To All of You,
Dengarkan Musik Ini
Super Mario Game
INFO SINGKAT
Send texts to over 200 countries with CardBoardFish
Beri Masukan Untuk Kami
|
Sabtu, Mei 10, 2008
LUAPAN KECERIAAN
Rumahnya berbentuk rumah panggung, dengan atap dari daun lontar dan dindingnya terbuat dari pohon sagu. Ruangan rumahnya sangat lebar, dibuat tidak dari papan, tetapi dari batang pohon sagu yang sudah dibelah dan disusun. Ruangan ini serba guna, selain untuk masak, untuk tidur, untuk bermain anak-anak dan sarana berkumpul keluarga. Di dekat pintu masuk, diletakan beberapa piring, senduk nasi, dan panci untuk memasak. Di beberapa sudut yang lainnya, tergantung beberapa potong pakaian yang tampaknya sudah sobek dan lusuh, dan beberapa tandan pisang mentah, dan jenis umbi-umbian. Kalau lelah setelah pulang dari kebun, mereka langsung merebahkan tubuhnya dan lelap dalam tidurnya. Mereka sepertinya sudah menyatu dengan kehidupan mereka. Demikianlah kesederhanaan keluarga Paul dan Ana dengan lima orang anaknya.
Mereka hidup dari hasil hutan dan hasil berburu. Setelah dua atau tiga hari, persediaan makanan mereka sudah habis, Paul dan Ana kembali ke kebun. Selama mereka belum mendapatkannya mereka tidak akan pulang ke rumah panggung mereka. Kesehariaan mereka adalah menikmati pisang, sagu, umbi-umbian dan kalau Paul mendapat rejeki dari hasil buruannya, maka mereka mendapat rejeki makan daging babi dan jenis binatang buruan lainnya. Anak-anaknya tidak pernah mengeluh tentang makanan. Sarapan pagi, siang dan malam adalah pisang bakar, dan sagu. Jarang sekali mereka makan nasi, karena harganya sangat mahal dan mereka harus datang membelinya di kota. Meskipun demikian keceriaan wajah mereka selalu nampak. Yang ada adalah kegembiraan menikmati hidangan dengan senyuman. Mereka menikmatinya itu sebagai anugerah.
Keluarga Paul adalah salah satu keluarga yang tinggal di desa yang bernama Noningire. Untuk sampai ke tempat mereka, dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 jam, atau naik perahu bermotor selama empat jam melewati sungai. Penduduk desa Noningire umumnya bermata pencaharian berkebun, dan berburu. Bentuk rumah mereka umumnya sama seperti halnya dimiliki oleh Paul dan Ana. Di desa ini ada beberapa umat yang beragama Kristen Katolik. Setiap dua bulan sekali pastor datang mengunjungi mereka. Kebanyakan dari anak-anak muda sudah tidak mau menempati desa ini lagi. Mereka mulai pindah ke daerah-daerah di dekat kota yang mudah diakses. Hanya beberapa penduduk yang tinggal di daerah ini termasuk keluarga Paul dan Ana.
Luapan Keceriaan
“Kami tidak punya apa-apa untuk diberikan”…demikian ungkapan Paul kepada kami. Ketika itu, Ana menyediakan bagi kami pisang bakar dan sagu. Namun luapan keceriaan dan keramahan selalu tampak dalam pemberiaan mereka. Dalam kesederhanaan, luapan keceriaan dan semangat hidup tetap terpancar dalam hidup mereka.
Kotbah Yesus di bukit, dengan gamblang mengungkapkan kebenaran kata-kata ini “berbahagialah orang miskin, karena kamulah empunya kerajaan Surga. Berbahagialah mereka, yang tidak memiliki apa-apa tetapi keceriaan dan kebahagiaan hidup selalu mereka nikmati. Kebenaran kata-kata itu terungkap jelas dalam keseharian hidup keluarga Paul dan Ana. Satu-satunya andalan hidup mereka adalah kemurahan dan kebaikan Allah. Mereka tidak pernah cemas dengan apa yang harus mereka makan, atau apa yang harus mereka pakai, karena keyakinan yang besar pada kasih dan kebaikan Tuhan, bahwa pasti Tuhan akan menyediakan bagi mereka. Allah adalah harta kekayaan mereka. Harta yang tidak ternilai harganya. Harta yang dilupakan oleh orang-orang dunia yang ambisi untuk mengejar kedudukan, kekayaan dunia, tetapi miskin akan kedamaian.
Kehidupan manusia kian hari, kian memuja pada materialisme. Orang gelisah karena hatinya terpaut dan terpusat pada harta duniawi. Hidupnya menjadi tidak tenang karena dihantui perasaan tidak aman. Berbeda dengan kehidupan Ana dan Paul yang adalah cerminan gaya hidup orang Papua, dalam kesederhanaan luapan keceriaan tetap terpancar dari hati mereka.
Berguru pada Orang Miskin
Yesus sendiri pernah berkata, “barang siapa melayani orang sekecil ini, dia melayani Aku. Yesus sendiri dalam seluruh hidupnya berpihak pada orang miskin”. Ia mengidentifikasikan diriNya dengan orang yang terppingirkan. Ia datang menjumpai mereka, menyapa mereka, memeluk mereka, bahkan makan bersama dengan mereka. Suatu gaya hidup baru yang diperkenalkan oleh Yesus pada ahli penafsir kitab Taurat. Yesus menunjukkan suatu jalan pikiran baru kepada mereka bahwa orang miskin memiliki harta yang tak ternilai yakni hidup yang berpegang pada kasih Tuhan. Mereka tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk dijadikan andalan hidup mereka, kekuatan hukum dan kekuasaan tidak mereka miliki, maka ketika mereka mengalami kesulitan, pegangan dan andalan hidup mereka adalah Tuhan. Sekaligus Yesus juga ingin menunjukan kepada kaum Yahudi bahwa orang miskin bukanlah kaum pendosa yang pantas dipinggirkan, karena mereka memiliki martabat yang sama sebagai citra Allah.
Kehadiran Yesus menunjukkan suatu radikalisme baru yakni kita perlu menatap mereka dengan penuh kasih. Karena di dalam hidup mereka mengalir kebijaksanaan Allah sendiri. Wajah Allah tersembunyi di balik wajah orang-orang Miskin. St Vinsensius memandang orang miskin sebagai Tuan dan Majikan. Vinsensius datang dan berguru pada kehidupan mereka. Ia menemukan wajah Kristus sendiri. Sehingga ia sangat getol melayani mereka. Ia menghayati kebenaran kata-kata Yesus sendiri bahwa melayani orang miskin adalah melayani Tuhan Yesus sendiri. Kehadiran Tuhan Yesus tidak hanya dijumpai di Synagoga ( Gereja ) tetapi Tuhan Yesus juga hadir secara nyata dalam diri orang miskin. “ Ketika Aku di penjara, kamu tidak melawat Aku, ketika Aku haus kamu tidak memberi Aku minum, dan ketika Aku tidak mempunyai pakaian kamu tidak memberi aku pakaian.
Pemberian diri
Merenungkan perjalanan hidup sebagai seorang Kristiani, terkadang terbersit rasa malu karena luapan keceriaan jarang aku alami. Aku memiliki segala-galanya dalam ukuran orang Papua. Rumah yang lumayan bagus, dengan perabot masak yang agak lengkap, kamar tidur dengan tempat tidur yang baik, dilengkapi dengan kamar mandi. Tak pernah aku kesulitan untuk makan, karena dengan kendaraan aku dapat menjangkaunya ke Kota. Meskipun demikian, terkadang aku terpenjara dalam impian aku sendiri dan lupa memberi diri untuk melayani Yesus yang hadir dalam diri orang miskin.
Hendri Nouwen menulis di dalam bukunya “ The Road of Peace” mengatakan bahwa spiritualitas melayani orang miskin adalah soal semangat pemberian diri kepada orang miskin, hadir bersama mereka dan berjumpa dengan orang miskin. Segala sarana yang kita miliki adalah fasilitas yang memudahkan kita untuk datang berjumpa dengan mereka. Dengan demikian, segala fasilitas yang kita miliki tidak membelokkan kita untuk menggapai dan menjumpai Yesus dalam diri orang miskin. Kita harus mengakui banyaknya fasilitas terkadang membuat hidup kita terpusat padanya, tidak merasa bebas, dan terpenjara pada harta duniawi.
Keluarga Paul dan Ana telah mengajarkan sebuah kebenaran kuno dari Yesus sendiri yang tetap aktul sampai saat ini. Kebenaran yang tidak pernah termakan jaman, kebenaran yang tidak pernah tergoyahkan oleh promosi modernisme. Saatnya kita berkiblat pada orang miskin, karena wajah Tuhan secara nyata hadir di dalam diri mereka. Jalan pemberian diri dalam bentuk apa saja adalah suatu jalan untuk mengapai dan mencicipi luapan keceriaan dari orang miskin.
Fr. Mans Werang, Cm
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea.(Ahmans2006@yahoo.com.au)
Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar