To All of You,

Dengarkan Musik Ini

Super Mario Game

INFO SINGKAT

Beri Masukan Untuk Kami

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Kamis, Februari 07, 2008

Imlek dan Keselamatan Manusia (Kompas - Rabu 6 Februari 2008)


oleh P. Agung Wijayanto, SJ

Sejak dinyatakan sebagai hari libur nasional, Imlek di
Indonesia kian menjadi peristiwa yang dekat dengan kehidupan
bangsa. Imlek tidak hanya dirayakan China saja, tetapi di
banyak tempat dirayakan siapa saja, baik aktif maupun pasif.
Ada yang sudah puas merayakan Imlek dengan menonton barongsai.
Ada yang ikut berpakaian ala China. Ada yang ikut bermain
barongsai, dan sebagainya. Dapat dipahami bila mereka memiliki
alasan-alasan tertentu yang mendorong mereka ikut perayaan
tersebut kendati tidak mereka ungkapkan secara eksplisit.
Dengan memerhatikan fenomena yang terjadi di masyarakat hingga
kini, pantaslah direnungkan nilai-nilai di sekitar perayaan
Imlek yang berhasil mengundang atau mempersatukan masyarakat
Indonesia dalam perayaan itu. Maka, amat menarik memerhatikan
beberapa hal yang terkait dengan gagasan mengenai keselamatan
atau kesejahteraan manusia yang terkandung, menjadi motivasi,
atau yang dirayakan dalam perayaan Imlek.
Keselamatan manusia dalam Imlek

Mengingat Imlek bukan perayaan keagamaan atau dari suatu
kelompok tertentu, tetapi lebih merupakan perayaan kerakyatan
bersama (perayaan kaum petani), maka gagasan keselamatan atau
kesejahteraan manusia tidak dapat diambil dari atau ditolak
begitu berdasar tradisi ”kitab suci” kelompok tertentu. Maka,
nilai religiusitas yang ada harus dipahami berdasar konteks
kesadaran bersama dari masyarakat yang merayakannya.
Ada beberapa pemahaman keselamatan atau kesejahteraan manusia
yang dihayati dalam perayaan Imlek.
Pertama, keselamatan diakui bukan sebagai peristiwa tunggal
atau hasil usaha perseorangan. Bagi masyarakat China,
keselamatan atau kesejahteraan tidak ditemukan sebagai
peristiwa mandiri, terpisah dari unsur kehidupan lain.
Keselamatan atau kesejahteraan merupakan buah
kesalingtergantungan secara harmonis dari semua hal yang ada
”di bawah langit dan di atas bumi” (Tian Xia, Di Shang).
Bagi masyarakat China, keharmonisan hidup menyangkut relasi
manusia dengan alam, masyarakat, dan makhluk ”ilahi”.
Keselamatan atau kesejahteraan hidup manusia, terutama
kehidupan petani, amat dipengaruhi oleh apa yang terjadi di
alam, di bawah langit: cuaca, curah hujan, dan sebagainya.
Begitu juga apa yang terjadi di atas bumi amat menentukan
kehidupan mereka: banjir, kekeringan, wabah penyakit, hama, dan
sebagainya.
Perjalanan panjang sejarah telah mengantar bangsa China kepada
pengakuan bahwa keselamatan atau kesejahteraan bergantung pada
keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Dalam perayaan Imlek,
pembaruan dan peneguhan tali keharmonisan persaudaraan
dilakukan melalui acara kunjungan ke tetangga, kenalan, dan
sanak saudara. Pada saat kunjungan itu, kepada mereka yang
lebih yunior dibagikan macam-macam makanan dan uang yang
dibungkus dalam amplop merah atau yang biasa disebut sebagai
hong/ang bao.
Lebih dari itu, masyarakat China juga mengakui, kehidupan
manusia bergantung pula pada relasi mereka dengan yang ”ilahi”,
para dewata, dan leluhur. Untuk itu, pada awal perayaan Imlek,
mereka mengadakan upacara atau kegiatan yang bertujuan membarui
dan menjaga keharmonisan hubungan-hubungan itu. Misalnya,
patung atau gambar Dewa Dapur dibersihkan, bila perlu diganti
dengan yang baru. Sajian berupa makanan yang bercita rasa manis
dipersembahkan. Makam para leluhur dibersihkan, dan sebagainya.
Kedua, keselamatan atau kesejahteraan merupakan anugerah yang
pantas disyukuri. Menjelang malam Imlek, orang China pergi ke
klenteng atau tempat ibadah yang lain untuk berdoa mengucap
syukur atas keselamatan dan kesejahteraan yang telah mereka
terima selama tahun yang segera berlalu. Rasa syukur ini
diungkapkan lagi dalam upacara makan bersama keluarga. Selama
perayaan Imlek, mereka diharapkan berbicara mengenai hal-hal
yang baik dan indah. Kata-kata yang tidak pantas harus dijauhi.
Kepada anak-anak dikisahkan perjuangan dan usaha mengusir atau
mengalahkan kekuatan jahat yang dibawa oleh tahun yang lama.
Kekuatan kejahatan ini sering dipersonifikasikan sebagai
monster. Ungkapan usaha pengusiran makhluk itu diwujudkan dalam
bentuk penyalaan kembang api atau mercon.
Ketiga, keselamatan atau kesejahteraan sebagai sesuatu yang
layak untuk diminta dan diusahakan. Kendati keselamatan pada
satu sisi dipahami sebagai anugerah, tidak berarti keselamatan
itu harus diterima secara pasif atau sebagai suatu peristiwa
kebetulan. Keselamatan atau kesejahteraan manusia sudah
selayaknya diminta dan diusahakan supaya terjadi. Pemasangan
hio, pemberian persembahan, dan pemanjatan doa bagi orang China
juga merupakan saat untuk memohon dengan serius keselamatan
atau kesejahteraan bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Keseriusan itu dilambangkan atau terungkap dalam jenis makanan
dan minuman yang disajikan, gambar atau tulisan yang terpasang
sebagai hiasan, kata-kata atau tindakan yang dilakukan selama
perayaan Imlek. Dengan makan ikan (yu) selama perayaan Imlek,
orang China berharap akan memperoleh kelimpahan (yu) berkat
selama tahun yang baru. Pada pintu gerbang terpasang puisi (dui
lian) harapan akan keselamatan baru. Masih banyak ungkapan lain
yang menunjukkan harapan akan keselamatan itu.
Kemanusiaan yang terbuka-inklusif

Dengan memerhatikan nilai-nilai keselamatan atau kesejahteraan
manusia yang dirayakan dalam Imlek, kiranya mudah dipahami bila
ada banyak warga Indonesia dengan bebas ikut merayakan Imlek.
Gagasan keselamatan atau kesejahteraan manusia dalam Imlek
tidak jauh dari apa yang secara umum dipegang warga masyarakat
Indonesia, baik yang berasal maupun yang bukan berasal dari
suku atau kebudayaan China. Para warga mudah bertemu dan
ber-sharing dalam nilai-nilai keselamatan atau kesejahteraan.
Di tengah munculnya banyak upaya memecah-belah bangsa Indonesia
dengan aneka cara masa kini, keputusan warga untuk merayakan
suatu perayaan nasional secara bersama semacam ini kiranya
pantas untuk disikapi secara positif, bukan dicurigai. Sebagai
bangsa yang besar dan plural, Indonesia membutuhkan lebih
banyak perayaan kemanusiaan yang bersifat terbuka-inklusif, di
mana setiap dan semua anggota masyarakat dapat menemukan dan
berbagi nilai-nilai kehidupan yang mereka hayati secara bebas
dan bermanfaat bagi pengembangan dan pelaksanaan bersama nilai
kemanusiaan.
Kecenderungan untuk membuat suatu perayaan nasional menjadi
kian eksklusif dan terbatas bagi kelompok atau golongan
tertentu hanya menghantar kepada pemiskinan arti dan kedalaman
makna perayaan, dan hal ini tidak akan banyak membawa sumbangan
bagi perkembangan nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Selamat merayakan Tahun Baru Imlek. Xin Nian Kuai Le!

P. Agung Wijayanto, SJ
Pengajar Agama dan Kebudayaan Timur Program
S-2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta

 

Sumber:  Milis Komunitas Katolik Indonesia

Tidak ada komentar:

Chat on MSN, YAHOO, AIM with eBuddy