To All of You,

Dengarkan Musik Ini

Super Mario Game

INFO SINGKAT

Beri Masukan Untuk Kami

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Jumat, Agustus 15, 2008

WHY GOD ?

Senja baru saja kembali ke peraduaannya. Awan berarak pulang, terbang bersama suara alam memberitakan kidung malam. Nyanyian malam yang mengisahkan tentang kesunyiaan hati warga Papua. Nyanyian yang tidak bisa didengar dengan telinga, tetapi hanya bisa dirasakan dalam lubuk jiwa insan yang mengalaminya. Malam tak ada cahaya lampu lagi di rumah-rumah. Saat di mana persediaan minyak tanah di rumah mereka sudah tidak ada lagi. Saat di mana mereka datang ke kota untuk mencarinya di sana, tetapi di kota pun sudah habis. Saat di mana, beberapa minggu hujan tidak turun di kota, sehingga menyebabkan sungai mengalami kekeringan, dan kapal tidak dapat masuk ke pelabuhan Kiunga. Maka satu-satunyanya harapan mereka adalah cahaya lilin untuk menerangi hidup mereka di malam hari. Demikian juga di pastoran, tak ada lagi nyala listrik, persediaan disel untuk generator sudah habis. Yang ada cuma nyala lilin kecil di pastoran.

Di jalan masuk menuju gereja, terlihat beberapa umat yang berjalan dengan nyala lampu senter yang bergegas menuju pastoran. Mereka datang ke pastoran untuk mencari lilin. Kebetulan malam itu, di pastoran juga persediaan lilin sudah tidak ada lagi. Biasanya persediaan lilin selalu ada, tetapi saat itu sudah habis. Kami lupa membelinya di kota. Aku tahu keluarga Joan dan Jack serta anak-anaknya itu sangat mengharapkan ada persediaan lilin di pastoran. Ketika kukatakan bahwa tidak ada lilin lagi, mereka hanya berkata “no problem father”. Mereka terus duduk di beranda pastoran dan bercerita tentang kehidupan keluarga mereka, tentang anak mereka, dan tentang tak ada cahaya lampu lagi di malam hari. Aku hanya coba mendengarkan kisah tentang kehidupan keluarga mereka. Tak ada kata yang dapat aku ungkapkan, karena aku tahu mungkin ini yang bisa aku lakukan adalah mendengarkan kisah kehidupan mereka.

Lorong-Lorong Gelap
Joan adalah seorang guru yang mengajar di Elementary School. Suaminya bekerja sebagai security. Mereka dianugerahi dua orang anak. Suatu saat, Jenevi, anak yang paling terakhir, jatuh sakit. Ini merupakan pukulan berat bagi keluarga mereka. Berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, dia dan suaminya harus menjaga Jenevi di rumah sakit. Jenivi yang masih kecil itu tidak dapat menahan rasa sakit. Hari-hari dia hanya bisa menangis. Ayah dan ibunya bingung dan sedih melihatnya. Jenivi tidak dapat mengerti dan menghayati rasa sakitnya. Yang dia lakukan adalah menangis, dan kadangkala dia berteriak, karena merasakan sakit yang luar biasa. Hari-hari Ayah dan ibunya hanya berdoa dan berdoa. Mereka sepertinya masuk dalam lorong-lorong hidup yang gelap. Tak ada terang yang memberi secercah harapan bagi anak mereka. Karena anak mereka terus menerus menangis. Keluarga ini sebenarnya takut, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Jenevi. Jenevi sebenarnya mempunyai saudari kembar, tetapi sudah dipanggil oleh Tuhan. Rasa takut akan pengalaman yang sama membuat mereka berada dalam lorong-lorong kehidupan yang gelap. Doa sebagai satu-satunya harapan dan tempat mereka berkanjang menjadi tumpuan hidup keluarga mereka. Namun lorong-lorong penderitaan yang dirasakan oleh anak mereka membuat mereka bertanya “mengapa Tuhan”? Sebuah pertanyaan bernada menggugat. Karena takut kalau anak mereka mengalami kelumpuhan atau mengalami nasip yang sama yang dialami oleh saudari kembarnya Jenevi.

Sebagai keluarga kristiani yang setia dan berani berkorban dan melayani sesama. Pertanyaan mengapa Tuhan, penderitaan ini harus dialami oleh anak kami? Bukankah kami sudah setia mengikuti engkau? Bukankah kami tidak pernah melupakan engkau? Bukankah kami setia melayani engkau? Bukankah kami selalu giat mengikuti setiap kegiatan rohani dan sangat aktif membantu kehidupan iman umat di paroki? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah terjawab, mengapa penderitaan, rasa sakit, dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang setia kepada Allah, dan yang dermawan kepada orang lain? Namun akhirnya mereka menyadari misteri cinta Allah yang tersembunyi dan tidak dapat diketahui untuk saat ini. Mereka meyakini bahwa rencana Allah selalu indah bagi kehidupan mereka. Ada pesan dibalik semua penderitaan ini. Maka yang kami lakukan adalah terus berdoa. Malam hari kami melakukan doa bersama. Sebuah doa yang sederhana, mengingatkan bahwa pertolongan datang kepada kami dari Allah yang membuat langit dan bumi. Kami berusaha menemukan beberapa tindakan cinta untuk menghayati dan merasakan kehadiran Allah yakni melayani Jenevi dengan penuh cinta, hadir di tengah dia dan bersama dengan dia. Kami “menunggu” dan di dalam keheningan kami merasakan kasih Allah yang menyelamatkan. Lalu, sesudah itu kami melihat anak kami bisa tertidur. Kami tidak tahu apa yang terjadi keesokkan harinya, tetapi pada akhirnya kami merasa lebih baik. Lorong-lorong gelap itu tampak mulai ada cahaya, karena yakin bahwa pertolongan Tuhan datang pada waktunya. Dalam masa penantiaan menunggu, kami mencoba menghayati dalam keheningan. Di sanalah kasih Allah kami rayakan.

Pengalaman Getzemani
Ketika Yesus mengetahui bahwa dia akan menghadapi dan mengalami penderitaan, Yesus sungguh merasakan ketakutan yang luar biasa. Di taman Getzemani peluh darah mengalir di tubuhnya, karena ketakutan yang akan dihadapinya. Yesus berdoa sampai tiga kali. Bahkan Dia meminta para muridNya untuk menemani Dia dalam berdoa “tidak bisakah kamu bersamaku satu jam saja”? Yesus menggugat kesetiaan para muridNya. Namun akhirnya Dia menyadari karya perutusanNya “ Ya Bapa, biarlah piala ini berlalu dari padaKu, namun bukan karena kehendakKu, melainkan karena kehendakMu”. Tuhan Yesus sungguh-sungguh menyakini kasih BapaNya akan selalu menyertaiNya.

Saat mengalami penderitaan di Kayu salib, Tuhan Yesus merasa sendirian. Dia merasa ditinggalkan oleh BapaNya. “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus memasuki lorong-lorong gelap, karena merasa ditinggalkan oleh BapaNya. Namun, lorong-lorong gelap mulai ada cahaya ketika Yesus meyakini dan pasrah kepada kehendak BapaNya. Dia diutus untuk melanjutkan karya perutusan BapaNya di surga. Karya dan perutusan ini harus dilaksanakan. Puncak karya perutusanNya adalah penderitaan, dan wafat di kayu salib. Pada titik ini Yesus menyadari dan mengetahui bahwa BapaNya mempunyai rencana yang indah bagi DiriNya.

Sahabat Allah
Pengalaman penderitaan merefleksikan suatu pengalaman manusia yang tidak mengenakan. Seperti halnya yang dialami oleh Yesus ketika menghadapi penderitaan adalah rasa takut dan merasa ditingalkan oleh BapaNya di surga. Pengalaman yang sama acap kali juga kita alami dalam hidup kita yakni merasa ketakutan dan ditinggalkan oleh Tuhan. Maka pertanyaan bernada menggugat seperti ini seringkali kita lakukan adalah “mengapa Tuhan ini terjadi padaku”. Mengapa aku harus menanggung penderitaan seperti ini? Mengapa keluargaku harus menanggung penderitaan seperti ini? Namun pertanyaan seperti ini tak pernah tuntas terjawab, karena kemampaun kita sangat terbatas untuk menyelami rencana Allah atas hidup kita. Disini pentinglah kita memiliki iman seperti yang dilakukan oleh keluarga Joan dan Jack. Ungkapan mereka adalah rencana Allah selalu indah, bahkan pada saat kita mengalami situasi penderitaan. Hanya iman dapat membuat kita memiliki pengharapan, bahwa sesuatu akan terjadi yang tidak dapat kita ramalkan yakni tangan Allah selalu menyapa dengan lembut. Jika kita memiliki pengharapan, maka kita akan memiliki keberanian untuk sabar menanti pertolongan dari Tuhan.

Saat-saat mengalami penderitaan adalah saat-saat kita merasakan keterbatasan kita sebagai manusia. Namun rencana Allah yang indah dibalik itu akan kita rasakan, bila kita memiliki iman. Betapa kita semakin dekat dengan Tuhan. Saat-saat seperti itu adalah saat-saat kita membiarkan diri kita menjadi sahabat Allah. Kesempatan kita untuk merajuk persahabatan dengan Tuhan dalam doa-doa kita. Waktu kita menjadi tersedia untuk Tuhan. Karena satu-satuNya harapan dan tempat kita mengadu adalah berseru kepada Allah. Keluarga Joan dan Jack sudah mengalami saat-saat seperti itu. Tatkala lorong-lorong gelap mereka tapaki, ketakutan dan keputusasaan mereka alami, namun ketika iman dan keyakinan berkobar dalam hati mereka, mereka menjadi sadar bahwa pertolongan dari Tuhan akan datang pada waktunya. Kekuatan yang memungkinkan mereka berada dalam keberanian untuk bersabar adalah karena Tuhan adalah sahabat mereka. Mereka mengisi hari-hari bersama dengan Jenevi dengan doa, melayani Jenevi dengan penuh cinta dan senyum.

Nyala Kasih
Kisah kehidupan keluarga Joan dan Jack membuka mata hatiku akan misteri kasih Allah yang tersembunyi. Allah mempunyai rencana indah bagi hidup kita. Yang terjadi adalah seringkali kita gagal untuk melihat cinta Allah karena terlanjur hidup dalam keputusasaan. Saat-saat penderitaan kita lihat sebagai bentuk hukuman dari Allah. Allah bagi kita adalah seorang hakim yang siap memukul gendang palu untuk memberikan hukuman atas segala sikap hidup kita. Dengan demikian, kita gagal melihat Allah sebagai seorang Bapa yang penuh belas kasih. Bapa yang mau menerima anaknya kembali. Bila kita mampu melihat kasih Allah yang demikian, nyala kasih itu sedang menerangi lorong-lorong gelap kehidupan kita. Hanya dengan iman, harap dan kasih, kita akan mampu melihat semuanya itu. Pertanyaan mengapa Tuhan akan tersingkapkan kepada kita. Karena dibalik semua penderitaan ada pesan bagi kehidupan kita yakni nyala kasih terpancar di sana.

Nyala lilin di pastoran sudah hampir habis. Hampir dua jam, keluarga Jack dan Joan berkisah tentang pengalaman iman mereka. Pengalaman yang sungguh mengalir dari kedalaman hidup mereka. Ketika mereka pamit kembali ke rumah, pertanyaan mengapa Tuhan masih ada di benakku. Mengapa Tuhan mereka sudah miskin, dan sekarang tidak ada lagi persediaan minyak tanah? Mengapa hujan tidak turun di kota sehingga sungai kering dan kapal laut tidak dapat merapat ke pelabuhan. Mengapa aku tidak menyediakan lilin di pastoran? Aku sendiri pun tidak menemukan jawaban yang tuntas. Namun aku ingat kisah kehidupan Jack dan Joan, berdoalah bahwa pertolongan akan datang pada waktunya. Lakukan sesuatu yakni mencoba mendengarkan kisah kehidupan mereka dengan kasih. Miliki pengharapan bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang indah.

Dua minggu kemudian, nyala lampu di rumah-rumah penduduk mulai terang kembali. Persedian minyak tanah di rumah-rumah dan di kota sudah ada lagi. Bahkan disel untuk generator di pastoran pun sudah ada lagi . Hujan mulai turun lagi membasahi jalan-jalan di kota dan mengenangi sungai kembali. Kini aku sadar seperti itulah kehidupan. Kita perlu mengalami dan merasakan lorong-lorong yang gelap dalam hidup kita. Seperti Mother Theresa juga mengalami pengalaman berada dalam lorong-lorong gelap. Dalam surat-suratnya yang ditulis untuk superior jendral, ia menulis tentang pengalaman kekosongan dan kegelapan dalam hidupnya. (“...God, please forgive me. When I try to raise my thoughts to Heaven, there is such convicting emptiness that those very thought return like sharp knives and hurt my very soul. I am told God loves me, and yet the reality of darkness and coldness and emptiness is so great that nothing touches my soul. Did I make a mistake in surrendering blindly to the call of Sacred Heart)( Time, September 3rd 2007). Mother Theresa sendiri pun mengalami pengalaman berada dalam lorong-lorong gelap. Kepada Father Lawrance Picachy, August 1957, Ia menulis “Tell me, Father, why is there so much pain and darkness in my soul?” Mother Theresa juga bertanya “mengapa aku mengalami penderitaan dan saat gelap dalam hidup ini. Tetapi Mother Theresa juga menulis dalam pengalamannya (“If this brings you glory, if souls are brought to you, with joy I accept all to the end of my life”). Seperti Mother Theresa, kita sendiri juga mengalami saat-saat gelap dalam hidup kita. Saat kita sendiri sakit, atau saat orang yang kita cintai menderita pengalaman yang pahit atau juga saat anak-anak kita mengalami sejumlah kegagalan dalam hidup atau, saat anak-anak kita tidak lagi peduli dengan kehidupan kita. Saat-saat seperti itu mungkin kita selalu bertanya “mengapa Tuhan”? Namun dibalik peristiwa itu ada makna yang mendalam, agar kita semakin mengerti bagaimana mencintai dan bagaimana belas kasih itu kita hayati.

Mans Werang, CM
Pastor Paroki St. Yohanes, Matkomnai, Keuskupan Daru-Kiunga, Western Province, Papua New Guinea

Kiriman dari: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta)

Minggu, Agustus 03, 2008

Dari Seminar "Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu"

Syalom teman-teman semua,

Dibawah ini adalah tulisan yang diperoleh Titi dari mengikuti seminar sehari bersama Pater Robby Wowor OFM pada tanggal 20 Juli 2008 yang berjudul "Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu", di Aula SMUK Sang Timur – Jakarta.

Membaca tulisan di bawah ini sungguh kita menjadi semakin menyadari akan kekayaan makna liturgi Gereja Katolik dan selanjutnya diharapkan kita dapat terus belajar untuk lebih memahami makna Ekaristi Kudus dan dapat mengikutinyaa dengan lebih khusuk.

Gali terus iman Gereja Katolik kita dengan mengikuti seminar-seminar dan/atau kursus-kursus yang dibawakan oleh para pastor yang dewasa ini banyak diadakan. Pastikan dari sumbernya yang kompeten dan yang masih berada dalam lingkup Gereja Katolik.

Selamat membaca !

GBU All.
Andreas Andy S.

-----------------------------------------------------------

Prof. Scott Hahn : Misa Kudus dan Kitab Wahyu

Dari segala hal seputar iman Katolik, tidak ada hal lain yang lebih kita kenal lebih daripada Misa Kudus. Dengan doa-doa yang sudah sangat tua usianya, himne-himne, posisi kita pada waktu Misa, Misa Kudus seperti layaknya kita di rumah sendiri. Akan tetapi banyak sekali umat Katolik menghabiskan seumur hidupnya tanpa mampu melihat lebih daripada mengucapkan doa-doa yang sudah dihafalkan. Sangat sedikit dari umat Katolik bisa mengintip DRAMA SUPERNATURAL yang LUAR BIASA sewaktu mereka mengikuti ritual Misa Kudus setiap hari Minggunya. Sri Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa Misa Kudus adalah “ Surga di bumi”, sambil menjelaskan bahwa “liturgi yang kita rayakan di bumi adalah partisipasi yang misterius dari liturgi surgawi”.

Misa Kudus begitu sangat kita kenal. Di lain pihak, Kitab Wahyu tampak asing dan penuh teka-teki. Halaman demi halaman mengisahkan gambaran-gambaran yang menyeramkan: peperangan, wabah penyakit, binatang-binatang dan malaikat-malaikat, sungai darah, katak jadi-jadian, dan naga berkepala tujuh. Dan figur yang paling baik adalah anak domba yang bertanduk tujuh dan bermata tujuh. “Kalau ini baru kulitnya saja”, demikian sebagian umat Katolik berkata, “Saya rasa saya tidak ingin melihat lebih jauh”.

Dalam buku ini, saya ingin menawarkan sesuatu yang sangat sulit dicerna. Saya akan mengatakan bahwa KUNCI untuk memahami Misa Kudus tidak lain adalah Kitab Wahyu, dan lebih jauh lagi, bahwa Misa Kudus adalah SATU-SATUNYA cara umat Kristen bisa memahami isi Kitab Wahyu.

Kalau anda tidak percaya, anda mesti tahu bahwa anda tidak sendirian. Ketika saya mengatakan kepada seorang teman bahwa saya sedang menulis tentang Misa Kudus sebagai kunci (untuk memahami) Kitab Wahyu, dia tertawa dan berkata, “Kitab Wahyu? Itu Cuma berisi hal-hal yang aneh.”Memang tampak aneh bagi umat Katolik, karena selama bertahun-tahun, kita telah membaca kitab ini secara terpisah dari tradisi Kristen. Interpretasi-interpretasi yang dikenal oleh banyak orang sekarang ini adalah interpretasi-interpretasi yang masuk halaman utama surat kabar atau daftar buku terlaris, dan interpretasi-interpretasi itu nyaris seluruhnya berasal dari Protestanisme.

Saya tahu ini dari pengalaman saya pribadi. Saya telah mempelajari Kitab Wahyu selama lebih dari dua puluh tahun. Sampai dengan tahun 1985, saya mempelajari dengan kedudukan saya sebagai pendeta suatu denominasi Protestan, dan sepanjang tahun-tahun itu, saya terlibat, secara bergiliran, dengan berbagai teori-teori penafsiran yang populer maupun tidak populer.

Saya mencoba setiap kunci, tetapi tidak satupun yang bisa membuka pintu. Sekali-sekali saya mendengar suara klik yang membawa harapan. Akan tetapi baru ketika saya mulai merenungkan Misa Kudus saya merasakan bahwa pintunya telah mulai membuka, sedikit demi sedikit. Secara bertahap, saya menemukan diri saya diliputi oleh tradisi Kristen yang luar biasa, dan pada tahun 1986 saya diterima dalam persekutuan yang penuh di Gereja Katolik. Setelah itu, dalam riset saya menyangkut Kitab Wahyu, berbagai hal-hal menjadi jelas. “Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya sebuah pintu terbuka di Surga….” ( Wahyu 4:1)…..Dan pintu itu membuka menuju…..Misa Kudus mingguan di paroki setempat !

Nah sekarang mungkin anda menjawab pengalaman mingguan yang anda alami pada waktu Misa berlangsung sama sekali tidak bersifat surgawi. Bahkan, satu jam itu adalah saat-saat yang tidak nyaman, yang diisi oleh bayi-bayi yang menangis, lagu-lagu yang dinyanyikan secara sumbang, orang-orang yang mondar-mandir, homili yang tidak mengena, umat yang berpakaian seolah-olah mereka ingin pergi nonton acara sepak bola atau ke pantai atau pergi piknik.

Akan tetapi saya tetap mendesak bahwa kita SUNGGUH-SUNGGUH pergi ke Surga ketika kita pergi menghadiri Misa Kudus, dan ini BENAR ADANYA bagi setiap Misa Kudus yang kita hadiri, terlepas dari kualitas musik atau semangat berkotbahnya. Ini bukan semata-mata karena kita ingin melihat sisi baiknya dari liturgi yang berlangsung secara kurang menarik. Ini juga bukan karena ingin bermurah hati terhadap solis yang tidak merdu suaranya. Ini semua adalah sesuatu yang benar secara objektif, sesuatu yang sama nyatanya seperti detak jantung anda. MISA KUDUS - dan maksud saya adalah SETIAP MISA KUDUS - ADALAH SURGA DI BUMI.

Saya ingin meyakinkan anda bahwa ini semua sama sekali bukan ide saya. Ini berasal dari Gereja. Itupun tetap saja bukan suatu ide yang baru. Ide ini sudah ada sejak hari dimana Rasul Yohanes mendapatkan penglihatan wahyu. Akan tetapi ini adalah ide yang belum mendapat perhatian yang memadai pada abad-abad terakhir dan saya sama sekali tidak bisa mengerti mengapa. Kita semua ingin mengatakan bahwa kita ingin sesuatu yang lebih dari Misa Kudus. Sesungguhnya kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang lebih daripada Surga itu sendiri. Saya mesti mengatakan sejak mulanya bahwa buku ini bukanlah suatu pendalaman Alkitab. Isinya difokuskan kepada aplikasi praktis dari satu sisi dari Kitab Wahyu, dan pelajaran kita jauh dari lengkap. Para teolog berdebat tanpa habis-habisnya tentang siapa yang sesungguhnya menulis Kitab Wahyu, dan kapan, dan dimana, dan mengapa, dan ditulis diatas perkamen macam apa.

Dalam buku ini, saya tidak akan menyinggung pertanyaaan ini secara mendetail. Buku ini juga bukan sebuah buku pegangan bagi penjelasan liturgi. Kitab Wahyu adalah sebuah buku mistik, bukan video untuk training atau buku petunjuk pemakai. Sepanjang buku ini, anda akan melihat Misa Kudus dengan pemahaman-pemahaman yang baru - pemahaman yang lain daripada pemahaman yang biasanya anda kenal. Meski surga turun ke bumi ketika Gereja merayakan Ekaristi, Misa Kudus tampak berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu. Di tempat dimana saya tinggal, umumnya umat Katolik terbiasa dengan liturgi dari ritus Latin (=Roma=Barat). Bahkan kata “Misa” itu sendiri sebetulnya hanya menunjuk pada bagian liturgi Ekaristi dari Ritus Latin. Akan tetapi ada banyak liturgi-liturgi Ekaristi dalam Gereja Katolik: ritus Ambrosia, ritus Armenia, ritus Bizantium, ritus Kaldea, ritus Koptik, ritus Malabar, ritus Malankar, ritus Maronit, ritus Melkite, dan ritus Rutenian, beberapa contoh diantaranya. Masing-masing punya keindahannya yang tersendiri. Masing-masing punya kebijakannya tersendiri. Masing-masing menunjukkan sudut yang berbeda dari Surga di bumi.

Riset buku “The Lamb’s Supper” telah memberi saya penglihatan yang baru terhadap Misa Kudus. Saya berdoa semoga setelah membaca buku ini juga memberi karunia yang sama terhadap anda. Bersama-sama mari kita meminta pembaruan hati kita juga supaya melalui doa-doa dan belajar, kita bisa lebih bertumbuh dan lebih mengasihi misteri-misteri Kristiani yang telah diberikan kepada kita oleh Allah Bapa. Kitab Wahyu akan memperlihatkan kepada kita, Misa Kudus sebagai Surga di bumi. Sekarang, marilah kita teruskan tanpa menunda-nunda lagi, karena Surga tidak dapat menunggu. 

“Di Surga Sekarang!” (dari buku Rome Sweet Home / Roma Rumahku )
Saya berdiri di sana dengan sembunyi-sembunyi, seorang pendeta Protestan dalam pakaian preman, menyelinap masuk ke bagian belakang sebuah kapel Katolik Milwaukee untuk menyaksikan Misa Kudus saya yang pertama. Rasa ingin tahu telah membawa saya kesana, dan saya masih ragu bahwa ini adalah rasa ingin tahu yang sehat. Selama mempelajari tulisan-tulisan umat Kristen perdana, saya menemukan referensi yang tak terhitung banyaknya kepada “LITURGI”, “EKARISTI”, “KURBAN”. Bagi umat Kristen perdana tersebut, Alkitab, buku paling saya cintai, tidak bisa terlepaskan dari acara ritual yang sekarang ini oleh umat Katolik disebut sebagai “ Misa Kudus”. Saya ingin memahami pemikiran umat Kristen perdana, akan tetapi saya tidak punya pengalaman sedikitpun menyangkut liturgi. Jadi saya membujuk diri saya sendiri untuk pergi dan melihat, semacam latihan akademis, tetapi dengan tetap bersikeras bahwa saya tidak akan berlutut ataupun ikut mangambil bagian dalam penyembahan berhala ini.

Saya mengambil tempat duduk di bagian yang terlindung, di barisan yang paling belakang dari kapel di lantai dasar tersebut. Di depan saya ada sekelompok umat Katolik yang lumayan jumlahnya, laki-laki dan perempuan dari segala umur. Sikap mereka sewaktu berlutut mengesankan saya, seperti juga agaknya konsentrasi mereka sewaktu berdoa. Kemudian sebuah bel berbunyi dan mereka semua bediri ketika imam ( romo/father) muncul dari pintu yang terletak di samping altar. Tidak tahu mesti berbuat apa, saya tetap duduk. Selama bertahun-tahun sebagai evangelis dari aliran Calvinis, saya telah diajarkan untuk percaya bahwa Misa Kudus adalah penghinaan terbesar yang dilakukan oleh manusia (terhadap iman Kristiani). Saya telah diajarkan bahwa Misa Kudus adalah ritual yang dibuat untuk “ mengurbankan kembali Yesus Kristus.” Jadi saya akan tetap sebagai seorang pengamat. Saya akan tetap duduk dengan Alkitab saya terbuka di samping saya.

DIPENUHI AYAT-AYAT ALKITAB
Akan tetapi, seaktu Misa berlangsung sesuatu membuat saya tersadar. Alkitab saya tidak hanya berada di samping saya. ALKITAB BERADA DI DEPAN SAYA - DALAM KATA-KATA DALAM MISA KUDUS! SATU AYAT DARI KITAB YESAYA, SATU LAGI DARI KITAB MAZMUR, SATU LAGI DARI SURAT RASUL PAULUS. Pengalaman ini SUNGGUH LUAR BIASA ! Saya ingin menghentikan mereka dan berteriak, “HEI, BOLEHKAN SAYA MENJELASKAN APA YANG SEDANG TERJADI DISINI DARI KITAB SUCI? INI SUNGGGUH-SUNGGUH HEBAT !!!” Tetapi, saya tetap menjaga status saya sebagai pengamat. Saya tetap berada di luar lapangan sampai saya mendengar imam mengucapkan kalimat konsekrasi: “INILAH TUBUHKU….INILAH PIALA DARAHKU.” Lantas saya merasakan bahwa segala keragu-raguan saya sirna sudah. Sewaktu saya melihat imam mengangkat hosti berwarna putih tersebut, saya merasakan suatu doa mencuat dari dalam hati saya dalam sebuah bisikan : “YA TUHANKU DAN YA ALLAHKU. SUNGGUH-SUNGGUH ENGKAULAH ITU !”

Mungkin anda bisa menyebut keadaan saya pada waktu itu seperti orang tuna-daksa, terkesima tak mampu berbuat apa-apa. Saya tidak bisa membayangkan kesuka-citaan yang lebih besar daripada apa yang telah diperbuat oleh kata-kata tersebut terhadap saya. Akan tetapi pengalaman itu semakin memukau hanya sejenak berikutnya, ketika saya mendengar seluruh umat mengucapkan : “ ANAK DOMBA ALLAH….ANAK DOMBA ALLAH…..ANAK DOMBA ALLAH….,” dan sang imam menjawab , “ INILAH ANAK DOMBA ALLAH……” sambil mengangkat HOSTI itu. Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, kalimat “ANAK DOMBA ALLAH” telah bergema empat kali. Selama bertahun-tahun mempelajari Alkitab, saya denga serta merta tahu dimana saya berada saat ini. SAYA SEDANG BERADA DALAM KITAB WAHYU, dimana Yesus dipanggil dengan sebutan ANAK DOMBA tidak kurang dari dua puluh delapan kali sepanjang dua puluh dua pasal dalam Kitab Wahyu. Saya sedang berada di PERJAMUAN KAWIN yang dijelaskan oleh Rasul Yohanes pada bagian akhir kitab yang terakhir Alkitab. Saya sedang berada di hadapan TAHTA SURGA, dimana Yesus dipuji-puji untuk selama-lamanya sebagai ANAK DOMBA. Saya sungguh tidak siap untuk menerima kenyataan ini, SAYA SEDANG BERADA DALAM MISA KUDUS.!!!

DEMI ASAP SUCI !!!
Saya kembali menghadiri Misa pada hari berikutnya dan pada hari berikutnya dan pada hari berikutnya. Setiap kali saya kembali, saya akan “ menemukan “lebih banyak lagi Kitab Suci terpenuhi di depan mata kepala saya. Akan tetapi tidak ada kitab lain yang lebih nyata bagi saya, di kapel yang agak remang-remang tersebut, selain Kitab Wahyu, yang menggambarkan para malaikat dan orang kudus menyembah di Surga. Seperti di dalam Kitab Wahyu, demikian juga pula di dalam kapel itu, saya melihat IMAM YANG MEMAKAI JUBAH, sebuah ALTAR, KONGREGASI UMAT yang beseseru “KUDUS, KUDUS, KUDUS!” Saya melihat kepulan ASAP DUPA. Saya mendengar SERUAN PARA MALAIKAT DAN ORANG KUDUS. Saya sendiri ikut menyanyikan Alleluya, karena saya telah ditarik lebih dalam lagi daripada sebelumnya ke dalam ibadat ini. Saya terus duduk di bangku bagian belakang dengan Alkitab, dan saya nyaris tidak tahu harus memperhatikan yang mana - kepada peristiwa-peristiwa dalam Kitab Wahyu atau kepada aksi yang terjadi di altar. Makin lama, keduanya makin tampak menyerupai satu dengan yang lain. Saya membenamkan diri dengan semangat baru yang meluap-luap untuk mempelajari Kristen pada awalnya dan saya menemukan bahwa uskup-uskup yang paling pertama, yaitu para BAPA GEREJA, telah mendapatkan “penemuan” yang sama seperti yang saya dapat setiap pagi (sewaktu menghadiri Misa Kudus). Mereka berpendapat bahwa KITAB WAHYU adalah KUNCI BAGI LITURGI dan bahwa LITURGI adalah KUNCI BAGI KITAB WAHYU.

Sesuatu yang sangat luar biasa sedang terjadi terhadap saya sebagai seorang teolog dan umat Kristen. Buku dalam Alkitab yang bagi saya paling sulit dimengerti - yaitu Kitab Wahyu - saat ini justru menerangi ide-ide yang paling fundamental dari iman Kristen: ide tentang PERJANJIAN sebagai ikatan yang kudus keluarga Allah. Sekarang, setelah dua minggu menghadiri Misa setiap harinya, saya merasa ingin bangkit berdiri selama liturgi berlangsung dan berseru ,”PERHATIAN SEMUANYA!!! KALAU BOLEH SAYA INGIN MEMBERITAHUKAN DIMANA ANDA BERADA SEKARANG INI DALAM KITAB WAHYU!!! LIHAT PASAL EMPAT AYAT DELAPAN. ANDA SEKARANG SEDANG BERADA DI SURGA !!!

Disadur dari buku “ The Lamb’s Supper” karangan Prof. Dr. Scott Hahn.
Beliau dulunya adalah seorang pendeta denominasi Prebyterian, yang sangat brilian, yang lewat studi Alkitab, percaya bahwa Gereja Katolik sebagai gereja yang didirikan Yesus Kristus sendiri, tiang dan pondasi kebenaran. Beliau masuk Katolik pada pertengahan 1980-an dan buku-bukunya maupun kesaksiannya merupakan kaset/buku terlaris di Amerika Serikat dan terus menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang mengikuti jejak langkahnya ke dalam Gereja Katolik

Dikirim oleh: Titi (Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta),

Materi diperoleh dari mengikuti seminar sehari bersama Pater Robby Wowor OFM tanggal 20 Juli 2008, “Menguak Rahasia Perjamuan Anak Domba Allah Menurut Kitab Wahyu”, di Aula SMUK Sang Timur – Jakarta.

Chat on MSN, YAHOO, AIM with eBuddy