Oleh: Mans Werang, CM
Sudah lama ia berjalan tanpa alas kaki. Di tangannya hanya ada parang dan tas kecil yang disangkutkan pada kepalanya. Keringat mengucur deras di tubuhnya. Sesekali dia berusaha untuk menghindari jalan yang berlumpur dan memilih jalan yang agak kering. Pandangan matanya tetap mengarah pada jalan kecil itu. Tak terdengar suara manusia. Di kiri dan kanannya hanya hutan lebat. Bila ada suara yang asing di telinganya, dia berhenti sejenak, namun segera itu ia melangkah lagi, karena ia menyakini itu suara alam yang setia menyertainya. Tatkala rasa lelah dan haus menghingapi dirinya, ia berhenti sejenak di sungai dan menimba air untuk memuaskan rasa dahaganya. Setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya. Ia berjalan dalam keheningan dan kesendirian di tengah jalan kecil di hutan menuju ke kota.
Jalan kecil yang melalui hutan itu dilewatinya setiap bulan kalau ia datang ke kota. Dia tidak pernah mengetahui sudah berapa lama ia berjalan, karena dia tidak memiliki jam tangan. Namun ia mengetahui dengan pasti bahwa kalau dia berangkat pagi hari berarti dia akan tiba di kota, ketika anak-anak sekolah sudah mulai bergegas keluar dari gedung sekolah. Inilah potret wajah Jo, seorang Prayer leader dari desa Nonigire. Ia sangat sederhana, pakaian yang dikenakan masih sama saja, dengan bekas lumpur di mana-mana, namun senyumnya selalu menghiasi wajahnya. Tak tergambar rasa lelah, yang adalah kelegaaan yang terpancar.
Wajah Jo adalah wajah orang Papua. Wajah-wajah kesederhanaan yang menikmati perjalanan dalam kesunyiaan tanpa merasa kesepian. Orang-orang Papua adalah pribadi-pribadi penikmat kesendirian. Mereka tidak memiliki akses untuk menjangkau dari satu tempat ke tempat yang lain. Akses yang sangat terbatas tidak membuat mereka putus asa memilih jalan kecil di tengah hutan untuk tiba di kota. Meskipun beban bahan makanan kadang sangat berat, namun mereka terus berjalan dan mengayunkan langkah. Ketika langkah awal diayunkan, itulah kehidupan mereka mulai bergulir. Rasa lelah dengan berjalan kaki berjam-jam dipuaskan dengan sumber air di tengah hutan yang memberi kesegaran baru untuk melangkah lagi, hingga mereka sampai di tempat tujuan.
Religiositas hati orang Papua
Kedekatan dengan alam membuat orang-orang Papua merasa bahwa alam adalah sahabat mereka yang senantiasa menyertai mereka dalam kesendirian. Alam adalah penuntun hidup mereka. Alam selalu menyediakan hati untuk memuaskan rasa dahaga mereka. Tatkala lelah, capek dan lapar, alam menyediakan air dan makanan bagi hidup mereka. Dalam kesunyiaan, alam berbisik tentang kehadiran mereka dalam perjalanan. Perjalanan itu menjadi suatu sukacita di tengah kesendiriaan. Mereka menikmati kesendiriaan sebagai doa dan mendengarkan suara-suara alam yang menyapa mereka bahwa mereka dicintai, bahwa hidup mereka berharga. Sehingga perjalanan itu tidak lagi menjadi suatu beban tatkala mereka mulai melangkah.
Hati yang dekat dengan alam membuat mereka memahami kehidupan dengan lebih jernih. Alam memberi banyak kemungkinan tentang hidup manusia. Alam menyapa di hati mereka bahwa ada harapan untuk mengapai hidup yang tenang. ketika perjalanan itu dirayakan dengan sikap yang terbuka, kelegaan hati akan mereka raih. Perjalanan bagi mereka di tengah alam tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, meskipun dalam kesendirian, karena keyakinan akan alam yang selalu berbicara tanpa kata-kata.
Hidup mereka bagaikan sebuah perjalanan doa. Tak ada rasa takut, gelisah dan cemas meskipun harus melewati hutan belantara dan jalan sempit, karena kesadaran akan suara-suara Tuhan yang memanggil mereka dengan nama mereka bahwa mereka dicintai.
Hadir di Hadapan Allah
Theresa dari Avila mengatakan doa adalah hadir di hadapan Allah, menikmati dan merasakan kekuatan kasih yang mengalir dari Allah. Bagi Hendri Nouwen dalam bukunya “The Only Necessary Thing living a prayerful Life” mengatakan doa adalah masuk dalam persatuan dengan pribadi yang mencintai kita sebelum kita dapat mencintai. Inilah cinta pertama yang diungkapkan pada kita dalam doa. Sedemikian pentingnya doa, sehingga St Vinsensius pernah berkata “ Berilah aku hati seorang pendoa, maka aku akan dapat melakukan semuanya”. Benar! Doa adalah sumber hidup yang memberi kekuatan di saat kita lelah. Doa seperti air yang memberi kelegaan, kepuasaan dan kegembiraan pada kita.
Tuhan Yesus menunjukkan dengan jelas bagaimana kekuatan doa. Ketika dia dan para muridNya berjalan dari kota ke kota, dia selalu berusaha mengasingkan diri dalam kesendirian dan bertemu dengan BapaNya. Ketika rasa takut menghadapi kematian di depan matanya, Yesus bertemu dengan BapaNya seorang diri di taman Getsemani. Yesus berdoa. Yesus memulai seluruh karya dan perutusanNya dengan doa. Rasa takut dan kesendirian menjadi kekuatan, ketika Ia datang bertemu dengan BapaNya dan merasakan betapa BapaNya mencintai Dia. Yesus tidak pernah lari dari kesendirian dan kesepian karena keyakinan akan penyertaan BapaNya. Semuanya itu ditemukan dalam doa.
Kesunyiaan Hati
Hidup di Papua adalah hidup dalam dunia kesunyiaan. Hidup dengan tak ada tawaran dan promosi modernisme. Hidup yang mengalir begitu saja, tanpa ada hiruk pikuk yang menenggelamkan hati pada dunia. Yang ada adalah suara-suara alam yang memanggil dari hari ke hari. Suara alam yang menyanyikan senandung pujian, senandung doa dan senandung lagu cinta bahwa hidup manusia dicintai dan berharga di mata Allah.
Namun suara-suara yang menyapa setiap saat sepertinya berlalu begitu saja, tatkala hidup manusia kian hari kian tak ada ruang waktu yang disediakan untuk melangkah dan masuk dalam diri sendiri. Kian hari kian kita kian takut untuk hidup dalam kesunyian. Maka kita berusaha untuk melepaskan diri dari rasa takut dengan memuaskan diri pada atribut-atribut duniawi. Kita berusaha memenuhi berbagai tawaran duniawi, ketimbang berusaha memenuhi panggilan jiwa. Karena panggilan jiwa adalah berjalan dalam kesendirian, di tapak kecil dengan jarak waktu yang kian lama. Tatkala tak ada ruang untuk memenuhi panggilan jiwa, kesepian datang dalam berbagai wajah. Wajah yang paling menakutkan adalah wajah yang memperlihatkan wajah ketidakpuasaan dengan diri sendiri. Orang menjadi cepat marah, bahkan berbagai tindakan brutalisme, kejahatan, dan kriminalitas lahir dari ketiadaan ruang untuk memenuhi kesunyiaan hati. Kesunyiaan adalah momok yang menakutkan, karena di sanalah diri kita berhadapan dengan kesendirian. Maka doa dengan masuk dan bersatu dengan Allah menjadi suatu beban. Jika demikian doa tidak lagi dilihat sebagai sumber yang memberi kepuasaan, kedahagaan, dan kebahagian hidup seperti Orang Papua tatkala lelah, berhenti sejenak menikmati sumber air, melainkan doa dilihat sebagai saat membuang-buang waktu, karena melakukan hal yang tidak berguna.
Sebagai orang Kristiani kadang aku malu dan bertanya pada diri sendiri. Sudah kah aku jadikan doa sebagai sumber hidupku yang memberi kedahagaan? Alasan klasik sering aku lakukan adalah tidak ada waktu untuk berdoa karena sibuk dengan dunia idealismeku sendiri. Sibuk mencari popularitas dan merasa bahwa aku tidak membutukan doa lagi. Tatkala kesepian datang, aku berusaha untuk mencari atribut-atribut duniawi. Namun semakin aku mencari kelegaan tak pernah aku raih. Inilah cermin wajah-wajah kita yang memilih memuliahkan diri sendiri, dan lupa untuk mendengarkan suara pribadi yang memanggil “anakku Aku mencintai engkau”. Peristiwa pembabtisan Yesus di sungai Yordan dengan gamblang melukiskan suara yang terdengar dari langit “ Inilah Anakku yang terkasih, dengarkan Dia. Bapa menyapa Yesus dengan sapaan anakku yang terkasih. Jika Yesus disapa dengan anakku yang terkasih, berarti aku juga disapa demikian.
Menikmati Kesendirian
Kesepian adalah bagian dari hidup manusia. Siapapun pasti mengalami. Kesepian datang setiap saat. Di tengah keramaian, di tengah suara gegap gempita bahkan di tengah suasana pesta, kesepian itu datang. Kesepian adalah sebuah pengalaman eksistensial yang tidak mengenakan. Dan ketika ia datang tidak jarang kita berusaha untuk menghindarinya, tanpa berusaha untuk mengelola rasa kesepian itu menjadi suatu yang kreatif.
Tuhan Yesus pun mengalami kesepian dan kesendiraan ditinggalkan oleh BapaNya ketika Ia bergantung di kayu salib “ ya Allah, ya Allaku mengapa Engkau meningalkan Aku? Yesus merasa ditinggalkan oleh BapaNya, namun segera itu dia menyadari karya perutusanNya, dia berkata “ sudah selesai”. Yesus menyadari bahwa dalam kesepian itu BapaNya tetap menunjukkan kasih dan penyertaanNya. Allah tak pernah tidur. Dia selalu menyertai kita dalam setiap perjalanan hidup. Dia hadir menyapa setiap manusia melalui berbagai peristiwa, mungkin peristiwa yang tidak besar, tetapi dalam pengalaman keseharian yang sederhana. Di situ Allah juga berbicara. Yang terpenting adalah membuka hati dan mata untuk melihat Allah yang berbicara kepada kita dalam pengalaman itu.
Kita sering merasa sendirian, meskipun berbagai atribut duniawi kita miliki. Jo dan orang Papua adalah pribadi-pribadi yang tidak memiliki apa-apa. Mereka hanya memiliki sikap hati yang terbuka sehingga peka melihat bahwa di tengah kesendirian di jalan tapak kecil di antara hutan, mereka masih meyakini bahwa alam selalu melindungi dan menyertai mereka. Mereka menikmati perjalanan dalam kesendirian, namun tidak merasa kesepian. Itulah hidup yang harus kita kejar dan kita raih, bahwa dalam kesendirian Allah selalu dan masih mencintai kita. Nikmatilah kesendirian di hadirat Tuhan, karena kesendirian bukan berarti kesepian.
…..bersambung….
Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea. (ahmans2006@yahoo.com.au) atau (belina_cm@dg.com.pg)
Dikirim oleh: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)
To All of You,
Dengarkan Musik Ini
Super Mario Game
INFO SINGKAT
Send texts to over 200 countries with CardBoardFish
Beri Masukan Untuk Kami
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar