada bagian akhir kitab yang terakhir Alkitab. Saya sedang berada di hadapan TAHTA SURGA, dimana Yesus dipuji-puji untuk selama-lamanya sebagai ANAK DOMBA. Saya sungguh tidak siap untuk menerima kenyataan ini, SAYA SEDANG BERADA DALAM MISA KUDUS.!!!
DEMI ASAP SUCI !!!
Saya kembali menghadiri Misa pada hari berikutnya dan pada hari berikutnya dan pada hari berikutnya. Setiap kali saya kembali, saya akan “ menemukan “lebih banyak lagi Kitab Suci terpenuhi di depan mata kepala saya. Akan tetapi tidak ada kitab lain yang lebih nyata bagi saya, di kapel yang agak remang-remang tersebut, selain Kitab Wahyu, yang menggambarkan para malaikat dan orang kudus menyembah di Surga. Seperti di dalam Kitab Wahyu, demikian juga pula di dalam kapel itu, saya melihat IMAM YANG MEMAKAI JUBAH, sebuah ALTAR, KONGREGASI UMAT yang beseseru “KUDUS, KUDUS, KUDUS!” Saya melihat kepulan ASAP DUPA. Saya mendengar SERUAN PARA MALAIKAT DAN ORANG KUDUS. Saya sendiri ikut menyanyikan Alleluya, karena saya telah ditarik lebih dalam lagi daripada sebelumnya ke dalam ibadat ini. Saya terus duduk di bangku bagian belakang dengan Alkitab, dan saya nyaris tidak tahu harus memperhatikan yang mana - kepada peristiwa-peristiwa dalam Kitab Wahyu atau kepada aksi yang terjadi di altar. Makin lama, keduanya makin tampak menyerupai satu dengan yang lain. Saya membenamkan diri dengan semangat baru yang meluap-luap untuk mempelajari Kristen pada awalnya dan saya menemukan bahwa uskup-uskup yang paling pertama, yaitu para BAPA GEREJA, telah mendapatkan “penemuan” yang sama seperti yang saya dapat setiap pagi (sewaktu menghadiri Misa Kudus). Mereka berpendapat bahwa KITAB WAHYU adalah KUNCI BAGI LITURGI dan bahwa LITURGI adalah KUNCI BAGI KITAB WAHYU.
Sesuatu yang sangat luar biasa sedang terjadi terhadap saya sebagai seorang teolog dan umat Kristen. Buku dalam Alkitab yang bagi saya paling sulit dimengerti - yaitu Kitab Wahyu - saat ini justru menerangi ide-ide yang paling fundamental dari iman Kristen: ide tentang PERJANJIAN sebagai ikatan yang kudus keluarga Allah. Sekarang, setelah dua minggu menghadiri Misa setiap harinya, saya merasa ingin bangkit berdiri selama liturgi berlangsung dan berseru ,”PERHATIAN SEMUANYA!!! KALAU BOLEH SAYA INGIN MEMBERITAHUKAN DIMANA ANDA BERADA SEKARANG INI DALAM KITAB WAHYU!!! LIHAT PASAL EMPAT AYAT DELAPAN. ANDA SEKARANG SEDANG BERADA DI SURGA !!!
Disadur dari buku “ The Lamb’s Supper” karangan Prof. Dr. Scott Hahn.
Beliau dulunya adalah seorang pendeta denominasi Prebyterian, yang sangat brilian, yang lewat studi Alkitab, percaya bahwa Gereja Katolik sebagai gereja yang didirikan Yesus Kristus sendiri, tiang dan pondasi kebenaran. Beliau masuk Katolik pada pertengahan 1980-an dan buku-bukunya maupun kesaksiannya merupakan kaset/buku terlaris di Amerika Serikat dan terus menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang mengikuti jejak langkahnya ke dalam Gereja Katolik
Dikirim oleh: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta),
Materi diperoleh dari mengikuti seminar sehari bersama Pater Robby Wowor OFM tanggal 20 Juli 2008, “Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu”, di Aula SMUK Sang Timur – Jakarta.
Dibawah ini adalah tulisan yang diperoleh Titi dari mengikuti seminar sehari bersama Pater Robby Wowor OFM pada tanggal 20 Juli 2008 yang berjudul "Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu", di Aula SMUK Sang Timur – Jakarta.
Membaca tulisan di bawah ini sungguh kita menjadi semakin menyadari akan kekayaan makna liturgi Gereja Katolik dan selanjutnya diharapkan kita dapat terus belajar untuk lebih memahami makna Ekaristi Kudus dan dapat mengikutinyaa dengan lebih khusuk.
Gali terus iman Gereja Katolik kita dengan mengikuti seminar-seminar dan/atau kursus-kursus yang dibawakan oleh para pastor yang dewasa ini banyak diadakan. Pastikan dari sumbernya yang kompeten dan yang masih berada dalam lingkup Gereja Katolik.
Selamat membaca !
GBU All.
Andreas Andy S.
-----------------------------------------------------------
Prof. Scott Hahn : Misa Kudus dan Kitab Wahyu
Dari segala hal seputar iman Katolik, tidak ada hal lain yang lebih kita kenal lebih daripada Misa Kudus. Dengan doa-doa yang sudah sangat tua usianya, himne-himne, posisi kita pada waktu Misa, Misa Kudus seperti layaknya kita di rumah sendiri. Akan tetapi banyak sekali umat Katolik menghabiskan seumur hidupnya tanpa mampu melihat lebih daripada mengucapkan doa-doa yang sudah dihafalkan. Sangat sedikit dari umat Katolik bisa mengintip DRAMA SUPERNATURAL yang LUAR BIASA sewaktu mereka mengikuti ritual Misa Kudus setiap hari Minggunya. Sri Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa Misa Kudus adalah “ Surga di bumi”, sambil menjelaskan bahwa “liturgi yang kita rayakan di bumi adalah partisipasi yang misterius dari liturgi surgawi”.
Misa Kudus begitu sangat kita kenal. Di lain pihak, Kitab Wahyu tampak asing dan penuh teka-teki. Halaman demi halaman mengisahkan gambaran-gambaran yang menyeramkan: peperangan, wabah penyakit, binatang-binatang dan malaikat-malaikat, sungai darah, katak jadi-jadian, dan naga berkepala tujuh. Dan figur yang paling baik adalah anak domba yang bertanduk tujuh dan bermata tujuh. “Kalau ini baru kulitnya saja”, demikian sebagian umat Katolik berkata, “Saya rasa saya tidak ingin melihat lebih jauh”.
Dalam buku ini, saya ingin menawarkan sesuatu yang sangat sulit dicerna. Saya akan mengatakan bahwa KUNCI untuk memahami Misa Kudus tidak lain adalah Kitab Wahyu, dan lebih jauh lagi, bahwa Misa Kudus adalah SATU-SATUNYA cara umat Kristen bisa memahami isi Kitab Wahyu.
Kalau anda tidak percaya, anda mesti tahu bahwa anda tidak sendirian. Ketika saya mengatakan kepada seorang teman bahwa saya sedang menulis tentang Misa Kudus sebagai kunci (untuk memahami) Kitab Wahyu, dia tertawa dan berkata, “Kitab Wahyu? Itu Cuma berisi hal-hal yang aneh.”Memang tampak aneh bagi umat Katolik, karena selama bertahun-tahun, kita telah membaca kitab ini secara terpisah dari tradisi Kristen. Interpretasi-interpretasi yang dikenal oleh banyak orang sekarang ini adalah interpretasi-interpretasi yang masuk halaman utama surat kabar atau daftar buku terlaris, dan interpretasi-interpretasi itu nyaris seluruhnya berasal dari Protestanisme.
Saya tahu ini dari pengalaman saya pribadi. Saya telah mempelajari Kitab Wahyu selama lebih dari dua puluh tahun. Sampai dengan tahun 1985, saya mempelajari dengan kedudukan saya sebagai pendeta suatu denominasi Protestan, dan sepanjang tahun-tahun itu, saya terlibat, secara bergiliran, dengan berbagai teori-teori penafsiran yang populer maupun tidak populer.
Saya mencoba setiap kunci, tetapi tidak satupun yang bisa membuka pintu. Sekali-sekali saya mendengar suara klik yang membawa harapan. Akan tetapi baru ketika saya mulai merenungkan Misa Kudus saya merasakan bahwa pintunya telah mulai membuka, sedikit demi sedikit. Secara bertahap, saya menemukan diri saya diliputi oleh tradisi Kristen yang luar biasa, dan pada tahun 1986 saya diterima dalam persekutuan yang penuh di Gereja Katolik. Setelah itu, dalam riset saya menyangkut Kitab Wahyu, berbagai hal-hal menjadi jelas. “Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya sebuah pintu terbuka di Surga….” ( Wahyu 4:1)…..Dan pintu itu membuka menuju…..Misa Kudus mingguan di paroki setempat !
Nah sekarang mungkin anda menjawab pengalaman mingguan yang anda alami pada waktu Misa berlangsung sama sekali tidak bersifat surgawi. Bahkan, satu jam itu adalah saat-saat yang tidak nyaman, yang diisi oleh bayi-bayi yang menangis, lagu-lagu yang dinyanyikan secara sumbang, orang-orang yang mondar-mandir, homili yang tidak mengena, umat yang berpakaian seolah-olah mereka ingin pergi nonton acara sepak bola atau ke pantai atau pergi piknik.
Akan tetapi saya tetap mendesak bahwa kita SUNGGUH-SUNGGUH pergi ke Surga ketika kita pergi menghadiri Misa Kudus, dan ini BENAR ADANYA bagi setiap Misa Kudus yang kita hadiri, terlepas dari kualitas musik atau semangat berkotbahnya. Ini bukan semata-mata karena kita ingin melihat sisi baiknya dari liturgi yang berlangsung secara kurang menarik. Ini juga bukan karena ingin bermurah hati terhadap solis yang tidak merdu suaranya. Ini semua adalah sesuatu yang benar secara objektif, sesuatu yang sama nyatanya seperti detak jantung anda. MISA KUDUS - dan maksud saya adalah SETIAP MISA KUDUS - ADALAH SURGA DI BUMI.
Saya ingin meyakinkan anda bahwa ini semua sama sekali bukan ide saya. Ini berasal dari Gereja. Itupun tetap saja bukan suatu ide yang baru. Ide ini sudah ada sejak hari dimana Rasul Yohanes mendapatkan penglihatan wahyu. Akan tetapi ini adalah ide yang belum mendapat perhatian yang memadai pada abad-abad terakhir dan saya sama sekali tidak bisa mengerti mengapa. Kita semua ingin mengatakan bahwa kita ingin sesuatu yang lebih dari Misa Kudus. Sesungguhnya kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang lebih daripada Surga itu sendiri. Saya mesti mengatakan sejak mulanya bahwa buku ini bukanlah suatu pendalaman Alkitab. Isinya difokuskan kepada aplikasi praktis dari satu sisi dari Kitab Wahyu, dan pelajaran kita jauh dari lengkap. Para teolog berdebat tanpa habis-habisnya tentang siapa yang sesungguhnya menulis Kitab Wahyu, dan kapan, dan dimana, dan mengapa, dan ditulis diatas perkamen macam apa.
Dalam buku ini, saya tidak akan menyinggung pertanyaaan ini secara mendetail. Buku ini juga bukan sebuah buku pegangan bagi penjelasan liturgi. Kitab Wahyu adalah sebuah buku mistik, bukan video untuk training atau buku petunjuk pemakai. Sepanjang buku ini, anda akan melihat Misa Kudus dengan pemahaman-pemahaman yang baru - pemahaman yang lain daripada pemahaman yang biasanya anda kenal. Meski surga turun ke bumi ketika Gereja merayakan Ekaristi, Misa Kudus tampak berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu. Di tempat dimana saya tinggal, umumnya umat Katolik terbiasa dengan liturgi dari ritus Latin (=Roma=Barat). Bahkan kata “Misa” itu sendiri sebetulnya hanya menunjuk pada bagian liturgi Ekaristi dari Ritus Latin. Akan tetapi ada banyak liturgi-liturgi Ekaristi dalam Gereja Katolik: ritus Ambrosia, ritus Armenia, ritus Bizantium, ritus Kaldea, ritus Koptik, ritus Malabar, ritus Malankar, ritus Maronit, ritus Melkite, dan ritus Rutenian, beberapa contoh diantaranya. Masing-masing punya keindahannya yang tersendiri. Masing-masing punya kebijakannya tersendiri. Masing-masing menunjukkan sudut yang berbeda dari Surga di bumi.
Riset buku “The Lamb’s Supper” telah memberi saya penglihatan yang baru terhadap Misa Kudus. Saya berdoa semoga setelah membaca buku ini juga memberi karunia yang sama terhadap anda. Bersama-sama mari kita meminta pembaruan hati kita juga supaya melalui doa-doa dan belajar, kita bisa lebih bertumbuh dan lebih mengasihi misteri-misteri Kristiani yang telah diberikan kepada kita oleh Allah Bapa. Kitab Wahyu akan memperlihatkan kepada kita, Misa Kudus sebagai Surga di bumi. Sekarang, marilah kita teruskan tanpa menunda-nunda lagi, karena Surga tidak dapat menunggu.
“Di Surga Sekarang!” (dari buku Rome Sweet Home / Roma Rumahku )
Saya berdiri di sana dengan sembunyi-sembunyi, seorang pendeta Protestan dalam pakaian preman, menyelinap masuk ke bagian belakang sebuah kapel Katolik Milwaukee untuk menyaksikan Misa Kudus saya yang pertama. Rasa ingin tahu telah membawa saya kesana, dan saya masih ragu bahwa ini adalah rasa ingin tahu yang sehat. Selama mempelajari tulisan-tulisan umat Kristen perdana, saya menemukan referensi yang tak terhitung banyaknya kepada “LITURGI”, “EKARISTI”, “KURBAN”. Bagi umat Kristen perdana tersebut, Alkitab, buku paling saya cintai, tidak bisa terlepaskan dari acara ritual yang sekarang ini oleh umat Katolik disebut sebagai “ Misa Kudus”. Saya ingin memahami pemikiran umat Kristen perdana, akan tetapi saya tidak punya pengalaman sedikitpun menyangkut liturgi. Jadi saya membujuk diri saya sendiri untuk pergi dan melihat, semacam latihan akademis, tetapi dengan tetap bersikeras bahwa saya tidak akan berlutut ataupun ikut mangambil bagian dalam penyembahan berhala ini.
Saya mengambil tempat duduk di bagian yang terlindung, di barisan yang paling belakang dari kapel di lantai dasar tersebut. Di depan saya ada sekelompok umat Katolik yang lumayan jumlahnya, laki-laki dan perempuan dari segala umur. Sikap mereka sewaktu berlutut mengesankan saya, seperti juga agaknya konsentrasi mereka sewaktu berdoa. Kemudian sebuah bel berbunyi dan mereka semua bediri ketika imam ( romo/father) muncul dari pintu yang terletak di samping altar. Tidak tahu mesti berbuat apa, saya tetap duduk. Selama bertahun-tahun sebagai evangelis dari aliran Calvinis, saya telah diajarkan untuk percaya bahwa Misa Kudus adalah penghinaan terbesar yang dilakukan oleh manusia (terhadap iman Kristiani). Saya telah diajarkan bahwa Misa Kudus adalah ritual yang dibuat untuk “ mengurbankan kembali Yesus Kristus.” Jadi saya akan tetap sebagai seorang pengamat. Saya akan tetap duduk dengan Alkitab saya terbuka di samping saya.
DIPENUHI AYAT-AYAT ALKITAB
Akan tetapi, seaktu Misa berlangsung sesuatu membuat saya tersadar. Alkitab saya tidak hanya berada di samping saya. ALKITAB BERADA DI DEPAN SAYA - DALAM KATA-KATA DALAM MISA KUDUS! SATU AYAT DARI KITAB YESAYA, SATU LAGI DARI KITAB MAZMUR, SATU LAGI DARI SURAT RASUL PAULUS. Pengalaman ini SUNGGUH LUAR BIASA ! Saya ingin menghentikan mereka dan berteriak, “HEI, BOLEHKAN SAYA MENJELASKAN APA YANG SEDANG TERJADI DISINI DARI KITAB SUCI? INI SUNGGGUH-SUNGGUH HEBAT !!!” Tetapi, saya tetap menjaga status saya sebagai pengamat. Saya tetap berada di luar lapangan sampai saya mendengar imam mengucapkan kalimat konsekrasi: “INILAH TUBUHKU….INILAH PIALA DARAHKU.” Lantas saya merasakan bahwa segala keragu-raguan saya sirna sudah. Sewaktu saya melihat imam mengangkat hosti berwarna putih tersebut, saya merasakan suatu doa mencuat dari dalam hati saya dalam sebuah bisikan : “YA TUHANKU DAN YA ALLAHKU. SUNGGUH-SUNGGUH ENGKAULAH ITU !”
Mungkin anda bisa menyebut keadaan saya pada waktu itu seperti orang tuna-daksa, terkesima tak mampu berbuat apa-apa. Saya tidak bisa membayangkan kesuka-citaan yang lebih besar daripada apa yang telah diperbuat oleh kata-kata tersebut terhadap saya. Akan tetapi pengalaman itu semakin memukau hanya sejenak berikutnya, ketika saya mendengar seluruh umat mengucapkan : “ ANAK DOMBA ALLAH….ANAK DOMBA ALLAH…..ANAK DOMBA ALLAH….,” dan sang imam menjawab , “ INILAH ANAK DOMBA ALLAH……” sambil mengangkat HOSTI itu. Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, kalimat “ANAK DOMBA ALLAH” telah bergema empat kali. Selama bertahun-tahun mempelajari Alkitab, saya denga serta merta tahu dimana saya berada saat ini. SAYA SEDANG BERADA DALAM KITAB WAHYU, dimana Yesus dipanggil dengan sebutan ANAK DOMBA tidak kurang dari dua puluh delapan kali sepanjang dua puluh dua pasal dalam Kitab Wahyu. Saya sedang berada di PERJAMUAN KAWIN yang dijelaskan oleh Rasul Yohanes pada bagian akhir kitab yang terakhir Alkitab. Saya sedang berada di hadapan TAHTA SURGA, dimana Yesus dipuji-puji untuk selama-lamanya sebagai ANAK DOMBA. Saya sungguh tidak siap untuk menerima kenyataan ini, SAYA SEDANG BERADA DALAM MISA KUDUS.!!!
DEMI ASAP SUCI !!!
Saya kembali menghadiri Misa pada hari berikutnya dan pada hari berikutnya dan pada hari berikutnya. Setiap kali saya kembali, saya akan “ menemukan “lebih banyak lagi Kitab Suci terpenuhi di depan mata kepala saya. Akan tetapi tidak ada kitab lain yang lebih nyata bagi saya, di kapel yang agak remang-remang tersebut, selain Kitab Wahyu, yang menggambarkan para malaikat dan orang kudus menyembah di Surga. Seperti di dalam Kitab Wahyu, demikian juga pula di dalam kapel itu, saya melihat IMAM YANG MEMAKAI JUBAH, sebuah ALTAR, KONGREGASI UMAT yang beseseru “KUDUS, KUDUS, KUDUS!” Saya melihat kepulan ASAP DUPA. Saya mendengar SERUAN PARA MALAIKAT DAN ORANG KUDUS. Saya sendiri ikut menyanyikan Alleluya, karena saya telah ditarik lebih dalam lagi daripada sebelumnya ke dalam ibadat ini. Saya terus duduk di bangku bagian belakang dengan Alkitab, dan saya nyaris tidak tahu harus memperhatikan yang mana - kepada peristiwa-peristiwa dalam Kitab Wahyu atau kepada aksi yang terjadi di altar. Makin lama, keduanya makin tampak menyerupai satu dengan yang lain. Saya membenamkan diri dengan semangat baru yang meluap-luap untuk mempelajari Kristen pada awalnya dan saya menemukan bahwa uskup-uskup yang paling pertama, yaitu para BAPA GEREJA, telah mendapatkan “penemuan” yang sama seperti yang saya dapat setiap pagi (sewaktu menghadiri Misa Kudus). Mereka berpendapat bahwa KITAB WAHYU adalah KUNCI BAGI LITURGI dan bahwa LITURGI adalah KUNCI BAGI KITAB WAHYU.
Sesuatu yang sangat luar biasa sedang terjadi terhadap saya sebagai seorang teolog dan umat Kristen. Buku dalam Alkitab yang bagi saya paling sulit dimengerti - yaitu Kitab Wahyu - saat ini justru menerangi ide-ide yang paling fundamental dari iman Kristen: ide tentang PERJANJIAN sebagai ikatan yang kudus keluarga Allah. Sekarang, setelah dua minggu menghadiri Misa setiap harinya, saya merasa ingin bangkit berdiri selama liturgi berlangsung dan berseru ,”PERHATIAN SEMUANYA!!! KALAU BOLEH SAYA INGIN MEMBERITAHUKAN DIMANA ANDA BERADA SEKARANG INI DALAM KITAB WAHYU!!! LIHAT PASAL EMPAT AYAT DELAPAN. ANDA SEKARANG SEDANG BERADA DI SURGA !!!
Disadur dari buku “ The Lamb’s Supper” karangan Prof. Dr. Scott Hahn.
Beliau dulunya adalah seorang pendeta denominasi Prebyterian, yang sangat brilian, yang lewat studi Alkitab, percaya bahwa Gereja Katolik sebagai gereja yang didirikan Yesus Kristus sendiri, tiang dan pondasi kebenaran. Beliau masuk Katolik pada pertengahan 1980-an dan buku-bukunya maupun kesaksiannya merupakan kaset/buku terlaris di Amerika Serikat dan terus menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang mengikuti jejak langkahnya ke dalam Gereja Katolik
Dikirim oleh: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta),
Materi diperoleh dari mengikuti seminar sehari bersama Pater Robby Wowor OFM tanggal 20 Juli 2008, “Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu”, di Aula SMUK Sang Timur – Jakarta.
Selasa, Juli 29, 2008
TIGA MENIT
Dia selalu duduk diam. Sesekali dia tersenyum dan hanya mengatakan good morning, good afternoon dan good night, bila aku menyapanya. Karena Ia tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Ia hanya berbicara dalam bahasa Awim (bahasa daerah mereka). Setiap pagi dia berangkat dari rumahnya dengan jalan kaki. Di kepalanya disangulkan tas (bilum) dengan berbagai macam barang dan bergegas ke tepi jalan untuk menjajakan barang dagangannya. Tidak terlalu banyak barang dagangannya, hanya beberapa pak rokok, korek api, jenis umbi-umbian dan sirih pinang. Ia tak memiliki tempat berteduh, selain payung yang ditancapkan begitu saja pada tanah dan dia duduk dibawahnya dengan barang dagangnnya. Setiap mobil yang lewat di tepi jalan tak henti-hentinya dia tersenyum dan melambaikan tangan. Ketika hari sudah menunjukkan jam 12, dia mengemaskan barang dagangannya, kembali ke rumahnya untuk makan siang dan melepaskan lelah sejenak bersama dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Jam dua siang, dia akan kembali lagi menjajakan barang dagangannya. Demikianlah kesehariaan hidup Ari Linda. Umurnya kira-kira 70 tahun. Nama ibu itu sebenarnya Linda, tetapi karena dia sudah tua, di depan nama Linda diberi nama Ari. Nama “Ari” hanya dikenakan pada ibu-ibu yang sudah memasuki usia senja. Tepatnya mereka yang sudah menjadi nenek.
Ari Linda hidup sangat sederhana, tetapi seorang yang saleh. Dia selalu terlibat dalam semua bentuk kegiatan rohani. Suatu saat, kami mengadakan sharing kitab suci, “metode tujuh langkah”. Metode ini pertama kali kami adakan. Kami membuat liturgi yang menarik. Kami duduk membentuk lingkaran. Sedangkan di tengah-tengahnya diletakkan salib, lilin, kitab suci, dan jenis makanan khas mereka, pisang, sagu dan umbi-umbiaan. Saat sharing kitab suci, semua yang hadir tidak ketinggalan untuk menceritakan pengalaman hidup dan iman mereka, tak terkecuali Ari Linda. Saat Ari Linda berkisah tentang pengalamannya, beberapa orang berkata “drinu” artinya benar apa yang dikatakannya. Aku tidak memahami satu kata pun apa yang dikatakan oleh Ari Linda. Namun aku penasaran dan mencoba mencari penjelasan. Aku mendapat informasi dari penerjemah bahwa setiap malam Ari Linda menghabiskan waktu 3 menit untuk bertemu dengan Tuhan. Sederhana saja yang dilakukannya; menit pertama, ia mencoba merenungkan apa yang membuatnya merasa bahagia hari ini. Ia mulai merenungkan bahwa ternyata banyak pembeli yang datang ke tempat dagangannya. Melihat cucu-cucunya yang memang lucu-lucu dan menyenangkan. Ia berkata kepada Yesus tentang kegembiraan ini. Dan akhirnya ia mengucap syukur atas pengalaman kegembiraan kecil hari ini. Menit yang kedua, ia merenungkan bahwa seharian ini, kadangkala ia kurang sabar, dan kurang memberi perhatian kepada anak-anaknya. Dia katakan kepada Yesus tentang kelemahannya dan meminta Yesus untuk mengampuni segala dosanya. Akhirnya menit yang ketiga, dia melihat untuk keesokkan harinya. Ia berpikir bahwa akan menghadapi banyak kesulitan, karena harus pergi ke kota untuk belanja barang dagangannya. Dan terkadang takut barang dagangannya tidak laku. Dia berbicara kepada Yesus tentang masalah ini, dan meminta penerangan dan kekuatan dari tanganNya.
Doa Ari Linda yang sangat sederhana membuat aku terkesima, betapa kedalaman hatinya terpancar sukacita dan kegembiraan yang mendalam, karena relasi yang akrab dengan Tuhan. Tuhan memberikan hati seorang “Ari” yang selalu tekun dan berani berbagi tentang pengalaman iman yang sederhana, tetapi memberikan penerangan hati bagi siapa saja termasuk aku.
Masuk dalam Relasi
Menyimak kehidupan Yesus dan perutusananNya, jelas bahwa Yesus selalu mengajak para muridNya untuk meluangkan waktu untuk berdoa. Setelah berkeliling dari desa ke desa mengadakan mujisat, menyembuhkan orang sakit, dan memberi makan kepada banyak orang, Yesus datang dan berdoa kepada bapaNya. Rasa lelah, capek, dan sibuk dengan karya perutusanNya bukanlah alasan untuk tidak berdoa kepada BapaNya. Doa adalah kekuatan dan sumber pengharapan dan kegembiraan Yesus dalam karya perutusanNya. Tidak jemu-jemunya dia berdoa dan mohon kekuatan dari BapaNya, bahkan saat di kayu salib, Dia masih berdoa dan meminta kekuatan dari BapaNya.
Namun, di lain kesempatan Yesus mengeritik kebiasaan doa dari orang-orang Farisi sebagai orang yang munafik, karena mereka berdoa di sudut-sudut jalan, dengan jubah yang panjang-panjang, tampak saleh, tetapi dengan suatu motivasi yang terselubung supaya dilihat orang dan tampak sebagai orang yang beragama. Yesus berkata, kalau engkau berdoa masuklah ke dalam kamarmu dan berdoalah di tempat yang tersembunyi, karena BapaMu yang berada di tempat yang tersembunyi akan mengetahuinya. Yesus mengajak para muridnya untuk memiliki kebiasaan berdoa. Doa bukan karena supaya mendapat pujian, atau keinginan untuk mendapat penghargaan dari orang lain karena dilihat sebagai orang saleh, tetapi doa adalah suatu pengalaman masuk dalam relasi yang pribadi dengan Allah. Doa adalah suatu kebutuhan untuk menjalin relasi yang akrab dengan Allah. Dengan masuk dalam relasi yang mesra dengan Allah, maka kekuatan dan cinta Allah itu dapat dirasakan dan dialami.
Setelah Yesus pergi kepada BapaNya di surga, para murid menyadari arti pentingnya berdoa. Mereka mulai berkumpul bersama, berbagi pengalaman imannya, dan berdoa bersama. Doa menjadi suatu kekuatan dan sumber pengharapan mereka. Stefanus, adalah salah satu contohnya. Menghadapi penderitaan, hingga dirajam sampai mati, ia berdoa kepada Yesus agar dikuatkan imannya dalam menghadapi segala bentuk penderitaan. Stefanus mengerti dengan benar, doa membuat dia berani untuk memberi kesaksiaan tentang kebenaran, dan cinta Allah. Rasul Petrus juga juga mengalami doa sebagai sumber kekuatan dan pengharapannya. Ketika ia mengalami begitu banyak penderitaan, dan akhirnya ditangkap dan harus berada di penjara. Ia berdoa, dan akhirnya malaikat Tuhan datang membantu dia membuka terali besi, sehingga dia bisa keluar dari penjara dengan bebas. Pengalaman Yesus dan para muridNya menunjukkan kepada kita, doa adalah sumber kekuatan bagi seseorang. Tanpa doa, manusia kehilangan kekuatan cinta.
Berkanjang dalam Pengharapan
Memupuk kebiasaan berdoa bukanlah hal yang mudah bagi orang jaman sekarang. Kesibukan kita kian menyita waktu untuk membangun relasi yang akrab dengan Tuhan. “Aku tidak mempunyai waktu untuk berdoa”. Tidak ada gunanya aku berdoa siang malam, toh Tuhan tak pernah mengabulkan permohonanku. Bagaimana aku bisa berdoa, aku harus mengurus banyak hal dengan tugas-tugasku. Demikian alasan klasik yang seringkali kita katakan. Yang terjadi adalah kesempatan untuk membangun relasi dengan Allah menjadi hilang. Sehingga makna dan arti hidup menjadi bias. Hidupku menjadi tidak berarti, karena makanan bagi santapan jiwa tidak terpenuhi.
St Vinsensius mempunyai pengalaman tersendiri tentang doa. Dia berdoa kepada Tuhan dengan rumusan yang sederhana tetapi kaya. “Tuhan berilah aku seorang pendoa, maka semuanya dapat aku lakukan”. Vinsensius menyakini bahwa doa adalah sumber kekuatan bagi seorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan doa, kita dapat melakukan apa pun juga yang bagi kita tidak mungkin menjadi mungkin. Karena kita bekerja dengan kekuatan yang datang dari Allah, bersumber dan mengalir dari Allah. Karya-karya besar yang dilakukan oleh St. Vinsensius dapat berjalan dengan baik karena kekuatan doa yang mengalir padanya. Demikian halnya St. Igantius Loyola berkata, doa adalah nafas hidup kita. Seperti kita menghirup udara dan memberikan kehidupan bagi setiap orang, demikian halnya juga dengan doa. Tanpa doa, atau tanpa nafas, kita akan kehilangan kehidupan. Doa adalah sumber pemberi dan santapan jiwa yang memberikan kelegaan dan kegembiraan bagi setiap orang. Sedemikian pentingnya doa, St. Agustinus berkata kepada Tuhan setelah mengalami pertobatan “Jiwaku tidak dapat tenang, sebelum aku beristirahat dalam damaiMu Tuhan”. Ungkapan ini melukiskan kedalaman kerinduaan St. Agustinus akan relasi yang mendalam dengan Tuhan untuk merebut kelegaan jiwa. Apa yang dilakukan oleh mereka adalah bukti bahwa berkanjang dalam doa mendatangkan kegembiraan, kekuatan, dan kedamaian di hati.
Kelegaan Hati
Dalam doa, sering kita mengalami pergumulan dengan Tuhan. Suatu saat, di mana kita mengalami kemandekan dalam doa, kecewa dengan Tuhan karena doa-doa kita tidak belum terkabul, putus asa, kisah tentang kehidupan doa Ari Linda memberikan pengharapan baru bagi kita untuk terus membangun relasi dengan Tuhan. Ari Linda mempunyai rumusan yang sangat sederhana untuk merebut kelegaan hati melalui doa dalam tiga menit. Menghabiskan waktu dalam tiga menit untuk berdoa sebelum merebakan tubuh bukanlah sesuatu yang sukar atau sulit untuk kita jalankan. Tiga menit sungguh-sungguh akan memberikan kelegaan hati di dalam jiwanya, karena seperti kata St. Agutinus, jiwa kita dapat tenang, karena beristirahat dengan damai dalam Tuhan.
Dalam doa, memang ada saat-saat di mana luapan sukacita yang mendalam yang kita alami dan rasakan. Akan tetapi tidak jarang pula kekosongan dan kehampaan yang kita rasakan di dalam doa. Kadangkala pula pandangan hati kita tidak lagi terarah kepada Tuhan. Bila kita tetap berdoa, meskipun mengalami kekosongan yang kita rasakan, Tuhan akan memberikan apreasiasi atas perjuangan kita.
Ketika kembali ke kamarku, aku merenungkan apa yang disharingkan oleh Ari Linda kepada kami. Benar! Doa seharusnya menjadi nafas bagi hidupku. Setiap menit, adalah saat-saat merasakan dan mengalami cinta Tuhan. Ketika lelah menghinggapi hidupku, kejenuhan dan kebosanan datang dalam banyak rupa, aku hanya datang kepada Tuhan, dalam tiga menit, melihat kembali saat-saat kebahagian yang aku alami, aku syukuri, saat-saat di mana aku lalai dengan tugasku, karena kelemahan pribadiku, aku minta maaf, dan saat-saat di mana ada rasa takut, cemas yang menghantuiku, aku minta kepada Tuhan untuk memohon penerangan dan bimbingan dari ROh Kudus. Cara sederhana yang diajarkan oleh Ari Linda ternyata memberikan kelegaan dalam diriku. Saat-saat di mana doaku semakin kering, saat di mana aku mengalami kekosongan, aku selalu berusaha untuk datang bertemu dengan Tuhan. Karena yakin, Tuhan tetap memberi apresiasi atas perjuanganku. Nasihat yang sederhana dan bijaksana dari Ari Linda, tetaplah berkanjang dalam doa memberikan kelegaan hati bahwa Dalam situasi apapun tetaplah berdoa dan berharap kepada Allah.
Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Ari Linda hidup sangat sederhana, tetapi seorang yang saleh. Dia selalu terlibat dalam semua bentuk kegiatan rohani. Suatu saat, kami mengadakan sharing kitab suci, “metode tujuh langkah”. Metode ini pertama kali kami adakan. Kami membuat liturgi yang menarik. Kami duduk membentuk lingkaran. Sedangkan di tengah-tengahnya diletakkan salib, lilin, kitab suci, dan jenis makanan khas mereka, pisang, sagu dan umbi-umbiaan. Saat sharing kitab suci, semua yang hadir tidak ketinggalan untuk menceritakan pengalaman hidup dan iman mereka, tak terkecuali Ari Linda. Saat Ari Linda berkisah tentang pengalamannya, beberapa orang berkata “drinu” artinya benar apa yang dikatakannya. Aku tidak memahami satu kata pun apa yang dikatakan oleh Ari Linda. Namun aku penasaran dan mencoba mencari penjelasan. Aku mendapat informasi dari penerjemah bahwa setiap malam Ari Linda menghabiskan waktu 3 menit untuk bertemu dengan Tuhan. Sederhana saja yang dilakukannya; menit pertama, ia mencoba merenungkan apa yang membuatnya merasa bahagia hari ini. Ia mulai merenungkan bahwa ternyata banyak pembeli yang datang ke tempat dagangannya. Melihat cucu-cucunya yang memang lucu-lucu dan menyenangkan. Ia berkata kepada Yesus tentang kegembiraan ini. Dan akhirnya ia mengucap syukur atas pengalaman kegembiraan kecil hari ini. Menit yang kedua, ia merenungkan bahwa seharian ini, kadangkala ia kurang sabar, dan kurang memberi perhatian kepada anak-anaknya. Dia katakan kepada Yesus tentang kelemahannya dan meminta Yesus untuk mengampuni segala dosanya. Akhirnya menit yang ketiga, dia melihat untuk keesokkan harinya. Ia berpikir bahwa akan menghadapi banyak kesulitan, karena harus pergi ke kota untuk belanja barang dagangannya. Dan terkadang takut barang dagangannya tidak laku. Dia berbicara kepada Yesus tentang masalah ini, dan meminta penerangan dan kekuatan dari tanganNya.
Doa Ari Linda yang sangat sederhana membuat aku terkesima, betapa kedalaman hatinya terpancar sukacita dan kegembiraan yang mendalam, karena relasi yang akrab dengan Tuhan. Tuhan memberikan hati seorang “Ari” yang selalu tekun dan berani berbagi tentang pengalaman iman yang sederhana, tetapi memberikan penerangan hati bagi siapa saja termasuk aku.
Masuk dalam Relasi
Menyimak kehidupan Yesus dan perutusananNya, jelas bahwa Yesus selalu mengajak para muridNya untuk meluangkan waktu untuk berdoa. Setelah berkeliling dari desa ke desa mengadakan mujisat, menyembuhkan orang sakit, dan memberi makan kepada banyak orang, Yesus datang dan berdoa kepada bapaNya. Rasa lelah, capek, dan sibuk dengan karya perutusanNya bukanlah alasan untuk tidak berdoa kepada BapaNya. Doa adalah kekuatan dan sumber pengharapan dan kegembiraan Yesus dalam karya perutusanNya. Tidak jemu-jemunya dia berdoa dan mohon kekuatan dari BapaNya, bahkan saat di kayu salib, Dia masih berdoa dan meminta kekuatan dari BapaNya.
Namun, di lain kesempatan Yesus mengeritik kebiasaan doa dari orang-orang Farisi sebagai orang yang munafik, karena mereka berdoa di sudut-sudut jalan, dengan jubah yang panjang-panjang, tampak saleh, tetapi dengan suatu motivasi yang terselubung supaya dilihat orang dan tampak sebagai orang yang beragama. Yesus berkata, kalau engkau berdoa masuklah ke dalam kamarmu dan berdoalah di tempat yang tersembunyi, karena BapaMu yang berada di tempat yang tersembunyi akan mengetahuinya. Yesus mengajak para muridnya untuk memiliki kebiasaan berdoa. Doa bukan karena supaya mendapat pujian, atau keinginan untuk mendapat penghargaan dari orang lain karena dilihat sebagai orang saleh, tetapi doa adalah suatu pengalaman masuk dalam relasi yang pribadi dengan Allah. Doa adalah suatu kebutuhan untuk menjalin relasi yang akrab dengan Allah. Dengan masuk dalam relasi yang mesra dengan Allah, maka kekuatan dan cinta Allah itu dapat dirasakan dan dialami.
Setelah Yesus pergi kepada BapaNya di surga, para murid menyadari arti pentingnya berdoa. Mereka mulai berkumpul bersama, berbagi pengalaman imannya, dan berdoa bersama. Doa menjadi suatu kekuatan dan sumber pengharapan mereka. Stefanus, adalah salah satu contohnya. Menghadapi penderitaan, hingga dirajam sampai mati, ia berdoa kepada Yesus agar dikuatkan imannya dalam menghadapi segala bentuk penderitaan. Stefanus mengerti dengan benar, doa membuat dia berani untuk memberi kesaksiaan tentang kebenaran, dan cinta Allah. Rasul Petrus juga juga mengalami doa sebagai sumber kekuatan dan pengharapannya. Ketika ia mengalami begitu banyak penderitaan, dan akhirnya ditangkap dan harus berada di penjara. Ia berdoa, dan akhirnya malaikat Tuhan datang membantu dia membuka terali besi, sehingga dia bisa keluar dari penjara dengan bebas. Pengalaman Yesus dan para muridNya menunjukkan kepada kita, doa adalah sumber kekuatan bagi seseorang. Tanpa doa, manusia kehilangan kekuatan cinta.
Berkanjang dalam Pengharapan
Memupuk kebiasaan berdoa bukanlah hal yang mudah bagi orang jaman sekarang. Kesibukan kita kian menyita waktu untuk membangun relasi yang akrab dengan Tuhan. “Aku tidak mempunyai waktu untuk berdoa”. Tidak ada gunanya aku berdoa siang malam, toh Tuhan tak pernah mengabulkan permohonanku. Bagaimana aku bisa berdoa, aku harus mengurus banyak hal dengan tugas-tugasku. Demikian alasan klasik yang seringkali kita katakan. Yang terjadi adalah kesempatan untuk membangun relasi dengan Allah menjadi hilang. Sehingga makna dan arti hidup menjadi bias. Hidupku menjadi tidak berarti, karena makanan bagi santapan jiwa tidak terpenuhi.
St Vinsensius mempunyai pengalaman tersendiri tentang doa. Dia berdoa kepada Tuhan dengan rumusan yang sederhana tetapi kaya. “Tuhan berilah aku seorang pendoa, maka semuanya dapat aku lakukan”. Vinsensius menyakini bahwa doa adalah sumber kekuatan bagi seorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan doa, kita dapat melakukan apa pun juga yang bagi kita tidak mungkin menjadi mungkin. Karena kita bekerja dengan kekuatan yang datang dari Allah, bersumber dan mengalir dari Allah. Karya-karya besar yang dilakukan oleh St. Vinsensius dapat berjalan dengan baik karena kekuatan doa yang mengalir padanya. Demikian halnya St. Igantius Loyola berkata, doa adalah nafas hidup kita. Seperti kita menghirup udara dan memberikan kehidupan bagi setiap orang, demikian halnya juga dengan doa. Tanpa doa, atau tanpa nafas, kita akan kehilangan kehidupan. Doa adalah sumber pemberi dan santapan jiwa yang memberikan kelegaan dan kegembiraan bagi setiap orang. Sedemikian pentingnya doa, St. Agustinus berkata kepada Tuhan setelah mengalami pertobatan “Jiwaku tidak dapat tenang, sebelum aku beristirahat dalam damaiMu Tuhan”. Ungkapan ini melukiskan kedalaman kerinduaan St. Agustinus akan relasi yang mendalam dengan Tuhan untuk merebut kelegaan jiwa. Apa yang dilakukan oleh mereka adalah bukti bahwa berkanjang dalam doa mendatangkan kegembiraan, kekuatan, dan kedamaian di hati.
Kelegaan Hati
Dalam doa, sering kita mengalami pergumulan dengan Tuhan. Suatu saat, di mana kita mengalami kemandekan dalam doa, kecewa dengan Tuhan karena doa-doa kita tidak belum terkabul, putus asa, kisah tentang kehidupan doa Ari Linda memberikan pengharapan baru bagi kita untuk terus membangun relasi dengan Tuhan. Ari Linda mempunyai rumusan yang sangat sederhana untuk merebut kelegaan hati melalui doa dalam tiga menit. Menghabiskan waktu dalam tiga menit untuk berdoa sebelum merebakan tubuh bukanlah sesuatu yang sukar atau sulit untuk kita jalankan. Tiga menit sungguh-sungguh akan memberikan kelegaan hati di dalam jiwanya, karena seperti kata St. Agutinus, jiwa kita dapat tenang, karena beristirahat dengan damai dalam Tuhan.
Dalam doa, memang ada saat-saat di mana luapan sukacita yang mendalam yang kita alami dan rasakan. Akan tetapi tidak jarang pula kekosongan dan kehampaan yang kita rasakan di dalam doa. Kadangkala pula pandangan hati kita tidak lagi terarah kepada Tuhan. Bila kita tetap berdoa, meskipun mengalami kekosongan yang kita rasakan, Tuhan akan memberikan apreasiasi atas perjuangan kita.
Ketika kembali ke kamarku, aku merenungkan apa yang disharingkan oleh Ari Linda kepada kami. Benar! Doa seharusnya menjadi nafas bagi hidupku. Setiap menit, adalah saat-saat merasakan dan mengalami cinta Tuhan. Ketika lelah menghinggapi hidupku, kejenuhan dan kebosanan datang dalam banyak rupa, aku hanya datang kepada Tuhan, dalam tiga menit, melihat kembali saat-saat kebahagian yang aku alami, aku syukuri, saat-saat di mana aku lalai dengan tugasku, karena kelemahan pribadiku, aku minta maaf, dan saat-saat di mana ada rasa takut, cemas yang menghantuiku, aku minta kepada Tuhan untuk memohon penerangan dan bimbingan dari ROh Kudus. Cara sederhana yang diajarkan oleh Ari Linda ternyata memberikan kelegaan dalam diriku. Saat-saat di mana doaku semakin kering, saat di mana aku mengalami kekosongan, aku selalu berusaha untuk datang bertemu dengan Tuhan. Karena yakin, Tuhan tetap memberi apresiasi atas perjuanganku. Nasihat yang sederhana dan bijaksana dari Ari Linda, tetaplah berkanjang dalam doa memberikan kelegaan hati bahwa Dalam situasi apapun tetaplah berdoa dan berharap kepada Allah.
Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Selasa, Juli 15, 2008
SEMINAR TENTANG SPIRITUALITAS NEW AGE
Dear All,
Bagi temen2 yg berminat ikut seminar, berikut ada info seminar...semoga bermanfaat..
thanks, GBU
Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Loly (Paroki Kristus Salvator, Jakarta)
Spiritualitas NEW AGE dari sudut pandang Katolik
Pembicara: Rm. Petrus Tunjung Kesuma Pr (Dosen & Ahli Spiritualitas); dan Rm. Lukas Jua SVD (Ahli Kitab Suci)
Hari : Minggu, tanggal 27 Juli 2008, jam 8.30 - 15.30
di : Aula Lantai 4 Gereja St. Yoseph, Matraman.
Jl. Matraman Raya 127, Jakarta Timur.
Pengganti snack dan makan siang : Rp.35.000,- / peserta.
Daftar ke: Titi, 08128039446
Minggu, Juni 22, 2008
"JANGAN MENGELUH!"
LEWAT PERKATAAN DAN PEMIKIRAN ANDA,
ANDA AKAN MENENTUKAN APAKAH ANDA AKAN
MENIKMATI PERJALANAN ANDA ATAU TIDAK
Saya terbang lagi.
Pada hari Rabu, saya memulai suatu perjalanan yang cepat, non-stop selama sepuluh hari ke Amerika dan Kanada. Dalam sepuluh hari itu, saya akan memberi kotbah di sepuluh kota. Serius. Dari Los Angeles ke San Francisco ke Vancouver ke New Jersey ke Maryland…
Beberapa orang mengatakan pada saya bahwa jadwal saya tidak cocok untuk seorang manusia. Tapi tidak ada masalah dengan itu, sungguh.
Saya pernah melakukan ini, jadi saya tahu rutinnya: Terbang,berkotbah, terbang, berkotbah, terbang, berkotbah… Dan hirup oksigen di sela-selanya.
Jika saya bisa menikmati makanan ringan di sela-selanya, puji Tuhan. Jika tidak, sebuah pisang pun cukup. Sekarang Anda mengerti mengapa saya kurus. Tapi saya kuat. Saya telah menjadi seorang semi-vegetarian selama 14 tahun. Saya juga berolahraga setiap hari. Dan saya mempunyai hidup yang bahagia.
Ke mana pun saya pergi, orang-orang bertanya, “Bagaimana engkau dapat melakukan semua yang engkau lakukan?” Mereka mengatakan kalender saya adalah penyiksaan.
Tidak, bukan begitu. Saya mencintai apa yang saya lakukan.
Jadi bagi saya, kalender saya bukan penyiksaan melainkan suatu petualangan yang seru.
PERINGATAN : ORANG YANG MENGELUH
AKAN MENDAPAT LEBIH BANYAK DARI APA YANG MEREKA KELUHKAN
Suatu hari, saya sedang berdiri dalam suatu antrian panjang di bandara.
Di depan mesin X-Ray, detektor logam, dan staf keamanan yang sudah lelah.
Di belakang saya berdiri seorang pria parobaya yang rambutnya mulai menipis dengan wajah penuh kemarahan, sebongkah batu akan mencair dibawah tatapannya. Ia mencaci, “Sial, saya tidak tahan menunggu. Ini membuat saya gila. Tidakkah Anda benci dengan antrian panjang?”
Saya tersenyum.
Sikap diam saya sudah cukup untuk memberitahunya, “Anda punya pilihan untuk menjadi gembira atau merasa susah.”
Karena pada saat itu, saya merasa gembira.
Karena saya memilih untuk menjadi gembira.
Saya berdamai dengan Tuhan dan diri sendiri dan seluruh alam semesta.
Saya bepergian dengan pesawat ratusan kali dalam setahun dan saya telah lama memutuskan untuk tidak mengeluh soal antrian panjang.
Mengeluh tidak ada gunanya.
Lebih baik, saya menghargai hadiah istimewa yang diberikan antrian panjang pada saya.
Antrian panjang memaksa saya untuk mengobrol dengan seorang teman,untuk membaca buku, untuk merencanakan hidup saya 50 tahun ke depan, untuk berdoa, untuk menjadi betul-betul tidak berguna, dan untuk sama sekali tidak melakukan apapun. Oh damainya!
Jangan mengeluh.
Saya tahu beberapa orang yang mengeluh sebelum perjalanan dimulai.
Dengan melakukan itu, mereka “menciptakan” kesedihan yang akan mereka alami. Karena keluhan mereka menjadi nubuat bagi diri mereka sendiri.
Begitulah cara kerja kehidupan.
DARIPADA MENGELUH
BAYANGKAN BAGAIMANA ANDA INGIN MELAKUKAN PERJALANAN ANDA
Sebelum setiap perjalanan, saya sudah membuat suatu keputusan dan menyatakan, “Saya akan menikmati perjalanan mengagumkan ini.”
Alkitab mengatakan “Hidup dan mati ada dikuasai lidah.” Saya percaya hal itu. Maka sebelum pergi untuk memulai suatu perjalanan, saya mengaku, “Perjalanan saya akan sangat diberkati!”
Saya juga melakukan sesuatu yang saya pelajari dari kejuaraan Olympiade: Dalam pikiran saya, saya membayangkan apa yang saya inginkan terjadi.
Bagian dari pelatihan seorang atlet Olympiade adalah visualisasi. Setiap pagi, bahkan sebelum ia berlari, seorang sprinter (pelari jarak pendek) akan membayangkan rintangan 100 meternya. Ia membayangkan segala sesuatu. Suara tembakan. Lompatan awal. Angin yang terasa di wajahnya. Riuh-rendah suara penonton. Pita garis akhir yang mengenai dadanya. Medali emas di lehernya.
Dan jika hal itu cukup baik bagi para peserta Olympiade, saya pikir hal itu cukup baik pula buat saya.
Maka sebelum setiap perjalanan, inilah yang saya bayangkan…
• Dalam setiap kotbah yang saya berikan, saya bayangkan betapa umat akan menerima kasih Tuhan. Orang-orang akan dikenyangkan secara rohani. Orang-orang akan mengalami Tuhan seperti belum pernah mengalami sebelumnya. Mereka akan merasa sangat diberkati; mereka akan memberitahu teman-teman mereka tentang pengalaman itu. (Petunjuk bagi para Pembicara: Ini yang saya bayangkan sebelum saya memberi
kotbah. Saya tidak melangkah ke mimbar tanpa melakukan ini.)
• Dalam setiap relasi dengan orang lain, saya membayangkan betapa saya belajar dari orang-orang mempesona yang akan saya temui. Saya akan diberkati oleh teman-teman saya, orang-orang yang mengundang saya, dan para penyelenggara setiap acara. Dan saya akan memberkati mereka dengan kasih dan persahabatan saya juga. (Saya menikmati pertemuan dengan semua anggota Kerygma Family di seluruh dunia.)
• Dalam saat-saat tenang, entah berdiri dalam antrian atau duduk di pesawat, saya akan membaca dan menulis dan beristirahat dan berdoa. Saya membayangkan diri saya sungguh-sungguh menikmati saat tenang dan saat hening saya.
• Saya akan tiba di rumah untuk beristirahat, di-“charge” kembali dan diberkati!
Imajinasi saya adalah doa saya.
Saya mengklaim bahwa semua ini akan terjadi di dalam nama Yesus.
HIDUP ADALAH SEBUAH PERJALANAN;
TERSERAH ANDA UNTUK MENIKMATINYA ATAU TIDAK
Ingat: Pengalaman bukanlah apa yang terjadi pada Anda. Pengalaman adalah apa yang Anda lakukan terhadap apa yang terjadi pada Anda.
Setiap hari, Anda semakin mendekati tujuan Anda.
Tujuan Anda adalah Tuhan.
Tapi Tuhan bukanlah hanya suatu tujuan, Ia juga adalah jalan Anda.
Karena itu nikmatilah perjalanan yang disebut kehidupan.
Di setiap langkah dalam perjalanan itu, Tuhan hadir.
Semoga impian Anda menjadi kenyataan,
Bo Sanchez
Terjemahan oleh : Jessica J. Pangestu
Sumber: Milis Bo Sanchez
Kiriman dari: Andreas Andy S. (Paroki Kristus Salvator, Jakarta)
ANDA AKAN MENENTUKAN APAKAH ANDA AKAN
MENIKMATI PERJALANAN ANDA ATAU TIDAK
Saya terbang lagi.
Pada hari Rabu, saya memulai suatu perjalanan yang cepat, non-stop selama sepuluh hari ke Amerika dan Kanada. Dalam sepuluh hari itu, saya akan memberi kotbah di sepuluh kota. Serius. Dari Los Angeles ke San Francisco ke Vancouver ke New Jersey ke Maryland…
Beberapa orang mengatakan pada saya bahwa jadwal saya tidak cocok untuk seorang manusia. Tapi tidak ada masalah dengan itu, sungguh.
Saya pernah melakukan ini, jadi saya tahu rutinnya: Terbang,berkotbah, terbang, berkotbah, terbang, berkotbah… Dan hirup oksigen di sela-selanya.
Jika saya bisa menikmati makanan ringan di sela-selanya, puji Tuhan. Jika tidak, sebuah pisang pun cukup. Sekarang Anda mengerti mengapa saya kurus. Tapi saya kuat. Saya telah menjadi seorang semi-vegetarian selama 14 tahun. Saya juga berolahraga setiap hari. Dan saya mempunyai hidup yang bahagia.
Ke mana pun saya pergi, orang-orang bertanya, “Bagaimana engkau dapat melakukan semua yang engkau lakukan?” Mereka mengatakan kalender saya adalah penyiksaan.
Tidak, bukan begitu. Saya mencintai apa yang saya lakukan.
Jadi bagi saya, kalender saya bukan penyiksaan melainkan suatu petualangan yang seru.
PERINGATAN : ORANG YANG MENGELUH
AKAN MENDAPAT LEBIH BANYAK DARI APA YANG MEREKA KELUHKAN
Suatu hari, saya sedang berdiri dalam suatu antrian panjang di bandara.
Di depan mesin X-Ray, detektor logam, dan staf keamanan yang sudah lelah.
Di belakang saya berdiri seorang pria parobaya yang rambutnya mulai menipis dengan wajah penuh kemarahan, sebongkah batu akan mencair dibawah tatapannya. Ia mencaci, “Sial, saya tidak tahan menunggu. Ini membuat saya gila. Tidakkah Anda benci dengan antrian panjang?”
Saya tersenyum.
Sikap diam saya sudah cukup untuk memberitahunya, “Anda punya pilihan untuk menjadi gembira atau merasa susah.”
Karena pada saat itu, saya merasa gembira.
Karena saya memilih untuk menjadi gembira.
Saya berdamai dengan Tuhan dan diri sendiri dan seluruh alam semesta.
Saya bepergian dengan pesawat ratusan kali dalam setahun dan saya telah lama memutuskan untuk tidak mengeluh soal antrian panjang.
Mengeluh tidak ada gunanya.
Lebih baik, saya menghargai hadiah istimewa yang diberikan antrian panjang pada saya.
Antrian panjang memaksa saya untuk mengobrol dengan seorang teman,untuk membaca buku, untuk merencanakan hidup saya 50 tahun ke depan, untuk berdoa, untuk menjadi betul-betul tidak berguna, dan untuk sama sekali tidak melakukan apapun. Oh damainya!
Jangan mengeluh.
Saya tahu beberapa orang yang mengeluh sebelum perjalanan dimulai.
Dengan melakukan itu, mereka “menciptakan” kesedihan yang akan mereka alami. Karena keluhan mereka menjadi nubuat bagi diri mereka sendiri.
Begitulah cara kerja kehidupan.
DARIPADA MENGELUH
BAYANGKAN BAGAIMANA ANDA INGIN MELAKUKAN PERJALANAN ANDA
Sebelum setiap perjalanan, saya sudah membuat suatu keputusan dan menyatakan, “Saya akan menikmati perjalanan mengagumkan ini.”
Alkitab mengatakan “Hidup dan mati ada dikuasai lidah.” Saya percaya hal itu. Maka sebelum pergi untuk memulai suatu perjalanan, saya mengaku, “Perjalanan saya akan sangat diberkati!”
Saya juga melakukan sesuatu yang saya pelajari dari kejuaraan Olympiade: Dalam pikiran saya, saya membayangkan apa yang saya inginkan terjadi.
Bagian dari pelatihan seorang atlet Olympiade adalah visualisasi. Setiap pagi, bahkan sebelum ia berlari, seorang sprinter (pelari jarak pendek) akan membayangkan rintangan 100 meternya. Ia membayangkan segala sesuatu. Suara tembakan. Lompatan awal. Angin yang terasa di wajahnya. Riuh-rendah suara penonton. Pita garis akhir yang mengenai dadanya. Medali emas di lehernya.
Dan jika hal itu cukup baik bagi para peserta Olympiade, saya pikir hal itu cukup baik pula buat saya.
Maka sebelum setiap perjalanan, inilah yang saya bayangkan…
• Dalam setiap kotbah yang saya berikan, saya bayangkan betapa umat akan menerima kasih Tuhan. Orang-orang akan dikenyangkan secara rohani. Orang-orang akan mengalami Tuhan seperti belum pernah mengalami sebelumnya. Mereka akan merasa sangat diberkati; mereka akan memberitahu teman-teman mereka tentang pengalaman itu. (Petunjuk bagi para Pembicara: Ini yang saya bayangkan sebelum saya memberi
kotbah. Saya tidak melangkah ke mimbar tanpa melakukan ini.)
• Dalam setiap relasi dengan orang lain, saya membayangkan betapa saya belajar dari orang-orang mempesona yang akan saya temui. Saya akan diberkati oleh teman-teman saya, orang-orang yang mengundang saya, dan para penyelenggara setiap acara. Dan saya akan memberkati mereka dengan kasih dan persahabatan saya juga. (Saya menikmati pertemuan dengan semua anggota Kerygma Family di seluruh dunia.)
• Dalam saat-saat tenang, entah berdiri dalam antrian atau duduk di pesawat, saya akan membaca dan menulis dan beristirahat dan berdoa. Saya membayangkan diri saya sungguh-sungguh menikmati saat tenang dan saat hening saya.
• Saya akan tiba di rumah untuk beristirahat, di-“charge” kembali dan diberkati!
Imajinasi saya adalah doa saya.
Saya mengklaim bahwa semua ini akan terjadi di dalam nama Yesus.
HIDUP ADALAH SEBUAH PERJALANAN;
TERSERAH ANDA UNTUK MENIKMATINYA ATAU TIDAK
Ingat: Pengalaman bukanlah apa yang terjadi pada Anda. Pengalaman adalah apa yang Anda lakukan terhadap apa yang terjadi pada Anda.
Setiap hari, Anda semakin mendekati tujuan Anda.
Tujuan Anda adalah Tuhan.
Tapi Tuhan bukanlah hanya suatu tujuan, Ia juga adalah jalan Anda.
Karena itu nikmatilah perjalanan yang disebut kehidupan.
Di setiap langkah dalam perjalanan itu, Tuhan hadir.
Semoga impian Anda menjadi kenyataan,
Bo Sanchez
Terjemahan oleh : Jessica J. Pangestu
Sumber: Milis Bo Sanchez
Kiriman dari: Andreas Andy S. (Paroki Kristus Salvator, Jakarta)
Minggu, Juni 15, 2008
e-Brief: SAAT AGAMA TERLIBAT SEPAKBOLA
euro2008[26/05/08 Doni Wahyudi, detiksport] Basel - Sepakbola identik dengan kerusuhan atau minuman keras? Tidak semua seperti itu karena di Austria-Swiss tempat digelarnya Piala Eropa 2008, agama justru dilibatkan. Bahkan ada nonton bareng di gereja.
Demikian inisiatif yang dilakukan beberapa pemuka agama di Swiss demi menyambut Piala Eropa 2008. Meski acaranya bertajuk The Church 08 Campaign, namun tak hanya pemuka agama Kristen saja yang terlibat karena pemuka agama Islam juga diajak berpartisipasi.
"Dunia butuh kedamaian sehingga manusia bisa hidup bersama dengan damai, sesuatu yang belum pasti di dunia ini. Dua pesan utama kami adalah damai dan keramahan," ungkap seorang Pastor Stefan Roth pada Swissinfo.
Rangkaian acara tersebut telah dimulai Minggu (25/5/2008) kemarin yang juga didatangi oleh Menteri Olahraga, Samuel Schmid. Acara akan berlanjut Selasa (27/5/2008) besok dengan acara pertandingan sepakbola antara pemuka agama versus politisi.
Dari pihak pemuka agama akan bermain Muris Begovic, seorang imam di mesjid Kota Schlieren. Sementara dari kubu politisi juga akan diperkuat beberapa wakil dari partai yang berbeda seperti Toni Bortoluzzi dari partai sayap kanan, Swiss People's Party serta Maya Graf dari Green Party.
Rangkaian acara The Churche 08 Campaign akan berlangsung hingga Piala Eropa berakhir. Beberapa gereja di kota Zurich, Geneva, Basel dan Bern bahkan akan buka hingga malam untuk menunjang acara tersebut dengan menyiapkan layar raksasa, tentunya untuk menggelar nonton bareng.
"Kami tidak sedang berusaha menambah jumlah jemaah - kami tahu orang berada di sini karena sepakbola, bukan karena agama. Tapi jika seseorang menemukan hubungan antara Tuhan dalam pekan-pekan ini, itu adalah bonus," lanjut Stefan Roth. ( din / krs )
Sumber:Mirifica News, http://www.mirifica.net
Pengirim: Andreas Andy S. (Paroki Kristus Salvator, Jakarta)
SANTO FRANSISKUS DARI ASSISI
Fransiskus dilahirkan di kota Assisi, Italia pada tahun 1181. Ayahnya bernama Pietro Bernardone, seorang pedagang kain yang kaya raya, dan ibunya bernama Donna Pica. Di masa mudanya, Fransiskus lebih suka bersenang-senang dan menghambur-hamburkan harta ayahnya daripada belajar. Ketika usianya 20 tahun, Fransiskus ikut maju berperang melawan Perugia. Ia tertangkap dan disekap selama satu tahun hingga jatuh sakit. Pada masa itulah ia mendekatkan diri kepada Tuhan. Setelah Fransiskus dibebaskan, ia mendapat suatu mimpi yang aneh. Dalam mimpinya, ia mendengar suara yang berkata, "layanilah majikan dan bukannya pelayan."
Setelah itu Fransiskus memutuskan untuk hidup miskin. Ia pergi ke Roma dan menukarkan bajunya yang mahal dengan seorang pengemis, setelah itu seharian ia mengemis. Semua hasilnya dimasukkan Fransiskus ke dalam kotak persembahan untuk orang-orang miskin di Kubur Para Rasul. Ia pulang tanpa uang sama sekali di sakunya. Suatu hari, ketika sedang berdoa di Gereja St. Damiano, Fransiskus mendengar suara Tuhan, "Fransiskus, perbaikilah Gereja-Ku yang hampir roboh". Jadi, Fransiskus pergi untuk melaksanakan perintah Tuhan. Ia menjual setumpuk kain ayahnya yang mahal untuk membeli bahan-bahan guna membangun gereja yang telah tua itu.
Pak Bernardone marah sekali! Fransiskus dikurungnya di dalam kamar. Fransiskus, dengan bantuan ibunya, berhasil melarikan diri dan pergi kepada Uskup Guido, yaitu Uskup kota Assisi. Pak Bernardone segera menyusulnya. Ia mengancam jika Fransiskus tidak mau pulang bersamanya, ia tidak akan mengakui Fransiskus sebagai anaknya dan dengan demikian tidak akan memberikan warisan barang sepeser pun kepada Fransiskus. Mendengar itu, Fransiskus malahan melepaskan baju yang menempel di tubuhnya dan mengembalikannya kepada ayahnya.
Kelak, setelah menjadi seorang biarawan, Fransiskus baru menyadari bahwa yang dimaksudkan Tuhan dengan membangun Gereja-Nya ialah membangun semangat ke-Kristenan.
Pada tanggal 3 Oktober 1226, dalam usianya yang ke empatpuluh lima tahun Fransiskus meninggal dengan stigmata (Luka-luka Kristus) di tubuhnya.
Tidak ada seorang pun dari pengikutnya yang menyerah dan mengundurkan diri setelah kematian Fransiskus, tetapi mereka semua melanjutkan karya cinta kasihnya dengan semangat kerendahan hati dan meneruskan kerinduannya untuk memanggil semua orang menjadi pengikut Kristus yang sejati.
Santo Fransiskus adalah santo pelindung binatang dan anak-anak. Pestanya dirayakan setiap tanggal 4 Oktober.
DOA ST. FRANSISKUS DARI ASSISI
TUHAN, jadikanlah aku pembawa DAMAI.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran.
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian.
Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita.
Banyak cerita yang mengisahkan bagaimana St. Fransiskus dari Assisi (1182-1226) dapat berkomunikasi dengan binatang-binatang dan menyatu dengan semua ciptaan.
["disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya"]
Sumber:Mirifica News, http://www.mirifica.net
Pengirim: Andreas Andy S. (Paroki Kristus Salvator, Jakarta)
TAK BISA SEJALAN
Bacaan:
Yak 2:14-24,26
Mzm 112:1-6
Mrk 8:34-9:1
Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya (Mrk 8:34)
Pengalaman saya sudah membuktikan bahwa mengikut Yesus haruslah 'eksklusif'. Karena mengikut Yesus dan mengikuti kehendak 'daging' sangat bertolak belakang. Sama tidak mungkinnya seperti kita hendak berada di laut dan di puncak gunung dalam waktu yang bersamaan.
Banyak diantara kita berpikir mengikut Yesus hanyalah pelengkap. Sama seperti pelampung keselamatan pada sebuah kapal feri dan digunakan bila dibutuhkan saja. Atau ada yang menganggap hanya sebagai asesoris yang dikenakan bila sesuai dengan keadaan. Bila pikiran kita seperti demikian, janganlah heran bila kita merasa Allah sangat jauh dan seakan-akan tidak pernah mendengarkan doa kita.
Bila bisa saya illustrasikan, mengikut Allah sama seperti bila kita ingin hidup sehat. Ada 'harga' yang harus dibayar. Jangan berharap akan hidup sehat bila kita tidak pernah mau berolah-raga, maunya hanya makan makanan yang tidak sehat saja, alkohol, merokok, malas-malasan dan lain sebagainya. Menjadi sehat dan makan sembarangan tidak bisa sejalan. Anda harus pilih antara sehat atau kenikmatan lidah sesaat.
Begitu pula dengan Allah. Allah meminta kita untuk menyangkal diri, karena Dia tahu pasti bahwa keinginan manusia pada hakekatnya adalah dosa. Dia ingin masnusia hidup bersama Dia dan FirmanNya karena Dia tahu bagaimana membuat manusia bahagia. Dunia tidak tahu apa-apa mengenai kebahagiaan sejati, yang ada hanyalah tipuan dan kesenangan sesaat. Namun semuanya kembali kepada manusia, mana yang ia pilih...(Al)
Dikutip dari: "Bahasa Kasih",Mei 2008 - Renungan Harian Berdasarkan Kalender Liturgi
Yak 2:14-24,26
Mzm 112:1-6
Mrk 8:34-9:1
Setiap orang yang mau mengikut Aku, Ia harus menyangkal dirinya (Mrk 8:34)
Pengalaman saya sudah membuktikan bahwa mengikut Yesus haruslah 'eksklusif'. Karena mengikut Yesus dan mengikuti kehendak 'daging' sangat bertolak belakang. Sama tidak mungkinnya seperti kita hendak berada di laut dan di puncak gunung dalam waktu yang bersamaan.
Banyak diantara kita berpikir mengikut Yesus hanyalah pelengkap. Sama seperti pelampung keselamatan pada sebuah kapal feri dan digunakan bila dibutuhkan saja. Atau ada yang menganggap hanya sebagai asesoris yang dikenakan bila sesuai dengan keadaan. Bila pikiran kita seperti demikian, janganlah heran bila kita merasa Allah sangat jauh dan seakan-akan tidak pernah mendengarkan doa kita.
Bila bisa saya illustrasikan, mengikut Allah sama seperti bila kita ingin hidup sehat. Ada 'harga' yang harus dibayar. Jangan berharap akan hidup sehat bila kita tidak pernah mau berolah-raga, maunya hanya makan makanan yang tidak sehat saja, alkohol, merokok, malas-malasan dan lain sebagainya. Menjadi sehat dan makan sembarangan tidak bisa sejalan. Anda harus pilih antara sehat atau kenikmatan lidah sesaat.
Begitu pula dengan Allah. Allah meminta kita untuk menyangkal diri, karena Dia tahu pasti bahwa keinginan manusia pada hakekatnya adalah dosa. Dia ingin masnusia hidup bersama Dia dan FirmanNya karena Dia tahu bagaimana membuat manusia bahagia. Dunia tidak tahu apa-apa mengenai kebahagiaan sejati, yang ada hanyalah tipuan dan kesenangan sesaat. Namun semuanya kembali kepada manusia, mana yang ia pilih...(Al)
Dikutip dari: "Bahasa Kasih",Mei 2008 - Renungan Harian Berdasarkan Kalender Liturgi
SEPATU
Sudah agak lama ia memperhatikan sepatu keakungannya. Diletakkan begitu saja di sudut rumahnya. Satu-satunya hadiah dari orang tuanya. Sepatu itu penuh lumpur. Diambilnya kain dan dibersihkannya perlahan-lahan, hingga tampak lumpur yang melekat pada sepatu itu tidak kelihatan lagi. Meskipun ia tahu, kalau dia bepergian, dan harus melewati jalan yang berlumpur dan jalan yang becek, sepatunya pasti akan kotor lagi.
Sepatu adalah satu-satunya sahabatnya. Ke mana saja ia pergi, sepatu itu selalu dikenakan. Tatkala ia melewati hutan, sungai, pergi ke kota, bahkan ke gereja, sepasang sepatu satu-satunya itu selalu melekat di kaki. Kalau hendak pergi tidur, sepatu itu baru akan dilepaskan dari kakinya. Namun, sepatu itu sekarang itu tidak dapat digunakan lagi, tampak sobek di mana-mana. Kini ia tidak memiliki lagi sepatu itu. Ia tidak mempunyai niat untuk membeli sepatu lagi, karena untuk makanan saja sangat sulit. Terkadang ia hanya makan sekali saja dalam sehari.
Ia tidak pernah sedih tidak memakai sepatu ketika datang ke kota, bahkan dia tak pernah malu untuk datang ke gereja tanpa sepatu dan sandal, karena baginya bukan sepatu yang diminta oleh Tuhan, tetapi hati, kerinduan jiwalah yang diminta oleh Tuhan. Demikianlah kisah Simon tentang sepasang sepatu satu-satunya.
Sepatu Berbicara tentang Status
Sepatu berbicara tentang siapa diri kita. Ada orang mengatakan kita memakai hati kita pada tapak kaki. Sepatu adalah indikasi yang paling baik bagaimana orang merasakan dirinya. Bila sepatu yang dikenakan itu indah, bermerek, orang akan dengan mudah mengatakan bahwa orang ini memiliki kedudukan yang tinggi. Bila sepatu yang dikenakan adalah sepatu bot, orang akan dengan mudah berpikiran bahwa pasti dia seorang tentara. Dari sepatu, kita akan mengetahui siapakah dirinya. Kita juga akan dapat mengetahui kepada siapa, ia mengabdi. Maxim Gorky seorang penulis Rusia mengatakan sepasang sepatu bot lebih akan mengabdi kepada kekuasaan dari pada sepasang mata yang hitam. Sepatu itu akan menghentikan kematian yang lebih dini.
Namun sepasang sepatu akan berbicara lain tentang orang Papua. Bagi orang Papua, sepatu adalah barang mewah. Hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki sepatu. Kalaupun mereka menggenakan sepatu, tampak lumpur dan sobek di mana-mana. Karena ada hal yang lebih penting dari sepatu yakni bagaimana mereka bisa makan. Kebanyakan mereka, kecil, tua dan muda ke mana-mana tanpa alas kaki. Mereka sepertinya sudah menyatu dengan kehidupan mereka. Meskipun terik matahari yang menyengat, dan lumpur di jalanan, mereka tetap berjalan tanpa alas kaki. Demikian halnya juga tatkala mereka datang ke gereja menghadiri perayaan ekaristi. Pada umumnya mereka tidak mengenakan sandal, apalagi sepatu.
Keindahan Jiwa
Masyarakat modern memandang sepatu sebagai suatu gaya hidup. Maka orang berlomba-lomba mencari merek sepatu yang terbaik, dan paling mahal. Sepatu memiliki fungsinya masing-masing, tergantung situasi dan tempat. Tatkala orang datang ke tempat umum, sepatunya merek luar negeri, dan ketika datang ke gereja, orang memakai sepatu merek dari negara lain. Orang mengetahui saat kapan harus menggunakan sepatu jenis ini dan sepatu jenis itu. Sedemikian pentingnya sepatu, sehingga berbagai merek sepatu terpajang di rak-rak lemari.
Kenyataan seperti itu tidak ditemukan pada orang Papua. Sepatu jarang ada di rumah mereka, apalagi sepatu yang bermerek. Seperti halnya, di rumahnya Simon yang sederhana. Simon berkisah untuk makan saja sulit, apalagi untuk membeli sepatu bermerek. Namun Simon tak pernah merasa minder karena tidak memiliki sepatu tatkala datang ke Gereja. Ia mempunyai keyakinan bahwa Tuhan tak pernah merasa kecewa dengan dirinya karena kakinya penuh lumpur. Yang Tuhan minta adalah kerendahan hati dari dirinya. “Aku tidak pernah memiliki keinginan yang banyak, harus memakai sepatu yang indah dan bermerek ke Gereja, karena bagiku hati yang selalu bersyukur, karena diberi kehidupan oleh Tuhan. Itu sudah cukup bagiku”.
Taoisme pernah berkata bahwa orang sukar menjadi bijaksana dan suci karena terlalu banyak mempunyai keinginan. Keinginan yang banyak membuat diri manusia terpenjara di dalam dirinya, karena ketika orang itu memenuhi satu keinginan, akan muncul keinginan lainnya, dan seterusnya. Keinginan yang banyak bagaikan sebuah mata rantai yang tak pernah berakhir. Sehingga hidup manusia kehilangan fokus dan arah hidupnya yang sebenarnya.
Simon adalah gambaran wajah orang-orang Papua yang sederhana, tidak mempunyai keinginan yang meluap-luap tetapi memiliki kebijaksanaan hidup. Hidup apa adanya dan mengalir begitu saja, seperti air sungai yang mengalir dari dataran tinggi menuju dataran yang rendah. Ia tetap bening dan cemerlang, karena ia mengalir dalam keheningan dan ketenangan. Kehidupan Yesus adalah cermin kehidupan yang sederhana. Yesus hanya memiliki satu keinginan yakni melakukan kehendak BapaNya di surga. Untuk itu, Yesus memilih cara hidup yang sederhana, lahir di kandang Betlehem yang hina, tidak di tempat yang mewah, bergaul dengan orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Ia datang dalam kesederhanaan, tetapi dari sanalah mengalir kebijaksanaan karena hatiNya yang selalu terbuka kepada kehendak BapaNya.
Dipanggil untuk berkorban
Di kamar kita, mungkin ada bermacam-macam merek sepatu. Kita dapat sesuka hati kita mengenakannya. Bila menginginkan sepatu jenis tertentu, kita dapat pula dengan mudah membelinya. Berbagai tawaran merek sepatu yang terbaik dan termahal dengan gampang juga kita dapat menjangkaunya. Sepatu adalah simbol harga diri kita, karena dari sanapula kita memperoleh pengakuan sosial, dan penghormatan dari orang lain.
Mendengar kisah Simon, terkadang terbersit rasa malu, karena Simon tak pernah merasa takut melewati jalan yang berlumpur, meskipun ia tidak mengenakan sepatu. Sedangkan aku masih merasa takut kalau sepatu yang aku kenakan menjadi kotor kalau melayani orang-orang sederhana dan miskin. Maka aku memilih untuk menghindarinya. Aku memilih jalan yang menyenangkan diriku dan tidak mau peduli dengan orang lain. Simon juga tak pernah merasa malu dan takut ketika datang ke Gereja dengan tidak mengenakan sepatu. Sedangkan aku masih merasa takut, kalau tidak mendapat penghormatan dan penghargaan dari orang lain, saat aku tidak mengenakan sepatu. Itulah cermin wajah manusia jaman sekarang yang lebih melihat penampilan luar dari pada penampilan dari lubuk hati yang terdalam.
Kisah kehidupan Simon membawa permenungan tersendiri, bahwa rahasia cinta Allah tersembunyi dalam hidup orang miskin. Rahasia cinta Allah tersembunyi dalam lubuk hati yang terbuka dan rendah hati. Rahasia hati inilah yang dicari oleh banyak orang, tetapi tidak pernah menemukannya, karena lebih memilih untuk memuliakan tubuh dengan aksesoris luar, dari pada memuliakan jiwa yang terdalam di dalam lubuk hati kita. Tuhan Yesus mengatakan kepada para muridNya bahwa banyak orang mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga tetapi tidak mendengar. Hanya kepada orang yang dianugerahi sajalah yang mampu melihat dan mendengarkan. Yesus ingin menunjukkan rahasia kebijaksanaan dapat diperoleh, hanya bila manusia selalu terbuka pada kehendak Allah dan rendah hati.
Simon tidak pernah memvonis orang lain yang mempunyai sepatu yang banyak, dan dapat membeli sepatu yang bermerek kalau hendak Gereja. Itu merupakan hak pribadi mereka masing-masing. Ia hanya bercerita tentang kehidupannya yang sederhana dan sepasang sepatu satu-satunya yang tidak dapat dia pakai lagi. Namun dari balik kisah Simon, terungkap sebuah jawaban tentang rahasia hidup damai, ketenangan batin yakni keterbukaan jiwa dan kerendahan hati dihadapan Allah. Yang Allah minta bukan penampilan luar dengan segala aksesoris, tetapi hati yang tulus yang dengan rendah hati datang bertelut di bawah kaki Tuhan, bukan untuk dilayani, melainkan berani melayani, bukan untuk mengharapkan penghormatan dan penghargaan dari orang lain, namun siap menjadi kotor dan berani melewati jalan berlumpur. Di situlah semangat berkorban kita diminta. Berkorban berarti memberi diri bagi orang lain, agar orang lain juga mencicipi kebahagiaan. Semangat inilah yang menjiwai Mother Theresa untuk berkorban memberikan dirinya bagi pelayaan orang miskin. Semangat berkorban ini pula yang membuat Mother Theresa meyakini bahwa hidup yang bahagia adalah hidup yang berani berbagi dan berkorban untuk orang lain. Siapa takut??
Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Langganan:
Postingan (Atom)