To All of You,

Dengarkan Musik Ini

Super Mario Game

INFO SINGKAT

Beri Masukan Untuk Kami

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Rabu, Januari 28, 2009

AKU INGIN PULANG

Oleh: Pastor Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea

            Diletakkan begitu saja bajunya di atas tumpukan kayu bakar. Segera ia mengambil beberapa pisang mentah dan dibakar di dalam tungku api yang sedang menyalah. Sambil menunggu pisang yang sedang dibakar, dia mengambil sebatang rokok dari saku celananya. Ia mengisap rokok itu dalam-dalam dan segera itu menghebuskan asap rokok itu keluar dari mulut dan hidungnya. Sepertinya memberikan kelegaan tersendiri bagi dirinya. Pandangan matanya terarah pada pisang mentah yang sedang dibakar, sesekali dibalikannya pisang itu dan dikeluarkannya dari tungku api setelah dilihat pisang itu sudah dapat dimakan. Ia bergegas ke sudut rumahnya mengambil sebuah piring yang sudah agak kumal, diletakkan pisang di atasnya dan dihidangkannya  kepada saya. Raut wajahnya kelihatan sangat lelah dan capeh, tampak dari lingkaran hitam pada kedua bola matanya. Namun ia tetap memberi senyum kepadaku. Itulah bapak Andreas, wajah seorang pengungsi dari Papua Barat.

            Sudah sepuluh tahun kami tinggal di Papua New Guinea, tetapi kehidupan kami tidak pernah berubah, malah mengenaskan. Sejak kami datang ke tempat ini, lahan tanah tidak pernah kami miliki, selain pekarangan di sekitar rumah yang tidak dapat ditanam karena kondisi tanahnya. Kata bapak Andreas kepadaku. Sebenarnya kami diberi tanah tetapi masih dalam kepemilikan tuan tanah. Kami tidak dapat menanam apapun juga. Kalaupun kami menanam sesuatu pasti akan diambil semuanya oleh tuan tanah.

 

Kepastian Hidup

            Saat kami keluar dari Papua barat menuju Papua New Guinea sebenarnya kami tidak mengetahui dengan pasti persoalan politik apa yang sedang terjadi. Kami hanya mendengar bahwa kami akan merdeka, tetapi merdeka dari apa? Kamipun tidak pernah mengetahui dengan pasti. Tetapi satu hal ini yang tidak pernah kami lupakan adalah perlakukan yang sangat tidak manusiawi dari pihak-pihak penguasa. Kami ditekan, dipaksa, bahkan kami hidup dalam ketakutan di kampung kami sendiri. Kami merasa takut di tanah yang merupakan warisan dari leluhur kami. Dalam suasana kepanikan, dan ketakutan, kami meninggalkan tanah dan semua warisan  dari nenek moyang kami. Kini tanah itu sudah bukan milik kami lagi. Ketika kami tiba di PNG, kami mendapat janji dari pemerintah bahwa mereka akan memberikan tempat yang layak bagi kami, dan memperhatikan hak-hak kami. Namun kenyataan itu tidak pernah kami alami, justru pengalaman-pengalaman  pahit yang  kami alami. Semua tanah di daerah tempat kami tinggal sekarang ini adalah milik tuan tanah. Sewaktu-waktu tanah ini dapat diambil oleh tuan tanah, dan pemerintah PNG sepertinya tidak memiliki kewibahan untuk menghadapi tuan tanah. Kami tidak dapat menggunakan tanah itu untuk berkebun. Bahkan bukan hanya keluarga kami saja, tetapi semua pengungsi yang mendiami tanah disini adalah milik tuan tanah yakni  penduduk asli. Jika kami diberi tanah, luasnya tanah itu hanya sepetak saja. Bila kami membuat bisnis kecil-kecilan untuk perbaikan ekonomi rumah tangga, kami akan diprotes oleh mereka. Katanya lebih lanjut kepadaku. Saya hanya mendengarkan kisahnya dan memilih diam saja, saat dia menceritakan kehidupannya. Mungkin ini yang dapat saya lakukan, menyediakan hati untuk mendengarkan kisah kehidupannya.

Hidup sebagai pengungsi bukanlah sesuatu yang gampang, seperti halnya yang dialami oleh keluarga Bapak Andreas. Mereka hidup dalam ketidakpastian. Meskipun mereka tinggal di Papua New Guinea sekian tahun, tetapi mereka masih dianggap sebagai orang asing, dan imbas dari itu kadangkala hak asasi mereka tidak pernah dihargai. Mereka dilihat sebagai orang yang membawa masalah, bukan sebagai pribadi. Mendiang Paus Yohanes Paulus II, saat merayakan hari buruh migran dan para pengungsi, 2005 di dalam pesannya, beliau mengatakan bahwa pentingnya integrasi diantara orang-orang untuk memperkokoh identitas para pengungsi dan buruh migran dan pengakuan hak asasi mereka melalui diolog, keramahtamahan, serta mengembangkan semangat solidaritas sehingga mereka dapat bertumbuh kembang. Seruan mendiang Paus Yohanes Paulus II ini masih memiliki gemah yang mendalam sampai saat ini ketika melihat ribuan bahkan jutaan pengungsi yang hak-hak asasi mereka tidak dihargai sebagai manusia. Kisah dari Ruwanda, Tutsi, Ethiophia, Gasa, Iran,  Sidoarjo adalah contoh lain dari wajah-wajah para pengungsi yang hak asasi mereka tidak pernah dihargai. Mereka seperti orang asing yang tidak menemukan kepastian pengalaman hidup mereka di masa mendatang. Hari esok seperti hari-hari yang penuh kegelapan, karena mereka melangkah dalam ketidakpastian.  Mereka mendengar dan menerima janji, tetapi janji seperti pemanis bagi kehidupan mereka. Kisah pengungsi di Sidoarjo adalah contohnya, betapa hari-hari hidup mereka diwarnai dengan ketidakpastian, karena janji untuk perbaikan kesejahteraan tidak pernah terpenuhi, bahkan hidup mereka kian hari semakin tidak menentu. Untuk tidak mengatakan hak-hak asasi mereka semakin tidak diapresiasi sebagai manusia. Mereka dipaksa untuk meninggalkan tanah warisan mereka dengan janji ganti rugi, namun pada akhirnya ganti rugi sangat merugikan para pengungsi.

           

Menjadi rasul cinta

            Paus Benediktus XV1, di dalam pesannya saat merayakan hari para migran dan para pengungsi sedunia yang ke-95, memilih tema "St.Paul migrant, Apostle of the peoples, 18 January 2008.  Rasul Paulus lahir di dalam sebuah keluarga imigran Yahudi di Tarsus, Cicilia, ia didik di Ibrani, dalam budaya dan bahasa Yunani. Sesudah pengalaman berjumpaannya dengan Yesus di jalan Damaskus, dia mengabdikan dirinya  tanpa ragu-ragu pada misinya yang baru dengan keberanian dan entusiasme, serta patuh pada perintah Tuhan. Hidupnya berubah secara radikal. Jesus menjadikan hidupnya "raisaon d'etre and motivosi yang menginspirasikan karya kerasulannya untuk pewartaan Injil. Ia berubah dari  penganiyaya orang kristiani menjadi  rasul Tuhan Yesus. Paulus didalam karya perutusannya melihat Injil sebagai kekuatan Allah bagi keselamatan setiap orang yang memiliki iman baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Ia menyebut dirinya sebagai "Missionary to migrants", ketika karya pewartaannya ditolak oleh orang Yahudi. Hidup dan pewartaannya membuat Yesus dikenal dan dicintai oleh banyak orang. Inilah semangat missioner dari Santo Paulus.

            Paus Benediktus XVI di dalam suratnya menyebutkan bahwa semangat missioner adalah semangat dari setiap orang yang dibaptis. Semangat missioner ditunjukan melalui keberpihakkan dan perhatiannya pada kaum imigran, pengungsi, orang-orang yang tidak memiliki rumah, termasuk korban dari bentuk penindasan modern. Paus Benediktus menegaskan bahwa berhadapan dengan perubahan budaya, sosial dan tantangan-tantangan lainnya, semangat Santo Paulus harus menjadi jiwa dari setiap orang kristiani yakni mengembangkan semangat solidaritas dengan saudara-saudari yang menderita, dan ikut menciptakan lingkungan yang damai diantara budaya, agama dan manusia.

 

Kerinduan yang besar

            Sebulan kemudian saat saya datang ke kota, saya bertemu dengan bapak Andreas. Ia mengatakan kepadaku bahwa dia ingin pulang ke tanah asalnya, karena tanah warisan dari nenek moyangnya adalah tanah yang menjanjikan dan memberikan kebahagian daripada di tempat ini. Ia memiliki bakat, keterampilan, tetapi ia ingin membangun dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik di daerahnya, bukan di negeri orang. Tidak ada kebahagian yang lebih besar, selain pergi dan membangun kehidupan yang lebih baik di tanah sendiri, daripada di tanah milik orang lain. Di negara PNG kami tidak pernah diakui hak-hak kami; kami hanya dilihat sebagai masalah bukan sebagai pribadi. Maka jalan yang paling baik adalah kembali ke kampung halaman kami dan membangun kembali kampung halaman kami menjadi lebih baik seperti waktu kami masih berada di sana. Tetapi bagaimana dengan tanah warisanmu yang ada di sana? Apakah masih menjadi hakmu, setelah sekian lama kamu tinggalkan? Tanyaku lebih lanjut kepadanya. Ia tidak menjawab dengan segera pertanyaanku.  Air matanya membasah pipinya, karena dia ingat bahwa beberapa tahun yang lalu ketika dia ke tempat asalnya untuk mengunjungi saudara-saudarinya mereka mengatakan kepada dia bahwa tanah yang dahulu dibangga-banggakan kini tidak pernah ditempati lagi, karena mereka mendapat tekanan dari banyak pihak, dicurigai, dituduh sebagai orang yang bekerjasama dengan kelompok pro kemerdekaan Papua. Padahal kami ini adalah masyarakat sederhana yang tidak pernah mengerti tentang peta politik. Yang kami rindukan adalah kelak kami dapat pulang lagi ke tanah yang telah melahirkan, yang telah memberikan kehidupan bagi kami. Di tanah itu kami merasa hidup itu menjadi lebih berarti karena tinggal bersama sebagai saudara-saudari, diterima, dihargai sebagai pribadi dan bukan dilihat sebagai masalah. Ia berkata kepadaku bahwa dia hanya ingin pulang melihat kampung halamannya, karena disanalah dia mendapat kekuatan dan kegembiraan melihat saudara-saudarinya di Papua Barat.

Ketika dia pamit dan meninggalkanku, pandanganku terarah kepada pengalaman orang Israel saat mereka berada di tepi sungai Babylon. Mungkinkah orang-orang pengungsi adalah orang-orang yang berada di tepi sungai Babilon yang tidak dapat menyanyikan kidung di negeri orang? Mereka hanya ingin menyanyikan kidung di tanah warisan nenek moyang mereka, di tanah yang memungkinkan mereka merasa dihormati, dan dihargai. Mungkin mereka  hanya duduk menangis, karena mereka tidak pernah tahu dengan pasti kapan mereka pulang? Mereka juga merasa lelah dan capeh karena stigmatisasi dari masyarakat terhadap mereka sebagai pembawa persoalan dan bukan sebagai  pribadi. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Tatakala kuceritakan kisah ini kepada Romo Gros, CM, beliau hanya mengatakan kepadaku hadirlah bersama mereka melalui pembinaan manusiawi dan iman untuk melihat secercah harapan di masa yang akan datang. Mungkin ini pesan solidaritas yang sederhana menjadi rasul cinta seperti Santo Paulus.

           


Jumat, Januari 09, 2009

MISA JUMAT KEDUA FORUM KATOLIK / FORKAT SCBD

Misa diselenggarakan di Plaza Bapindo, Mandiri Tower Lt.26-Jakarta dan dipersembahkan oleh Rm Hani Rudi SJ. Misa mengambil waktu istirahat kerja kantor karyawan di sekitar Sudirman Central Business District (SCBD). Sebagai anggota Koor Keluarga Forkat /KKF SCBD yang bertugas, saya hadir dalam misa itu.

Bagaikan siraman air yang segar ditengah kesibukan dapat sejenak hadir dalam keheningan pikiran dan batin mengikuti misa, mendengarkan firman yang disampaikan sekaligus menyemarakkan suasana dengan melantunkan lagu-lagu dalam kelompok paduan suara KKF dan bertemu dengan teman teman dalam satu iman dan pengharapan akan Tuhan Yesus menyertai dan membimbing kita sepanjang tahun 2009 ini yang menurut para analis bahkan paranormal sekalipun adalah tahun yang berat dan menakutkan.

Romo mengajak agar dengan kerendahan hati kita memohon penyertaan dan campur tangan Tuhan seperti bacaan Injil hari ini, seorang kusta yang tersungkur dan memohon kepada Yesus. Tuhan menyembuhkan seketika itu juga penyakitnya karena dia percaya dan Tuhan mau mentahirkannya.

Andreas Andy S. - Paroki Kristus Salvator, Jakarta.

Chat on MSN, YAHOO, AIM with eBuddy