To All of You,

Dengarkan Musik Ini

Super Mario Game

INFO SINGKAT

Beri Masukan Untuk Kami

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Minggu, Maret 23, 2008

BERANI MEMBUNGKUK KE BAWAH

Oleh: Pastor Mans Werang, CM

Matahari baru saja muncul dari bukit. Sebuah mobil truck Toyota berhenti di depan pastoran. Lebih dari 10 orang turun dari mobil dan bergegas masuk ke ruang pertemuan. Beberapa saat kemudian sebuah mobil truck Mazda juga berhenti di tempat yang sama. Lima belas orang turun dari mobil itu. Ada yang langsung masuk ke ruang pertemuan, ada yang masih ngobrol dengan teman-temannya dan ada lagi yang memandang ke sekelilingnya. Wajah-wajah mereka kelihatan sepertinya baru bangun tidur. Namun keceriaan dan kegembiraan hari itu tidak memperlihatkan mereka baru saja bangun dari tidur. Pakaian yang mereka kenakan sepertinya sudah lama tidak pernah diganti, tampak dari warna yang mulai luntur, ada garis-garis, bekas lumpur, debu pada pakaian tersebut, dan aroma khas yang menebar. Ada yang memakai sepatu yang penuh dengan lumpur, dan sebagian besar tidak memakai alas kaki. Mereka sepertinya sudah menyatu dengan kehidupan mereka. Beberapa dari mereka membawa tas selain berisikan buku-buku tetapi juga sirih pinang. Meskipun hari masih pagi, sirih pinang seperti pengganti “breakfast” bagi mereka. Mereka sunguh-sungguh menikmati. Keceriaan dan kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Bila sirih pinang sudah agak lama dinikmati, mereka tidak segan-segan mengeluarkannya dari mulut mereka. Tampak di sana sini warna merah. Sambil tersenyum mereka menunjukkan sirih pinang yang sudah berubah warna tersebut. Bagi mereka mode pakaian, apalagi keindahan tubuh belum mendapat ruang untuk diapresiasi. Karena ada hal lain lagi yang lebih penting dari pada sekedar keindahan yakni bagaimana agar mereka bisa memenuhi kebutuhan makanan. Inilah kesederhanaan orang-orang Papua.

Orang-orang Papua berasal dari suku bangsa Melanesia, yang berarti “Black”. Suku bangsa Melanesia ini mempunyai berbagai macam ragam bahasa. Bahasa umumnya yang sering digunakan adalah Bahasa Inggris, Pidgin, dan Motu, dengan 700 bahasa lokal atau dialek yang beraneka ragam. Bahasa Inggris adalah bahasa resmi yang sering digunakan di kalangan pemerintahan, lembaga pendidikan, radio, bisnis dan surat kabar. Sedangkan Pidgin, dan Motu di daerah-daerah, desa, dan pegunungan. Lingkungan geografis di daerah ini sangat menantang. Mereka tinggal di daerah-daerah yang sangat sulit untuk diakses. Untuk datang ke kota Kiunga, atau Tapobil, terkadang mereka harus berjalan kaki berhari-hari. Terik matahari yang menyengat, tanpa alas kaki, dan jalan yang berlumpur tidak mengurangi semangat mereka untuk berjalan. Dalam kesederhanaan mereka menikmati. Senyum dan gaya mereka yang khas kadang mengundang decak kagum, bahwa mereka menyimpan mutiara yang sangat berharga yakni hati mereka yang selalu terbuka untuk disapa, diperhatikan dan dicintai.

Phobia Pada “Sangguma”
Masyarakat Papua adalah masyarakat yang sederhana. Cara berpikir mereka erat kaitannya dengan alam gaib. Maka misteri kematian selalu dihubungan dengan adanya kekuatan jahat yang mengakhiri hidup seseorang. Kekuatan jahat itu adalah orang-orang yang ada di dalam masyarakat, tetangga bahkan keluarga mereka. Umumnya mereka menyebutnya dengan “sangguma”. Sangguma diyakini sebagai pribadi yang dapat membunuh seseorang dengan cara gaib. Meskipun kematian seseorang itu karena alasan penyakit, atau apapun juga yang menyebabkan seseorang meninggal. Itu semua karena “sangguma”.

Ketika seseorang meninggal dunia, jenasahnya tidak langsung dikuburkan. Biasanya salah seseorang dari anggota keluarga yang meninggal akan mengumumkan ke seluruh kampung tersebut, bahwa “sangguma” lah penyebab meninggalnya salah satu anggota keluarga mereka. Maka yang merasa dirinya “sangguma” harus mengaku dirinya dan membayar kompensasi berupa uang. Selama belum ada yang mengaku dirinya sangguma, jenasah orang yang meninggal tidak akan dikuburkan, dan dibiarkan begitu saja. Kadangkala sampai berminggu-minggu, dan menimbulkan bau di seluruh kampung. Karena didorong rasa takut, maka seseorang yang divonis sebagai “sangguma” harus membayar kompensasi (ganti rugi) atas kematian anggota keluarga mereka. Dalam proses kompensasi, ada tawar menawar harga. Inilah “custem” orang-orang Papua yang sederhana memandang misteri kematian. Gaya berpikir yang demikian membuat orang-orang Papua hidup dalam dunia phobia, karena ada ketakutan divonis sebagai “sangguma”.

Budaya “Bikman”
Kebiasaan-kebiasaan dari nenek moyang dan leluhur mereka dilanjutkan oleh keturunan mereka. Kebiasaan-kebiasan seperti ini membelenggu mereka untuk dapat bertumbuh dan berkembang. Selain fobia pada sangguma, kebiasaan-kebiasaan lain yang sangat kental adalah relasi antara wanita dan laki-laki. Bagi masyarakat Papua, wanita adalah penopang kehidupan keluarga. Pemenuhan hidup berkeluarga ada di pundaknya perempuan. Sedangkan pihak laki-laki tidak bekerja. Laki-laki memiliki semacam “passio” untuk menjadi “bikman” (big man). Dalam kultur Papua, status ini menjadi kecenderungan untuk mendapat pengakuan dari masyarakat luas, atau dalam lingkup yang kecil, klan dan suku-sukunya.
Konsep “Bikman”, sebenarnya memiliki makna positif dalam arti pribadi yang memilki dedikasi tinggi terhadap Negara, memiliki integritas terhadap bangsa, dan masyarakat, memiliki visi, dan kehendak untuk menceburkan diri dalam persoalan-persoalan untuk mewujudkan “bonum communae”. Namun, konsep demikian bergeser, ketika keinginan dari masyarakat Papua memandang status dalam hidup bersama sebagai “big man” adalah status yang tinggi. Kedudukan sebagai “bikman” adalah orang yang hidupnya mapan, patut dilayani, yang suka menghibur diri dengan minuman. Kultur yang demikian membuat pihak yang lemah (perempuan, rakyat miskin) menjadi pengabdi pada “bikman”. Alih-alih, pihak yang lemah selalu ditekan, hidup dalam kemiskinan, namun tidak menyadari dirinya sebagai orang yang ditekan. Argumentasinya adalah bahwa kultur (custem) dalam masyarakat sudah demikian.
Lemahnya pendidikan dan kurangnya wawasan yang luas menjadi kontribusi sulitnya membongkar kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat, seperti fobia pada sangguma dan pereduksiaan konsep martabat kaum wanita. Kebanyakan masyarakat Papua yang ada di Western Province adalah masyarakat yang sangat sederhana. Pendidikan mereka sampai “grade 12, setingkat SMP kelas 3. Hanya ada sebagian orang yang mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.

Dominasi Perusahan-Perusahan Asing
Hadirnya beberapa perusahan Asing di Western Propinsi bukan memberi kontribusi untuk perbaikan kesejahteraan orang-orang miskin di Papua, melainkan semakin membuat mereka berada dalam kondisi semakin terjepit. Perusahan-perusahan kebanyakan adalah milik orang-orang kulit Putih. Mereka memiliki kebijakan tersendiri dengan prioritas utama adalah diarahkan pada kantong pribadi atau “wantolk” (one talk) mereka, sehingga kesejahteraan rakyat bukan prioritas mereka. Konsep “wantolk” adalah konsep tentang jalinan kedekatan diantara pribadi atau kelompok tertentu, karena adanya ikatan suku/klan atau dari ras yang sama. Pertama-tama konsep ini dikenal dalam masyarakat Papua, tetapi akhirnya juga meluas bagi orang kulit putih yakni orang Australia, dan orang Philipina, (orang asing). Konsep wantolk ini sangat kental di Negara Papua New Guinea.
Beberapa perusahan asing di Western Province seperti “OkTedi”, dengan perusahan emasnya. Setiap tahun menguras sumber daya alam orang-orang Papua, namun rakyat tak pernah menikmati kekayaan alam mereka. Semuanya dinikmati oleh “wantolk”nya, sedangkan rakyat menangung bencana akibat perusakan lingkungan hidup, polusi dan berbagai penyakit akibat pembuangan limbah beracun melalui sungai. Kekayaan alam dan hutan diambil beberapa perusahan asing. Mereka hidup dalam kelimpahan harta, sedangkan rakyat tetap hidup dalam kemiskinan. Untuk membeli beras pun, kadangkala mereka tidak mampu. Nasi adalah harta yang paling mewah bagi mereka. Kebanyakan mereka hidup dari hasil berkebun mereka seperti umbi-umbian dan sagu, dan berburu”. Mereka sangat rentan menderita penyakit. Mereka tinggal di rumah-rumah yang sangat sederhana. Nilai keindahan dan kebersihan rumah mereka belum menjadi perhatian mereka, karena untuk kebutuhan akan makanan saja mereka belum dapat memenuhinya.

Membungkuk ke bawah seperti Orang Samaria
Paus Benediktus XVI menyebut para misionaris adalah pribadi yang siap untuk membungkuk ke bawah seperti yang dilakukan oleh orang Samaria. Tatkala, melihat orang yang sedang berada dalam penderitaan, ia tidak berpikir tentang filsafat atau teologi, atau bagaimana konsep membantu dan melayani orang lain, seperti yang dilakukan oleh orang Lewi dan seorang Imam yang hanya melihat dari jauh, dan lewat begitu saja, melainkan ia membungkuk ke bawah, membantu dia, membersihkan luka-lukanya, menaikan dia ke tumpangannya dan membawa dia untuk merawat dia sampai sembuh.
Misionaris adalah orang asing yang datang dengan berbagai latar belakang pemikiran, budaya, adat istiadat dan bahasa. Seringkali terjadi benturan antar budaya asing yang dibawa oleh para misionaris dengan pemikiran filsafat dan teologi baratnya dengan budaya lokal yakni budaya Papua. Pada titik ini pula iman juga menjadi tantangan tersendiri. Ajaran tentang Yesus sebagai pokok iman, dan satu-satunya Juru Selamat terkadang sulit dipahami, tatkala orang Papua memandang Yesus sebagai orang kulit putih. Orang kulit putih identik dengan orang kaya, hidup mapan, dan menjadi bikman. Sehingga iman menjadi kurang menyentuh kehidupan orang-orang Papua. Pada titik tertentu membuat para misionaris menjadi frustrasi, putus asa, kehilangan kesabaran, dan lunturnya semangat untuk berkarya dan melayani orang-orang Papua.
Untuk masuk dalam budaya Papua, dan mengenal kehidupan mereka jalannya adalah mengembangkan sebuah spiritualitas “menunduk ke bawah” seperti yang dilakukan oleh orang Samaria. Orang yang berani membungkuk ke bawah, tidak memikirkan siapa dirinya, musuh atau tidak; yang terpenting adalah berani untuk berkorban, rendah hati dan siap untuk menyeburkan diri dalam persoalan, dan segala macam pergulatan hidup, ketakutan, rasa sakit yang sedang dihadapi oleh mereka. Tanpa itu kehadiran Misionaris sepertinya tidak mampu memberi “rasa” bagi kehidupan mereka, karena terus menerus kiblat pada berbagai pemikiran filsafat dan teologi barat. Apalagi bagi orang Papua, seorang misionaris adalah orang yang kaya, “bikman”, kaya dengan segala fasilitas finansial, dan bukan suku bangsa Melanisia.

Berani untuk diinjili
St Vinsensius pernah berkata, orang miskin adalah tuan dan majikan kita. Perjumpaan dengan orang miskin membuat mata batin kita terbuka melihat nilai-nilai Injil yang terkandung dalam kehidupan mereka. Maka dalam artian tertentu, misionaris juga harus berani menunduk untuk memberi hormat pada orang miskin sebagai tuan dan majikan. Rm Edi Prasestyo, pernah berkata padaku “di tanah paradise ini kita belajar keutamaan kesabaran, kecepatan kita tidak sama dengan kecepatan mereka. Mereka hidup dengan budaya dan kebiasaan mereka”. Maka yang terutama adalah belajar kesabaran. Nilai kesabaran untuk menunduk, kesabaran untuk merawat, kesabaran untuk membersihkan luka-luka mereka adalah hal yang utama. Di kota-kota besar, Indonesia misalnya, umat sering mengeluh bahwa umatnya menunggu pastornya karena sering terlambat, tetapi di Papua, justru sebaliknya Pastornya harus menunggu umatnya. Maka ketika kita menginjakkan kaki di Papua ini, lakukanlah hal-hal yang sederhana seperti halnya orang Samaria, tetapi luar biasa. Itulah yang dapat menyembuhkan kehidupan mereka. Sentuhlah mereka dengan tangan dan hati. Beranilah untuk tunduk ke bawah, karena dari sanalah nilai-nilai injil itu akan diajarkan oleh mereka.

Pastoran yang sederhana, tak ada dering telepon, jauh dari keramaian kota, di sebuah desa kecil, dikelilingi hutan, nyala listrik yang hanya dua jam pada malam hari, tidak mengurangi semangat umat untuk datang ke pastoran. Mereka datang dengan berbagai persoalan dan intensi. Mereka datang untuk minta bantuan. Apapun persoalan, mereka selalu datang bertanya, meminta pendapat dan tak segan-segan minta uang untuk keperluaan hidup mereka. Pakaian yang dikenakan sangat sederhana, masih yang sama, kadangkala tinggal dibalik saja, dengan sobekan di mana-mana. Aroma mereka masih khas, wajah mereka seperti baru bangun tidur, di mulut mereka masih ada sirih pinang, namun mereka tetap datang mengetuk pintu pastoran. Mereka tidak pernah minta pakaian, mereka tidak pernah minta fasilitas yang mahal, apalagi untuk keperluan keindahan tubuh, namun mereka hanya minta hati seorang Samaria yang berani untuk menunduk, berani melihat dan menyapa mereka. Karena dibalik kesederhaan mereka itu ada paradise yang tersembunyi, yang terlupakan yakni kehadiran Yesus sendiri di dalam diri mereka. Vinsensius pernah berkata “ dalam diri orang miskin kita bertemu dengan Yesus”, Tinggalkan Tuhan untuk bertemu dengan Tuhan yang sedang datang bertamu denganmu”.

Dalam suara-suara alam Papua, bergema suara-suara kebijaksanaan tentang kebenaran kata-kata Yesus sendiri “Barangsiapa melayani orang sekecil itu, ia melayani Aku. Malam sudah tiba dan membawa suara-suara kebijakan menyapa di relung hati yang terdalam untuk tetap setia seperti orang Samaria yang berani untuk menunduk.

…..bersambung…..


Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea. (ahmans2006@yahoo.com.au) atau (belina_cm@dg.com.pg)

Tidak ada komentar:

Chat on MSN, YAHOO, AIM with eBuddy