To All of You,

Dengarkan Musik Ini

Super Mario Game

INFO SINGKAT

Beri Masukan Untuk Kami

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Minggu, Juni 15, 2008

SEPATU


Sudah agak lama ia memperhatikan sepatu keakungannya. Diletakkan begitu saja di sudut rumahnya. Satu-satunya hadiah dari orang tuanya. Sepatu itu penuh lumpur. Diambilnya kain dan dibersihkannya perlahan-lahan, hingga tampak lumpur yang melekat pada sepatu itu tidak kelihatan lagi. Meskipun ia tahu, kalau dia bepergian, dan harus melewati jalan yang berlumpur dan jalan yang becek, sepatunya pasti akan kotor lagi.

Sepatu adalah satu-satunya sahabatnya. Ke mana saja ia pergi, sepatu itu selalu dikenakan. Tatkala ia melewati hutan, sungai, pergi ke kota, bahkan ke gereja, sepasang sepatu satu-satunya itu selalu melekat di kaki. Kalau hendak pergi tidur, sepatu itu baru akan dilepaskan dari kakinya. Namun, sepatu itu sekarang itu tidak dapat digunakan lagi, tampak sobek di mana-mana. Kini ia tidak memiliki lagi sepatu itu. Ia tidak mempunyai niat untuk membeli sepatu lagi, karena untuk makanan saja sangat sulit. Terkadang ia hanya makan sekali saja dalam sehari.

Ia tidak pernah sedih tidak memakai sepatu ketika datang ke kota, bahkan dia tak pernah malu untuk datang ke gereja tanpa sepatu dan sandal, karena baginya bukan sepatu yang diminta oleh Tuhan, tetapi hati, kerinduan jiwalah yang diminta oleh Tuhan. Demikianlah kisah Simon tentang sepasang sepatu satu-satunya.

Sepatu Berbicara tentang Status

Sepatu berbicara tentang siapa diri kita. Ada orang mengatakan kita memakai hati kita pada tapak kaki. Sepatu adalah indikasi yang paling baik bagaimana orang merasakan dirinya. Bila sepatu yang dikenakan itu indah, bermerek, orang akan dengan mudah mengatakan bahwa orang ini memiliki kedudukan yang tinggi. Bila sepatu yang dikenakan adalah sepatu bot, orang akan dengan mudah berpikiran bahwa pasti dia seorang tentara. Dari sepatu, kita akan mengetahui siapakah dirinya. Kita juga akan dapat mengetahui kepada siapa, ia mengabdi. Maxim Gorky seorang penulis Rusia mengatakan sepasang sepatu bot lebih akan mengabdi kepada kekuasaan dari pada sepasang mata yang hitam. Sepatu itu akan menghentikan kematian yang lebih dini.

Namun sepasang sepatu akan berbicara lain tentang orang Papua. Bagi orang Papua, sepatu adalah barang mewah. Hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki sepatu. Kalaupun mereka menggenakan sepatu, tampak lumpur dan sobek di mana-mana. Karena ada hal yang lebih penting dari sepatu yakni bagaimana mereka bisa makan. Kebanyakan mereka, kecil, tua dan muda ke mana-mana tanpa alas kaki. Mereka sepertinya sudah menyatu dengan kehidupan mereka. Meskipun terik matahari yang menyengat, dan lumpur di jalanan, mereka tetap berjalan tanpa alas kaki. Demikian halnya juga tatkala mereka datang ke gereja menghadiri perayaan ekaristi. Pada umumnya mereka tidak mengenakan sandal, apalagi sepatu.

Keindahan Jiwa

Masyarakat modern memandang sepatu sebagai suatu gaya hidup. Maka orang berlomba-lomba mencari merek sepatu yang terbaik, dan paling mahal. Sepatu memiliki fungsinya masing-masing, tergantung situasi dan tempat. Tatkala orang datang ke tempat umum, sepatunya merek luar negeri, dan ketika datang ke gereja, orang memakai sepatu merek dari negara lain. Orang mengetahui saat kapan harus menggunakan sepatu jenis ini dan sepatu jenis itu. Sedemikian pentingnya sepatu, sehingga berbagai merek sepatu terpajang di rak-rak lemari.

Kenyataan seperti itu tidak ditemukan pada orang Papua. Sepatu jarang ada di rumah mereka, apalagi sepatu yang bermerek. Seperti halnya, di rumahnya Simon yang sederhana. Simon berkisah untuk makan saja sulit, apalagi untuk membeli sepatu bermerek. Namun Simon tak pernah merasa minder karena tidak memiliki sepatu tatkala datang ke Gereja. Ia mempunyai keyakinan bahwa Tuhan tak pernah merasa kecewa dengan dirinya karena kakinya penuh lumpur. Yang Tuhan minta adalah kerendahan hati dari dirinya. “Aku tidak pernah memiliki keinginan yang banyak, harus memakai sepatu yang indah dan bermerek ke Gereja, karena bagiku hati yang selalu bersyukur, karena diberi kehidupan oleh Tuhan. Itu sudah cukup bagiku”.

Taoisme pernah berkata bahwa orang sukar menjadi bijaksana dan suci karena terlalu banyak mempunyai keinginan. Keinginan yang banyak membuat diri manusia terpenjara di dalam dirinya, karena ketika orang itu memenuhi satu keinginan, akan muncul keinginan lainnya, dan seterusnya. Keinginan yang banyak bagaikan sebuah mata rantai yang tak pernah berakhir. Sehingga hidup manusia kehilangan fokus dan arah hidupnya yang sebenarnya.

Simon adalah gambaran wajah orang-orang Papua yang sederhana, tidak mempunyai keinginan yang meluap-luap tetapi memiliki kebijaksanaan hidup. Hidup apa adanya dan mengalir begitu saja, seperti air sungai yang mengalir dari dataran tinggi menuju dataran yang rendah. Ia tetap bening dan cemerlang, karena ia mengalir dalam keheningan dan ketenangan. Kehidupan Yesus adalah cermin kehidupan yang sederhana. Yesus hanya memiliki satu keinginan yakni melakukan kehendak BapaNya di surga. Untuk itu, Yesus memilih cara hidup yang sederhana, lahir di kandang Betlehem yang hina, tidak di tempat yang mewah, bergaul dengan orang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Ia datang dalam kesederhanaan, tetapi dari sanalah mengalir kebijaksanaan karena hatiNya yang selalu terbuka kepada kehendak BapaNya.

Dipanggil untuk berkorban
Di kamar kita, mungkin ada bermacam-macam merek sepatu. Kita dapat sesuka hati kita mengenakannya. Bila menginginkan sepatu jenis tertentu, kita dapat pula dengan mudah membelinya. Berbagai tawaran merek sepatu yang terbaik dan termahal dengan gampang juga kita dapat menjangkaunya. Sepatu adalah simbol harga diri kita, karena dari sanapula kita memperoleh pengakuan sosial, dan penghormatan dari orang lain.
Mendengar kisah Simon, terkadang terbersit rasa malu, karena Simon tak pernah merasa takut melewati jalan yang berlumpur, meskipun ia tidak mengenakan sepatu. Sedangkan aku masih merasa takut kalau sepatu yang aku kenakan menjadi kotor kalau melayani orang-orang sederhana dan miskin. Maka aku memilih untuk menghindarinya. Aku memilih jalan yang menyenangkan diriku dan tidak mau peduli dengan orang lain. Simon juga tak pernah merasa malu dan takut ketika datang ke Gereja dengan tidak mengenakan sepatu. Sedangkan aku masih merasa takut, kalau tidak mendapat penghormatan dan penghargaan dari orang lain, saat aku tidak mengenakan sepatu. Itulah cermin wajah manusia jaman sekarang yang lebih melihat penampilan luar dari pada penampilan dari lubuk hati yang terdalam.

Kisah kehidupan Simon membawa permenungan tersendiri, bahwa rahasia cinta Allah tersembunyi dalam hidup orang miskin. Rahasia cinta Allah tersembunyi dalam lubuk hati yang terbuka dan rendah hati. Rahasia hati inilah yang dicari oleh banyak orang, tetapi tidak pernah menemukannya, karena lebih memilih untuk memuliakan tubuh dengan aksesoris luar, dari pada memuliakan jiwa yang terdalam di dalam lubuk hati kita. Tuhan Yesus mengatakan kepada para muridNya bahwa banyak orang mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat, mempunyai telinga tetapi tidak mendengar. Hanya kepada orang yang dianugerahi sajalah yang mampu melihat dan mendengarkan. Yesus ingin menunjukkan rahasia kebijaksanaan dapat diperoleh, hanya bila manusia selalu terbuka pada kehendak Allah dan rendah hati.

Simon tidak pernah memvonis orang lain yang mempunyai sepatu yang banyak, dan dapat membeli sepatu yang bermerek kalau hendak Gereja. Itu merupakan hak pribadi mereka masing-masing. Ia hanya bercerita tentang kehidupannya yang sederhana dan sepasang sepatu satu-satunya yang tidak dapat dia pakai lagi. Namun dari balik kisah Simon, terungkap sebuah jawaban tentang rahasia hidup damai, ketenangan batin yakni keterbukaan jiwa dan kerendahan hati dihadapan Allah. Yang Allah minta bukan penampilan luar dengan segala aksesoris, tetapi hati yang tulus yang dengan rendah hati datang bertelut di bawah kaki Tuhan, bukan untuk dilayani, melainkan berani melayani, bukan untuk mengharapkan penghormatan dan penghargaan dari orang lain, namun siap menjadi kotor dan berani melewati jalan berlumpur. Di situlah semangat berkorban kita diminta. Berkorban berarti memberi diri bagi orang lain, agar orang lain juga mencicipi kebahagiaan. Semangat inilah yang menjiwai Mother Theresa untuk berkorban memberikan dirinya bagi pelayaan orang miskin. Semangat berkorban ini pula yang membuat Mother Theresa meyakini bahwa hidup yang bahagia adalah hidup yang berani berbagi dan berkorban untuk orang lain. Siapa takut??

Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea

Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)

Tidak ada komentar:

Chat on MSN, YAHOO, AIM with eBuddy