To All of You,

Dengarkan Musik Ini

Super Mario Game

INFO SINGKAT

Beri Masukan Untuk Kami

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Kamis, Maret 20, 2008

SEKAPUR PINANG DARI PASTOR MANS WERANG, CM


Menyampaikan kisah adalah cara paling sederhana untuk memahami hidup ini dengan lebih utuh, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk memberi pesan bagi kehidupan kita. Melalui berbagai peristiwa dalam pelayanan kami di Papua New Guinea, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, kami ingin menyampaikan kisah tentang pernik-pernik pengalaman berjumpa, mengalami dan melayani mereka. Melayani mereka adalah suatu rahmat tersendiri bagi kami, meskipun berbagai kesulitan dan tantangan sering kami alami; seperti kehidupan mereka yang unik, kultur dan bahasa yang berbeda, dan lingkungan tempat tinggal yang sangat menantang. Namun, ketika kami merenungkan kembali berbagai pengalaman tersebut ada makna yang mendalam, karena dibalik itu semua ada sajian santapan rohani yang dihidangkan oleh mereka untuk dinikmati.

Menceritakan kehidupan orang-orang Papua adalah menyampaikan kisah tentang kekayaan hati mereka. Kekayaan hati mereka ini akan kami rangkum dalam sajian kisah “I LIKE IT”. Hidangan yang disajikan ini bukan hidangan seperti hamburger, Pitza Hut, atau fried chicken , yang membuat kita setelah makan masih tetap lapar, dan ingin untuk makan lagi. Tetapi hidangan yang kami berikan ini bernuansa gaya Papua yang memberikan kepuasaan bagi jiwa yang sedang mencari. “I LIKE IT” ingin menyampaikan kisah bahwa kehidupan orang-orang Papua adalah kehidupan yang unik, dan khas. Panas! Sarana transportasi yang sangat terbatas! Akses tempat tinggal yang sangat jauh sehingga harus berjalan kaki berjam-jam! Makan makanan yang kadaluarsa! Hidangan yang disajikan hanya pisang, sagu dan jenis umbi-umbian! Dengan kata lain semua keunikan dan kekhasan itu harus membuat kami suka dan dengan senang hati melakukannya, karena tidak ada pilihan lagi selain menikmati.

Kisah-kisah yang ditampilkan bukanlah kisah-kisah tentang heroisme, tetapi kisah tentang kehidupan dan religiositas keseharian mereka. Kisah tentang bagaimana kehidupan mereka yang dekat dengan alam. Kisah tentang semangat keramahaan yang ditampilkan ketika menjamu para tamunya dengan tarian, daging tikus, sagu, pisang dan umbi-umbian. Kisah tentang sulitnya sarana transportasi, dan kisah tentang kehidupan iman mereka. Namun, kisah-kisah ini memiliki gaung yang mendalam karena merefleksikan tentang makna hidup manusia. Makna hidup itu ditemukan dalam tugas-tugas keseharian, dalam rutinitas dan dalam kesederhanaan mereka.
Mother Theresa pernah berkata “...Ordinary things with extraordinary love, simple things with great love. It is not success that counts, but our faith... I remember one of you who once come to me and said mother Theresa, my vocation is to serve the lepers. No...I answered him your vocation is to belong Jesus” (Magazine, 30days in the church and In the World, 2008).
Seperti itulah semangat yang coba kami hayati dalam pelayanan dan kisah-kisah kami. Keyakinan bahwa dalam kesederhanaan dan rutinitas kita memiliki peluang untuk menjadi besar dengan jalan melayani orang lain dengan cinta yang lebih besar, dan melaksanakan rutinitas dengan kesetiaan. Disinilah letak kebesaran jiwa kita. Disini pula hati kita menjadi seperti orang Samaria yang berani membungkuk ke bawah, membantu, menolong, merawat dan menyembuhkan luka-luka mereka, bukan untuk mendapat penghargaan, atau bukan ingin menjadi orang terkenal, namun semata-mata cinta kepada Allah dan sesama.

Kisah-kisah yang kami tuturkan ini dapat kami rangkum menjadi sebuah buku, karena rahmat dan cinta Tuhan. Kebaikan itu dapat kami rasakan dalam perjumpaan dan pengalaman hidup dengan orang-orang Papua. Mereka mengajarkan nilai dan kebajikan hidup. Benar! Apa yang dikatakan oleh St. Vinsensius bahwa orang miskin adalah guru dan majikan kita. Kami sungguh-sungguh mengalami dan merasakan orang-orang miskin telah banyak mengajarkan kami tentang nilai-nilai injil. Wajah mereka yang sederhana, adalah tampilan wajah Kristus sendiri yang mengundang kita untuk tetap setia seperti orang samaria yang berani menunduk dan melayani mereka dengan kebesaran jiwa. Kami juga mengalami kebaikan melalui Ibu Melly Wijaya yang dengan giat membantu kami untuk mempublikasikan kisah-kisah kami; juga romo Sad Budianto, CM, yang selalu dengan senang hati menanti kiriman kisah-kisah dari kami, dan menuliskan kata pengantar untuk buku kami, dan juga para romo CM yang selalu setia membaca kisah-kisah kami di mailing Lazaris group dan memberi apresiasi yang mendalam untuk terus melanjutkan kisah dan merefleksikan hidup ini. Tanpa mereka semua karya sederhana kami ini tidak pernah menjadi sebuah buku untuk disajikan sebagai menu untuk hidangan bagi jiwa yang sedang mencari.

Sekapur pinang! Demikian judul pengantar dari kami. Sekapur pinang adalah symbol kesederhanaan orang Papua. Mereka menikmatinya dengan kegembiraan di mana saja mereka ingin menikmati, mereka akan melakukannya. Tidak peduli apa kata orang lain tentang sirih pinang! Mereka juga tidak terlalu peduli dengan stigmatisasi orang lain terhadap hidup mereka, sebagai orang miskin, sebagai orang yang tidak tahu menjaga kebersihan, sebagai orang yang tidak tahu merawat diri, sebagai orang yang kurang berpendidikan, atau sebagai orang yang masih terbelakang. Karena itulah ungkapan kesederhanaan mereka yang membuat hidup mereka tetap hidup. Dalam konteks demikian “sekapur pinang” kami tulis sebagai kata pengantar; hanya untuk mengatakan kami menuturkan kisah dengan kegembiraan, karena kami menemukan makna yang mendalam dibalik semua peristiwa. Selamat menikmati hidangan kami dengan kegembiraan pula.

Papua New Guinea
Mans Werang,CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea. (ahmans2006@yahoo.com.au) atau (belina_cm@dg.com.pg)


Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)

Tidak ada komentar:

Chat on MSN, YAHOO, AIM with eBuddy