To All of You,
Dengarkan Musik Ini
Super Mario Game
INFO SINGKAT
Beri Masukan Untuk Kami
|
Sabtu, Februari 20, 2010
ST. ANDREW
Feastday: November 30
Patron of Fisherman
St. Andrew
Andrew, like his brother Simon Peter, was a fisherman. He became a disciple of the great St. John the Baptist, but when John pointed to Jesus and said, "Behold the Lamb of God!" Andrew understood that Jesus was greater. At once he left John to follow the Divine Master. Jesus knew that Andrew was walking behind him, and turning back, he asked, "what do you seek?" When Andrew answered that he would like to know where Jesus lived, Our Lord replied, "Come and see." Andrew had been only a little time with Jesus when he realized that this was truly the Messiah.
From then on, he chose to follow Jesus. Andrew was thus the first disciple of Christ. Next, Andrew brought his brother Simon (St. Peter) to Jesus and Jesus received him, too, as His disciple. At first the two brothers continued to carry on their fishing trade and family affairs, but later, the Lord called them to stay with Him all the time. He promised to make them fishers of men, and this time, they left their nets for good. It is believed that after Our Lord ascended into Heaven, St. Andrew went to Greece to preach the gospel. He is said to have been put to death on a cross, to which he was tied, not nailed. He lived two days in that state of suffering, still preaching to the people who gathered around their beloved Apostle. Two countries have chosen St. Andrew as their patron - Russia and Scotland.
Jumat, Mei 08, 2009
Pesan Paus Benediktus XVI untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-43, 24 Mei 2009
Teknologi Baru, Relasi Baru: Saudara dan Saudari Terkasih, 1. Mendahului Hari Komunikasi Sedunia yang akan datang, Saya ingin menyampaikan kepada anda beberapa permenungan mengenai tema yang dipilih untuk tahun ini yakni Teknologi Baru, Relasi Baru: Memajukan Budaya Menghormati, Dialog dan Persahabatan. Sesungguhnya teknologi digital baru sedang membawa pergeseran yang hakiki terhadap perilaku-perilaku komunikasi juga terhadap ragam hubungan manusia. Pergeseran itu secara istimewa dialami oleh kaum muda yang bertumbuh bersama teknologi baru dan telah merasakan dunia digital sebagai rumah sendiri. Mereka berusaha memahami dan memanfaatkan peluang yang diberikan olehnya, sesuatu yang bagi kita orang dewasa seringkali dirasakan cukup asing. Dalam pesan tahun ini, Saya ingat akan mereka yang dikenal sebagai generasi digital, dan Saya ingin berbagi dengan mereka, khususnya tentang gagasan-gagasan menyangkut potensi ulung teknologi baru demi memajukan pemahaman dan rasa kesetiakawanan manusia. Teknologi baru sesungguhnya merupakan anugerah bagi umat manusia dan kita mesti memberikan jaminan bahwa manfaat yang dimilikinya tentu dipergunakan untuk melayani semua manusia secara pribadi dan komunitas, teristimewa mereka yang kurang beruntung dan menderita. (Manfaat Media Baru) 2. Akses terhadap telpon seluler dan komputer yang kian mudah disertai dengan jangkauan dan penyebaran internet secara meluas sampai ke wilayah jauh dan terpencil telah menjadikan internet sebagai prasarana jalan bagi penyampaian berbagai jenis pesan. Sungguh sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh generasi-generasi sebelumnya. Daya dasyat media baru ini telah digenggam oleh orang-orang muda dalam mengembangkan jalinan, komunikasi dan pengertian di antara individu maupun secara bersama. Mereka telah beralih ke media baru sebagai sarana berkomunikasi dengan teman-teman, berjumpa dengan teman-teman baru, membangun paguyuban dan jejaring, mencari informasi dan berita, serta sarana berbagi gagasan dan pendapat. Budaya baru ini membawa banyak manfaat bagi komunikasi, antara lain keluarga-keluarga tetap bisa berkomunikasi meski terpisah oleh jarak yang jauh, para pelajar dan peneliti memperoleh peluang lebih cepat dan mudah kepada dokumen, sumber-sumber rujukan dan penemuan-penemuan ilmiah sehingga mereka mampu bekerja secara bersama meski dari tempat yang berbeda. Lebih dari itu, kodrat interaktif yang dihadirkan oleh berbagai media baru mempermudah pembelajaran dan komunikasi dalam bentuk yang lebih dinamis dan pada akhirnya memberikan sumbangsih bagi perkembangan sosial. (Jangan hanya terpukau dengan kecanggihan teknis media baru. Media baru sebagai jawaban mendasar kerinduan umat manusia untuk berkomunikasi) 3. Kita tidak perlu terlalu terpukau dengan kehebatan media baru dalam menjawab kerinduan manusia dalam berkomunikasi dan berelasi dengan sesama, karena sesungguhnya, hasrat berkomunikasi dan bersahabat ini berakar dari kodrat kita yang paling dalam sebagai manusia dan tak boleh dimengerti sebagai jawaban terhadap berbagai inovasi teknis. Dalam terang amanat Kitab Suci, hasrat untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain, pertama-tama harus dimengerti sebagai ungkapan peran-serta kita akan kasih Allah yang komunikatif dan mempersatukan, yang ingin menjadikan seluruh umat manusia sebagai suatu keluarga. Tatkala kita ingin mendekati orang lain, tatkala kita ingin mengetahui lebih banyak tentang mereka dan membuat kita dikenal oleh mereka maka saat itulah kita sedang menjawab panggilan Allah, yakni panggilan yang terpatri dalam kodrat kita sebagai mahkluk yang diciptakan seturut gambar dan rupa Allah, Allah komunikasi dan persekutuan. ( Hasrat mendasar manusia adalah berkomunikasi) 4. Hasrat saling berhubungan dan naluri komunikasi yang melekat dalam kebudayaan masa kini sungguh dipahami sebagai ungkapan kecenderungan mendasar dan berkelanjutan manusia modern untuk menjangkau keluar serta mengupayakan persekutuan dengan orang lain. Tatkala kita membuka diri terhadap orang lain, kita sedang memenuhi hasrat kita yang terdalam dan menjadi lebih sungguh manusia. Pada dasarnya, mengasihi adalah hal yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dalam hal ini, Saya tidak berbicara tentang hubungan sekilas dan dangkal, tetapi tentang kasih yang sesungguhnya, yang menjadi inti ajaran moral Yesus: "Kasihilah TuhanAllahmu dengan sepenuh hati, dengan seluruh jiwa raga, dengan seluruh akal budimu dan dengan seluruh kekuatanmu" dan " kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" (bdk. Mrk 12:30-31). Dalam terang pemahaman ini, merenungi makna teknologi baru sungguh penting, agar kita tidak sekadar menaruh pehatian pada kemampuannya yang tak dapat diragukan itu, tetapi terutama pada kwalitas isi yang disebarkan melalui media tersebut. Saya ingin mendorong semua orang yang berkehendak baik yang sedang bergiat di lingkungan komunikasi digital masa kini untuk sungguh membaktikan diri dalam memajukan budaya menghomati, dialog dan persahabatan. Oleh karena itu, mereka yang bergiat dalam pembuatan dan penyebaran isi media baru harus benar-benar menghormati martabat dan nilai pribadi manusia. Apabila teknologi baru dipergunakan untuk melayani kebaikan pribadi dan masyarakat, semua penggunanya akan mengelakkan tukar menukar kata dan gambar yang merendahkan umat manusia, keintiman hubungan seksual, atau yang mengeksploitasi orang lemah dan menderita. ( Media baru sebagai gelanggang berdialog) 5. Teknologi baru juga membuka jalan untuk dialog di antara orang-orang dari berbagai negara, budaya dan agama. Gelanggang digital baru yang disebut jagat maya, memungkinkan mereka untuk bertemu dan saling mengenal kebiasaan dan nilai-nilai mereka masing-masing. Perjumpaan-perjumpa an yang demikian, jika ingin berhasil guna, menuntut bentuk pengungkapan bersama yang jujur dan tepat disertai sikap mendengar dengan penuh perhatian dan penghargaan. Bila dialog bertujuan untuk memajukan pertumbuhan pengertian dan sikap setia kawan, ia harus berakar pada ikhtiar mencari kebenaran sejati dan bersama. Hidup bukanlah sekadar rangkaian peristiwa dan pengalaman. Hidup adalah sebuah pencarian kebenaran, kebaikan dan keindahan. Untuk maksud inilah maka kita membuat pilihan; untuk maksud inilah maka kita meragakan kebebasan kita, dengan maksud inilah-yakni dalam kebenaran, dalam kebaikan dan dalam keindahan-kita menemukan kebahagiaan dan sukacita. Kita tidak boleh membiarkan diri diperdaya oleh orang-orang yang memandang kita semata-mata sebagai konsumen sebuah pasar, yang dijejali dengan aneka ragam kemungkinan, yang mengubah pilihan menjadi barang, kebaruan mengganti keindahan dan pengalaman sukyektif menggantikan kebenaran. (Persahabatan 'on-line' dan persahabatan riil) 6. Gagasan tentang persahabatan telah mendapat pemahaman baru oleh munculnya kosa kata jaringan sosial digital dalam beberapa tahun belakangan ini. Gagasan ini merupakan suatu pencapaian yang paling luhur dalam budaya manusia. Dalam dan melalui persahabatan, kita bertumbuh dan berkembang sebagai manusia. Karena itu, persahabatan yang benar harus selalu dilihat sebagai kekayaan paling besar yang dapat dialami oleh pribadi manusia. Dengan ini, kita mestinya hati-hati memandang remeh gagasan atau pengalaman persahabatan. Sungguh menyedihkan apabila hasrat untuk mempertahankan dan mengembangkan persahabatan 'on-line' mengorbankan kesempatan untuk keluarga, tetangga serta mereka yang kita jumpai dalam keseharian di tempat kerja, di tempat pendidikan dan tempat rekreasi. Apabila hasrat akan jalinan maya berubah menjadi obsesi, maka hasrat itu akan memarjinalkan pribadi dari interaksi sosial sehari-hari sekaligus menghambat pola istirahat, keheningan dan permenungan yang berguna bagi perkembangan kesehatan manusia. 7. Persahabatan adalah kekayaan terbesar manusia, tetapi nilai ulungnya bisa hilang apabila persahabatan itu dipahami sebagai tujuan itu sendiri. Sahabat harus saling mendukung dan saling memberi dorongan dalam mengembangkan bakat dan pembawaan mereka serta memanfaatkannya demi pelayanan umat manusia. Dalam konteks ini, sungguh membanggakan bila jejaring digital baru beriktiar memajukan kesetiakawanan umat manusia, damai dan keadilan, hak asasi manusia dan penghargaan terhadap hidup manusia serta kebaikan ciptaan. Jejaring ini dapat mempermudah bentuk-bentuk kerjasama antar manusia dari konteks geografis dan budaya yang berbeda serta membuat mereka mampu memperdalam rasa sepenanggungan demi kebaikan untuk semua. Karena itu, secara tegas kita harus menjamin bahwa dunia digital, dimana jejaring serupa itu dapat dibangun, adalah dunia yang sungguh terbuka untuk semua orang. Sungguh menjadi tragedi masa depan umat manusia apabila sarana baru komunikasi yang memungkinkan orang berbagi pengetahuan dan informasi dengan cara yang lebih cepat dan berdayaguna, tidak terakses oleh mereka yang terpinggirkan secara ekonomi dan sosial, atau apabila ia hanya membantu memperbesar kesenjangan yang memisahkan orang miskin dari jejaringan baru itu yang justru dikembangkan bagi pelayanan sosialisasi manusia dan penyebaran informasi. (Pesan khusus untuk kaum muda: menginjil di dunia digital) 8. Saya bermaksud menyimpulkan pesan ini dengan menyampaikan secara khusus kepada orang muda katolik untuk mendorong mereka memberikan kesaksian iman dalam dunia digital. Saudara dan Saudari terkasih, Saya meminta kepada anda sekalian untuk memperkenalkan nilai-nilai yang melandasi hidup anda ke dalam lingkungan budaya baru yakni budaya teknologi komunikasi dan informasi. Pada awal kehidupan gereja, para rasul bersama murid-muridnya mewartakan kabar gembira tentang Yesus kepada dunia orang Yunani dan Romawi. Sudah sejak masa itu, keberhasilan karya evangelisasi menuntut perhatian yang seksama dalam memahami kebudayaan dan kebiasaan bangsa-bangsa kafir sehingga kebenaran Injil dapat menjamah hati dan pikiran mereka. Demikian juga pada masa kini, karya pewartaan Kristus dalam dunia teknologi baru menuntut suatu pengetahuan yang mendalam tentang dunia jika teknologi itu dipergunakan untuk melayani perutusan kita secara berdayaguna. 9. Kepada anda kalian, orang-orang muda, yang memiliki hubungan spontan terhadap sarana baru komunikasi, supaya bertanggungjawab terhadap evangelisasi 'benua digital' ini. Pastikan untuk mewartakan Injil ke dalam dunia jaman sekarang dengan penuh semangat. Kamu mengetahui kecemasan dan harapan mereka, cita-cita dan kekecewaan mereka. Hadiah terbesar yang dapat kalian berikan kepada mereka adalah berbagi dengan mereka "kabar gembira" Allah yang telah menjadi manusia, yang menderita, wafat dan bangkit kembali untuk menyelamatkan semua orang. Hati umat manusia sedang haus akan sebuah dunia dimana kasih meraja, dimana anugerah dibagikan dan dimana jati diri ditemukan dalam bentuk persekutuan yang saling menghargai. Iman kita mampu menjawab harapan-harapan itu. Semoga kamu menjadi bentaraNya! Ketahuilah, Bapa Suci memberkati anda dengan doa dan berkatnya Vatikan, 24 Januari 2009, pesta Santo Fransiskus de Sales Paus Benediktus XVI |
Dikirim Oleh: Titi (Paroki MBK-Jakarta)
Selasa, April 28, 2009
DI BERANDA NUGINI
Oleh: Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Pagi ini mereka ingin membakar mobil di kampung ini. Kata seorang ibu kepadaku, saat aku bertemu dia di beranda pastoran. Orang-orang di kampung ini tidak menerima kematian saudara mereka. Keluarga dan kenalannya mulai datang dari berbagai kampung ke kampung ini dengan pertanyaan, mengapa dia mati muda? Semalam sekelompok orang merencanakan untuk membakar rumah dan membawa orang-orang yang dituduh penyebab kematian orang muda itu ke pengadilan desa. Bukankah orang muda yang meninggal itu, karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras? Kata saya kepada ibu itu. Menurut adat kami kematian bukanlah hal yang alamiah, apalagi dia masih muda, pasti ada orang yang membenci dia dan membunuh dia secara gaib. Demikian jawaban dari ibu itu kepadaku.
Saya tidak ingin melanjutkan lagi pertanyaan kepada ibu dan segera itu dia meninggalkan pastoran. Saya memilih duduk diam saja di beranda pastoran sambil merenungkan apa yang akan terjadi di pagi hari ini. Bermacam-macam perasaan takut dan cemas muncul di dalam benakku. Apa yang akan terjadi seandainya mereka sungguh-sungguh membakar mobil? Mungkinkah akan ada perang? Atau mereka akan membakar rumah-rumah penduduk disini juga? Tampak dari jauh sesepuh di desa kami, Noel namanya datang menemuiku di pastoran. Raut wajahnya tampak sangat lelah. Ia hanya diam saja dan memilih duduk di beranda bersama saya. Beberapa menit kemudian ia berkata kepadaku, bahwa persoalan di kampung ini semakin sulit. Kemungkinan akan terjadi kekacauan yang luar biasa di kampung ini. Tadi malam semua suku-suku berkumpul di rumah duka untuk membicarakan persoalan mengapa dia meninggal? Bahkan beberapa kelompok merencanakan untuk membakar mobil, dan ingin melakukan balas dendam sebagai tanda ketidakpuasaan mereka atas kematian saudara mereka ini. Untuk itu, sebaiknya father tetap berada di pastoran saja, dan menunggu sampai saya datang dan memberikan informasi lebih lanjut kepada father.
Dentang ketakutan
Ketika dia pamit meninggalkanku, saya masuk ke kamar dan memilih berdiam diri. Tatkala saya berada di dalam kamar, saya mendengar ledakan yang sangat besar, tampak asap tebal mengepul di jalan raya. Rasa takut dan cemas menghantuiku. Dari balik jendala pastoran, saya melihat massa di jalan raya yang begitu banyak. Mungkinkah akan terjadi perang? Tanyaku dalam hati. Beberapa orang lari menuju jalan raya. Sr. Denis Haman, DW (Daughter of wisdom) datang menemuiku di pastoran. Ia berkata kepadaku mengapa orang-orang Matkomnai melakukan tindakan kekerasan seperti ini? Apakah tidak ada cara lain lagi yang lebih manusiawi? Saya sendiri tidak tau apa yang dapat saya katakan kepadanya. Saya hanya menyarankan dia untuk tetap berada di susteran saja.
Beberapa saat kemudian seorang pemimpin umat berlari dengan ketakutan tanpa mengenakan pakaian. Saya mencoba pergi menemui dia, namun dia tidak memberikan informasi yang banyak kepadaku. Beberapa orang yang menemuiku bercerita bahwa keluarga dari orang muda yang meninggal itu hampir saja membakar dia hidup-hidup dengan menuangkan bensin ke tubuhnya. Ketika mereka hendak membakar dia, korek apinya jatuh ke tanah, dan segera saja pemimpin umat itu berlari ke rumahnya untuk menyelamatkan diri. Mereka berkata kepadaku, dia adalah salah satu yang dituduh oleh pihak keluarga sebagai pembunuh secara gaib. Tatkala kutanya dimanakah polisi? Mereka mengatakan kepadaku, ini bukan bisnisnya polisi, tetapi ini bisnisnya orang-orang kampung. Saya tidak mau melanjutkan lagi pertanyaan dan memilih kembali lagi ke beranda pastoran. Ketika senja mulai kembali ke peraduaan, kuajak beberapa umat datang ke gereja untuk menghadiri perayaan ekaristi, meskipun tidak begitu banyak jumlahnya. Selesai misa, sesepuh dari desa lain datang menemuiku dengan permintaan untuk berdoa di rumah duka. Saya agak ragu menerima permintaannya, karena hari sebelumnya saat saya datang ke rumah duka, mereka menolak saya berdoa untuk orang muda yang meninggal ini. Namun, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke rumah duka. Saya datang dengan beberapa anak muda dan Sr. Denis Haman, DW. Kondisi dan keadaannya sudah mulai meredah, namun mereka mengatakan bahwa besok saat penguburan pasti terjadi kekacauan lagi di kampung ini.
Keesokan harinya saat saya datang untuk penutupan peti, tampak kerumunan orang-orang di rumah duka. Beberapa dari mereka merusakan apa saja yang ada di sekitar mereka, bahkan tiang rumah pun dipotong. Tidak ada orang yang berani menghentikan mereka karena ini ungkapan kesedihan dan kemarahan mereka. Upacara penutupan peti tidak berjalan dengan lancar, karena pihak-pihak keluarga menuntut agar kompensasi berupa uang atas meninggalnya saudara mereka harus diletakan di atas peti sebelum dibawah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Maka kami harus menunggu lagi. Saya mencoba menunggu dengan sabar. Noel, datang mendekatiku dan mengatakan untuk tetap bersabar. Meskipun dia seorang pemimpin umat dan sesepuh di desa itu, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan apapun menghadapi suku dari keluarga yang berduka ini. Setelah melalui perdebatan dan negoisasi, akhirnya saya diperkenankan mendoakan dan memberkati jenasah, dan akhirnya dibawah ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Selama satu bulan semua kegiatan di gereja tidak berjalan dengan lancar. Kegiatan pasar di tepi jalan juga sangat sepih, karena tidak ada yang berani menjual dagangannya di pasar. Sementara jumlah orang yang datang ke gereja juga mulai menurun. Masing-masing pihak saling mencurigai dan menuduh satu dengan yang lainnya. Pihak keluarga yang berduka datang ke pastoran berbicara dengan saya tentang kematian saudara mereka dengan versi yang berbeda-beda. Sementara itu orang-orang yang dituduh membunuh orang muda itu secara gaib juga datang berkisah kepada saya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, karena masing-masing dengan versi kisahnya. Saya mencoba mendengarkan kisah mereka, dan menawarkan untuk mengadakan rekonsialiasi. Namun gagasan rekonsialiasi ternyata sangat berbeda dengan apa yang mereka pikirkan. Rekonsiliasi bagi mereka adalah, pihak yang dituduh harus membawa uang, makanan, binatang kepada keluarga yang berduka tersebut. Mereka akan duduk bersama, makan bersama dan meminta maaf sesuai dengan adat kebiasaan mereka. Sementara gagasan rekonsialiasi yang saya pikirkan sangat berbeda dengan mereka, sehingga rekonsiliasi yang saya tawarkan tidak pernah terwujud.
Merenung di beranda
Hidup dan berkarya di Papua New Guinea kadang sangat keras, bagaikan hidup di tengah padang gurun. Ada begitu banyak kesulitan dan tantangan yang akan kita hadapi dan alami. Kata seorang relawan dari Australia kepada saya. Karena yang dihadapi adalah karakter orang-orang Papua yang unik, keras, dan akses tempat tinggal yang sangat jauh, serta sulitnya sarana transportasi. Kita sangat sulit mengerti jalan pikiran dan hidup mereka. Romo Hubert, seorang imam diosesan bercerita kepadaku bahwa dia pernah diusir oleh orang-orang Papua sendiri, ketika dia berusaha membangun jalan raya bagi penduduk. Melihat akses tempat tinggal mereka yang sangat sulit, dia berusaha sekuat tenaga untuk membuka jalan di tengah hutan menuju kampung mereka, namun dia dibenci oleh orang-orang Papua. Ia sendiri berkata kepadaku bahwa dia pun sulit mengerti dengan orang-orangnya sendiri. Sedangkan Romo Salvius, seorang imam diosesan lainnya berkata kepadaku, jalan satu-satunya untuk hidup dan berkarya di Papua adalah menghadapi semua tantangan dan kesulitan dengan kebesaran jiwa. Ia berkisah tentang pengalamannya kepadaku bahwa setiap daerah di Papua memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Untuk datang ke keuskupan saja dia harus menempuh perjalanan melewati sungai selama tiga hari. Beberapa kali, dia terpaksa harus tidur dan menginap di hutan, karena kehabisan minyak, atau mesin motor tidak berfungsi dengan baik. Ia hanya makan pisang dan makan apa saja yang dia temukan di hutan, bahkan seringkali dia tidak makan apapun juga. Pengalaman ini bukan hanya terjadi sekali, tetapi seperti menu bagi kehidupan dan karyanya setiap saat. Romo Jack Gros, CM, juga berkisah kepadaku bahwa selama delapan hari dia berjalan kaki mencari umatnya yang sedang berada dalam ketakutan, tetapi dia tidak menemukan mereka. Setelah delapan hari tidur dan tinggal di hutan dengan makan apa saja yang ditemukan di hutan, dia berhasil menjumpai satu keluarga. Saya juga ingat Romo Edi CM yang menerima seorang bapak dengan kebesaran jiwa, meskipun bapak itu meluapkan kemarahan yang meluap-luap tanpa alasan yang jelas. Saya juga ingat kisah dari Romo Aloi, SMM, yang berkarya di daerah Nomed yang sangat terpencil. Ketika dia pergi mengunjungi umatnya, tidak jarang dia tidur di tengah hutan, karena jarak yang sangat jauh. Lelah, capeh, dan lapar adalah santapan dan menu hidupnya. Ia berkisah kepadaku, hampir setiap hari umatnya meninggal dunia, karena tidak tersedianya rumah sakit. Saya juga ingat kisah Romo Mas John, SMM, setiap kali datang ke keuskupan dia harus berjalan kaki selama tiga hari. Ia berkisah kepadaku, jalan kaki selama tiga hari untuk datang ke kota, atau untuk kembali ke parokinya adalah santapan dan menu hidupnya. Bila hari sudah mulai malam, dia tidur di tengah hutan. Saya juga ingat kisah tentang jatuhnya pesawat yang menyebabkan seorang romo, smm yang adalah pilot, dan seorang suster DW meninggal dunia.
Makna Salib
Saya masih duduk di beranda, tatkala kisah-kisah tentang kehidupan orang-orang Papua dengan segala kesulitan dan tantangan hadir dalam ingatanku. Kesulitan dan tantangan ini masih akan selalu dihadapi, karena ini adalah menu dan santapan keseharian bagi orang yang bekerja di Papua. Mengingat kisah tragedy di Matkomnai setahun yang lalu, dan kisah-kisah dari Romo-romo yang berkarya di Papua, terlintas di benak saya mungkinkah ada solusinya? Namun saya tidak pernah menemukan jawaban yang tuntas. Tatkala saya memalingkan wajahku, kulihat salib besar yang dipasang di luar gereja. Salib itu setiap hari berdiri di sana, tetapi saya tidak melihat dengan mata iman. Kini, saat duduk sendirian di beranda, salib itu sepertinya berbicara kepadaku tentang pemberian diri Tuhan Yesus kepada kita. Salib adalah tanda pengorbanan Yesus dan cinta yang tuntas kepada kita. Salib juga adalah jalan untuk menemukan makna, dan arti hidup manusia. Semakin lama saya melihat dan membayangkan salib Kristus, semakin saya mulai menemukan jawaban atas hidup dan pelayanan kita sebagai seorang kristiani. Cardinal Basil Hume dalam bukunya ("The mystery of the cross", Dalton Longman + Todd, 2000), menulis ("...there, and there alone, is the solution, because behind the crucifix you see, with the eyes of faith, the outline of the risen Christ. That is the point and that is why a crucifix is such a lovely thing"). Saya yakin jawaban yang ditemukan oleh Kardinal Basil bukanlah tanpa alasan yang kuat, karena segala persoalan, kesulitan, beban hidup yang berat, dan padang gurun hidup yang kita hadapi dan alami akhirnya kita temukan keindahannya pada salib Kristus. Melalui salib, Kristus ingin menunjukkan cintaNya untuk kita. Dia tidak mempunyai dosa, tetapi dia melakukan semuanya itu sehingga setiap orang dapat mengalami keselamatan. "Tidak ada cinta yang lebih besar, dari pada cinta seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya".
Kadang saya merasa hidup dan berkarya di Papua sangat berat, karena kita sepertinya berada dalam situasi padang gurun, dan kesendirian. Apalagi merasa tidak berdaya menghadapi orang Papua, karena karakter mereka yang unik dan akses tempat tinggal mereka yang sangat jauh. Namun, dari berbagai pengalaman itu, saya semakin mengerti kata-kata Tuhan Yesus, barang siapa ingin menjadi pengikutiku, harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikuti Aku. Tuhan Yesus sendiri menunjukkan jalan, memikul salib, dan mati di kayu salib. Namun kematiannya di kayu salib berakhir dengan kemenangan yakni kebangkitan. Saat itulah hidup kita dijiwai dengan semangat pengharapan, kegembiraan dan damai, karena setelah melewati padang gurun, pasti ada sumber air yang memancarkan kegembiraan, setelah masa kegelapan dalam hidup, pasti ada terang, setelah penderitaan ada kegembiraan, dan setelah kematiaan ada kebangkitan. Selamat menjalani masa prapaskah 2009.
Kamis, Februari 19, 2009
SEMINAR " Buat Apa Jadi Katolik"
KEP MBK bekerjasama dengan Penerbit Dioma akan mengadakan Seminar setengah hari dengan tema “Buat Apa jadi Katolik?”. Seminar Rome Sweet Home, The Lamb s Supper dan Reason to Believe. Pembicara Rm. Prof. Dr. Mardiatmaja, S.J. dan moderator Rm. L. Heru Susanto, Pr.
Diadakan pada hari Sabtu, 21 Februari 2009,
Pkl. 09:00-12:00 di Auditorium Gereja MBK.
Tiket seharga Rp.30.000,- dapat diperoleh di stand di depan gereja setelah misa atau dapat menghubungi Sutji (0816.935172), Galan (0812.9988799), Wihendro (0812.8287098) atau Ferry (0816.4822620).
Dikirim oleh: Titi (Paroki MBK - Jakarta)
Rabu, Januari 28, 2009
AKU INGIN PULANG
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea
Diletakkan begitu saja bajunya di atas tumpukan kayu bakar. Segera ia mengambil beberapa pisang mentah dan dibakar di dalam tungku api yang sedang menyalah. Sambil menunggu pisang yang sedang dibakar, dia mengambil sebatang rokok dari saku celananya. Ia mengisap rokok itu dalam-dalam dan segera itu menghebuskan asap rokok itu keluar dari mulut dan hidungnya. Sepertinya memberikan kelegaan tersendiri bagi dirinya. Pandangan matanya terarah pada pisang mentah yang sedang dibakar, sesekali dibalikannya pisang itu dan dikeluarkannya dari tungku api setelah dilihat pisang itu sudah dapat dimakan. Ia bergegas ke sudut rumahnya mengambil sebuah piring yang sudah agak kumal, diletakkan pisang di atasnya dan dihidangkannya kepada saya. Raut wajahnya kelihatan sangat lelah dan capeh, tampak dari lingkaran hitam pada kedua bola matanya. Namun ia tetap memberi senyum kepadaku. Itulah bapak Andreas, wajah seorang pengungsi dari Papua Barat.
Sudah sepuluh tahun kami tinggal di Papua New Guinea, tetapi kehidupan kami tidak pernah berubah, malah mengenaskan. Sejak kami datang ke tempat ini, lahan tanah tidak pernah kami miliki, selain pekarangan di sekitar rumah yang tidak dapat ditanam karena kondisi tanahnya. Kata bapak Andreas kepadaku. Sebenarnya kami diberi tanah tetapi masih dalam kepemilikan tuan tanah. Kami tidak dapat menanam apapun juga. Kalaupun kami menanam sesuatu pasti akan diambil semuanya oleh tuan tanah.
Kepastian Hidup
Saat kami keluar dari Papua barat menuju Papua New Guinea sebenarnya kami tidak mengetahui dengan pasti persoalan politik apa yang sedang terjadi. Kami hanya mendengar bahwa kami akan merdeka, tetapi merdeka dari apa? Kamipun tidak pernah mengetahui dengan pasti. Tetapi satu hal ini yang tidak pernah kami lupakan adalah perlakukan yang sangat tidak manusiawi dari pihak-pihak penguasa. Kami ditekan, dipaksa, bahkan kami hidup dalam ketakutan di kampung kami sendiri. Kami merasa takut di tanah yang merupakan warisan dari leluhur kami. Dalam suasana kepanikan, dan ketakutan, kami meninggalkan tanah dan semua warisan dari nenek moyang kami. Kini tanah itu sudah bukan milik kami lagi. Ketika kami tiba di PNG, kami mendapat janji dari pemerintah bahwa mereka akan memberikan tempat yang layak bagi kami, dan memperhatikan hak-hak kami. Namun kenyataan itu tidak pernah kami alami, justru pengalaman-pengalaman pahit yang kami alami. Semua tanah di daerah tempat kami tinggal sekarang ini adalah milik tuan tanah. Sewaktu-waktu tanah ini dapat diambil oleh tuan tanah, dan pemerintah PNG sepertinya tidak memiliki kewibahan untuk menghadapi tuan tanah. Kami tidak dapat menggunakan tanah itu untuk berkebun. Bahkan bukan hanya keluarga kami saja, tetapi semua pengungsi yang mendiami tanah disini adalah milik tuan tanah yakni penduduk asli. Jika kami diberi tanah, luasnya tanah itu hanya sepetak saja. Bila kami membuat bisnis kecil-kecilan untuk perbaikan ekonomi rumah tangga, kami akan diprotes oleh mereka. Katanya lebih lanjut kepadaku. Saya hanya mendengarkan kisahnya dan memilih diam saja, saat dia menceritakan kehidupannya. Mungkin ini yang dapat saya lakukan, menyediakan hati untuk mendengarkan kisah kehidupannya.
Hidup sebagai pengungsi bukanlah sesuatu yang gampang, seperti halnya yang dialami oleh keluarga Bapak Andreas. Mereka hidup dalam ketidakpastian. Meskipun mereka tinggal di Papua New Guinea sekian tahun, tetapi mereka masih dianggap sebagai orang asing, dan imbas dari itu kadangkala hak asasi mereka tidak pernah dihargai. Mereka dilihat sebagai orang yang membawa masalah, bukan sebagai pribadi. Mendiang Paus Yohanes Paulus II, saat merayakan hari buruh migran dan para pengungsi, 2005 di dalam pesannya, beliau mengatakan bahwa pentingnya integrasi diantara orang-orang untuk memperkokoh identitas para pengungsi dan buruh migran dan pengakuan hak asasi mereka melalui diolog, keramahtamahan, serta mengembangkan semangat solidaritas sehingga mereka dapat bertumbuh kembang. Seruan mendiang Paus Yohanes Paulus II ini masih memiliki gemah yang mendalam sampai saat ini ketika melihat ribuan bahkan jutaan pengungsi yang hak-hak asasi mereka tidak dihargai sebagai manusia. Kisah dari Ruwanda, Tutsi, Ethiophia, Gasa, Iran, Sidoarjo adalah contoh lain dari wajah-wajah para pengungsi yang hak asasi mereka tidak pernah dihargai. Mereka seperti orang asing yang tidak menemukan kepastian pengalaman hidup mereka di masa mendatang. Hari esok seperti hari-hari yang penuh kegelapan, karena mereka melangkah dalam ketidakpastian. Mereka mendengar dan menerima janji, tetapi janji seperti pemanis bagi kehidupan mereka. Kisah pengungsi di Sidoarjo adalah contohnya, betapa hari-hari hidup mereka diwarnai dengan ketidakpastian, karena janji untuk perbaikan kesejahteraan tidak pernah terpenuhi, bahkan hidup mereka kian hari semakin tidak menentu. Untuk tidak mengatakan hak-hak asasi mereka semakin tidak diapresiasi sebagai manusia. Mereka dipaksa untuk meninggalkan tanah warisan mereka dengan janji ganti rugi, namun pada akhirnya ganti rugi sangat merugikan para pengungsi.
Menjadi rasul cinta
Paus Benediktus XV1, di dalam pesannya saat merayakan hari para migran dan para pengungsi sedunia yang ke-95, memilih tema "St.Paul migrant, Apostle of the peoples, 18 January 2008. Rasul Paulus lahir di dalam sebuah keluarga imigran Yahudi di Tarsus, Cicilia, ia didik di Ibrani, dalam budaya dan bahasa Yunani. Sesudah pengalaman berjumpaannya dengan Yesus di jalan Damaskus, dia mengabdikan dirinya tanpa ragu-ragu pada misinya yang baru dengan keberanian dan entusiasme, serta patuh pada perintah Tuhan. Hidupnya berubah secara radikal. Jesus menjadikan hidupnya "raisaon d'etre and motivosi yang menginspirasikan karya kerasulannya untuk pewartaan Injil. Ia berubah dari penganiyaya orang kristiani menjadi rasul Tuhan Yesus. Paulus didalam karya perutusannya melihat Injil sebagai kekuatan Allah bagi keselamatan setiap orang yang memiliki iman baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Ia menyebut dirinya sebagai "Missionary to migrants", ketika karya pewartaannya ditolak oleh orang Yahudi. Hidup dan pewartaannya membuat Yesus dikenal dan dicintai oleh banyak orang. Inilah semangat missioner dari Santo Paulus.
Paus Benediktus XVI di dalam suratnya menyebutkan bahwa semangat missioner adalah semangat dari setiap orang yang dibaptis. Semangat missioner ditunjukan melalui keberpihakkan dan perhatiannya pada kaum imigran, pengungsi, orang-orang yang tidak memiliki rumah, termasuk korban dari bentuk penindasan modern. Paus Benediktus menegaskan bahwa berhadapan dengan perubahan budaya, sosial dan tantangan-tantangan lainnya, semangat Santo Paulus harus menjadi jiwa dari setiap orang kristiani yakni mengembangkan semangat solidaritas dengan saudara-saudari yang menderita, dan ikut menciptakan lingkungan yang damai diantara budaya, agama dan manusia.
Kerinduan yang besar
Sebulan kemudian saat saya datang ke kota, saya bertemu dengan bapak Andreas. Ia mengatakan kepadaku bahwa dia ingin pulang ke tanah asalnya, karena tanah warisan dari nenek moyangnya adalah tanah yang menjanjikan dan memberikan kebahagian daripada di tempat ini. Ia memiliki bakat, keterampilan, tetapi ia ingin membangun dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik di daerahnya, bukan di negeri orang. Tidak ada kebahagian yang lebih besar, selain pergi dan membangun kehidupan yang lebih baik di tanah sendiri, daripada di tanah milik orang lain. Di negara PNG kami tidak pernah diakui hak-hak kami; kami hanya dilihat sebagai masalah bukan sebagai pribadi. Maka jalan yang paling baik adalah kembali ke kampung halaman kami dan membangun kembali kampung halaman kami menjadi lebih baik seperti waktu kami masih berada di sana. Tetapi bagaimana dengan tanah warisanmu yang ada di sana? Apakah masih menjadi hakmu, setelah sekian lama kamu tinggalkan? Tanyaku lebih lanjut kepadanya. Ia tidak menjawab dengan segera pertanyaanku. Air matanya membasah pipinya, karena dia ingat bahwa beberapa tahun yang lalu ketika dia ke tempat asalnya untuk mengunjungi saudara-saudarinya mereka mengatakan kepada dia bahwa tanah yang dahulu dibangga-banggakan kini tidak pernah ditempati lagi, karena mereka mendapat tekanan dari banyak pihak, dicurigai, dituduh sebagai orang yang bekerjasama dengan kelompok pro kemerdekaan Papua. Padahal kami ini adalah masyarakat sederhana yang tidak pernah mengerti tentang peta politik. Yang kami rindukan adalah kelak kami dapat pulang lagi ke tanah yang telah melahirkan, yang telah memberikan kehidupan bagi kami. Di tanah itu kami merasa hidup itu menjadi lebih berarti karena tinggal bersama sebagai saudara-saudari, diterima, dihargai sebagai pribadi dan bukan dilihat sebagai masalah. Ia berkata kepadaku bahwa dia hanya ingin pulang melihat kampung halamannya, karena disanalah dia mendapat kekuatan dan kegembiraan melihat saudara-saudarinya di Papua Barat.
Ketika dia pamit dan meninggalkanku, pandanganku terarah kepada pengalaman orang Israel saat mereka berada di tepi sungai Babylon. Mungkinkah orang-orang pengungsi adalah orang-orang yang berada di tepi sungai Babilon yang tidak dapat menyanyikan kidung di negeri orang? Mereka hanya ingin menyanyikan kidung di tanah warisan nenek moyang mereka, di tanah yang memungkinkan mereka merasa dihormati, dan dihargai. Mungkin mereka hanya duduk menangis, karena mereka tidak pernah tahu dengan pasti kapan mereka pulang? Mereka juga merasa lelah dan capeh karena stigmatisasi dari masyarakat terhadap mereka sebagai pembawa persoalan dan bukan sebagai pribadi. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Tatakala kuceritakan kisah ini kepada Romo Gros, CM, beliau hanya mengatakan kepadaku hadirlah bersama mereka melalui pembinaan manusiawi dan iman untuk melihat secercah harapan di masa yang akan datang. Mungkin ini pesan solidaritas yang sederhana menjadi rasul cinta seperti Santo Paulus.
Jumat, Januari 09, 2009
MISA JUMAT KEDUA FORUM KATOLIK / FORKAT SCBD
Bagaikan siraman air yang segar ditengah kesibukan dapat sejenak hadir dalam keheningan pikiran dan batin mengikuti misa, mendengarkan firman yang disampaikan sekaligus menyemarakkan suasana dengan melantunkan lagu-lagu dalam kelompok paduan suara KKF dan bertemu dengan teman teman dalam satu iman dan pengharapan akan Tuhan Yesus menyertai dan membimbing kita sepanjang tahun 2009 ini yang menurut para analis bahkan paranormal sekalipun adalah tahun yang berat dan menakutkan.
Romo mengajak agar dengan kerendahan hati kita memohon penyertaan dan campur tangan Tuhan seperti bacaan Injil hari ini, seorang kusta yang tersungkur dan memohon kepada Yesus. Tuhan menyembuhkan seketika itu juga penyakitnya karena dia percaya dan Tuhan mau mentahirkannya.
Andreas Andy S. - Paroki Kristus Salvator, Jakarta.
Rabu, November 05, 2008
MALAM DEVOSI MARIA III
Saya bersama dengan Pak Hendro mengikuti acara Malam Devosi Maria III pada hari Jumat, 31 Oktober 2008 bertempat di XXI Ballroom, Djakarta Theatre Complex yang berlangsung dengan acara ramah tamah, santap malam, Devosi, penggalangan dana dan diakhiri dengan berkat penutup oleh Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM.
Acara ini diselenggarakan oleh Mitra Komisi Liturgi KWI dengan ketua panitia acaranya adalah Ibu A. Lily Widjaja.
Mitra Komisi Liturgi KWI (Mitra Komlit) yang diketuai oleh Bapak Agustinus Santoso adalah sekelompok awam Katolik yang peduli dan penuh komitmen membantu karya dan program kerja Komisi Liturgi KWI.
Mitra Komisi Liturgi KWI mempunyai misi membantu dan mendukung program kerja Komisi Liturgi KWI bagi pengembangan liturgi di Indonesia serta menggalang dana guna mensukseskan karya pelayanan Komisi Liturgi KWI. Salah satu karya Komisi Liturgi KWI yang dibantu Mitra Komlit yang sudah berjalan adalah penerbitan Majalah LITURGI. Majalah ini didistribusikan ke semua paroki di seluruh Indonesia.
Devosi dibuka dan dijembatani dengan aksi monolog Butet Kartaredjasa, lagu dan pujian persembahan Trie Utami, Maria Mama Mia, Kia AFI, Gratia Voice, Gerak tari dari Ratna Ully Dancer dan Vicky Sianipar Ethnic Band.
Kolaborasi dan aksi panggung yang apik para seniman tersebut mengingatkan dan menggugah perasaan terlebih introspeksi diri sejauh mana cinta dan kasih serta perhatian kita kepada sesama terutama kepada keluarga dan anak-anak kita yang kita kasihi. Seraya berdoa kepada Tuhan melalui pertolongan Bunda Maria untuk kita dapat meneladani kesetiaan Maria dari awal hingga akhir menemani Yesus dan mewujudkan rencana Allah, meskipun hancur hatinya melihat Anaknya yang harus menanggung derita dengan dihina, disiksa dan wafat di kayu salib.
Demikian Maria bagi umat Katolik sungguh berarti, dihormati dan diteladani karena peranannya yang luar biasa sebagai anggota keluarga kudus Allah dalam mengiringi Puteranya mewujudkan rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaan karena maut/dosa. Kini jalan keselamatan itu sudah ditawarkan oleh karena inisiatif yang berlandaskan kasih dari Allah Bapa dan kita sebagai manusia diberikan pilihan.
Kiriman: Andreas Andy S. & Petrus Hendro (Paroki Kristus Salvator)